[caption id="attachment_254020" align="aligncenter" width="300" caption="Pembibitan Mangrove di Pahawang, foto: M. Reza"][/caption] Kesadaran akan pentingnya lingkungan rupanya bukan dominasi orang dewasa. Anak-anak di Desa Pulau Pahawang, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, Lampung, sudah sejak lama punya kesadaran soal pentingnya menjaga lingkungan. Khususnya dalam hal menanam mangrove di pantai di sekitar rumah mereka. [caption id="attachment_254022" align="aligncenter" width="300" caption="Relawan Mitra Bentala Memberikan Pengarahan "]
[/caption] Sebagai warga yang dekat dengan pesisir pantai, warga Pahawang dulu akrab dengan hutan mangrove. Lebat dan hijau. Sayangnya, sejak 1970-an hutan mangrove mereka rusak. Puluhan hektare sabuk pantai yang alami ini mengalami kerusakan hebat. Hampir semua batang besar dibabat. Permintaan kayu mangrove dari juragan kayu di luar Lampung membuat penduduk masa itu menghabisi mangrove. Hampir tiada bersisa. Dan setelah itu, ancaman pun menunggu waktu saja. Ada tiga ancaman utama usai hutan mangrove menjadi rusak. Pertama, mewabahnya penyakit malaria. Mengapa demikian? Rupanya, hutan mangrove adalah habitat yang amat disukai nyamuk anopheles sebagai pembawa bibit malaria. Dengan rusaknya hutan bakau, jutaan nyamuk pun bermigrasi. Mereka menempati rumah penduduk dan menyebarkan ancaman. Dan benar saja. Ratusan warga kampung saban bulan kena malaria. Keuangan keluarga pun terganggu karena mesti ada alokasi dana yang dikeluarkan. Satu hal yang pasti, jika tak ditangani serius, malaria ini juga menyebabkan kematian. Kedua, ancaman air pasang Ketiadaan mangrove membuat air laut langsung memasuki area permukiman warga. Tanpa mangrove, ombak besar pecah begitu saja dan menginfiltrasi rumah penduduk. Makanya, bukan pemandangan asing jika dulu, saat air laut pasang, rumah penduduk acap terendam. Mangrove yang sedianya menjadi penahan abrasi, kini hilang. Dan itu membuat air laut bisa langsung masuk ke rumah penduduk tanpa permisi lagi. Dan kondisi itu dikeluhkan hampir semua penduduk. Ketiga, migrasi monyet Hutan mangrove juga berfungsi sebagai tempat hidup yang ideal buat monyet ekor panjang di sana. Kerimbunan mangrove membuat ekosistem monyet terjaga dengan baik. Maka, saat hutan mangrove dibabat habis, ratusan ekor monyet pun terpaksa terusir. Lantas, ke mana mereka pindah? Kawanan monyet pindah ke kebun penduduk di atas gunung yang ada di Pulau Pahawang. Akibatnya, tanaman penduduk pun terancam habis diserbu agresor baru ini. Ternyata, kerusakan mangrove menyebabkan derita panjang buat warga Pulau Pahawang. * [caption id="attachment_254024" align="aligncenter" width="300" caption="Anak Pahawang membawa mangrove ke sekolah"]
[/caption] Tahun 1997, sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Mitra Bentala, yang peduli dengan isu pesisir dan kerusakan mangrove, bersilaturahmi dengan penduduk Pahawang. Para aktivis memberikan pendapat bahwa bencana yang selama ini dialami penduduk Pahawang karena hutan mangrove yang rusak. Para pegiat lingkungan ini mengajak warga untuk memperbaiki hutan yang rusak. Tanggapan warga beragam. Ada yang setuju, ada yang tidak. Lebih banyak yang tidak daripada yang oke. Tapi, para aktivis jalan terus. Kesadaran akan pentingnya mangrove mulai diberikan. Sekian pertemuan digelar. Satu-dua warga mulai peduli dan mulai bertanya: kita harus memulai dari mana? * [caption id="attachment_254025" align="aligncenter" width="300" caption="Anak-anak bergembira akan menanam mangrove"]
[/caption] Peran orang dewasa di Pulau Pahawang memang yang menentukan keberhasilan merehabilitasi 30 hektare hutan bakau di sana. Namun, yang menarik, ada peran anak-anak pesisir Lampung itu dalam mengembalikan hutan mangrove yang rusak ke kondisi semula. Pendekatan aktivis yang tak melulu ke orang dewasa, melainkan ke anak-anak, adalah kunci keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove Pulau Pahawang. Para aktivis mengajak anak-anak di sana ikut peduli. Bukan sekadar memahami betapa pentingnya mangrove, tapi jauh lebih konkret daripada itu: ikut menanam bakau. [caption id="attachment_254026" align="aligncenter" width="300" caption="Anak perempuan juga ikut menanam mangrove"]
[/caption] Saban minggu, puluhan anak-anak sekolah dasar di pulau itu berkumpul di sekolah. Mereka mendapat bimbingan belajar dan pentingnya hutan mangrove di lingkungan. Usai itu, mereka akan memulai aksinya. Mereka, laki dan perempuan, mengambil bibit mangrove untuk ditanam. Dengan riang gembira mereka membawa bibit mangrove untuk ditanam. Sebagian lagi membawa bilah kayu sebagai pancang. Sebab, bibit mangrove ini rentan terkena ombak. Kalau tidak diikat ke tiang pancang, mudah terbawa ombak. Anak-anak juga terlatih menanam. Mereka sudah tahu di lokasi mana mereka harus menanam. Kalau pekan lalu di bagian ini, pekan ini di bagian yang lain. Cara meletakkan bibit juga mereka kuasai dengan baik. Cara menegakkan batang kayu juga sudah diajari sejak lama. Maka, kerja mereka saban hari Minggu itu terlihat rapi dan enak dipandang. Sambil bernyanyi-nyanyi, anak-anak ini dengan ikhlas menanam. Semua sudah sadar, kalau hutan mangrove mereka kembali pulih, bencana tak bakal datang. Mereka rupanya takut dengan tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 silam yang salah satunya karena mangrove di sana rusak parah. [caption id="attachment_254027" align="aligncenter" width="300" caption="Anak Pahawang menanam mangrove"]
[/caption] [caption id="attachment_254028" align="aligncenter" width="300" caption="Kegembiraan anak Pahawang menanam mangrove "]
[/caption] [caption id="attachment_254030" align="aligncenter" width="300" caption="Anak Pahawang menanam mangrove"]
[/caption] Tapi, namanya saja anak-anak, ada saja kelucuan yang timbul. Sambil ke pesisir pantai, mereka usil memercikkan air laut ke temannya. Kalau sudah begitu, para pegiat lingkungan yang mendampingi, cuma bisa geleng-geleng kepala saja. Peran anak-anak ini tak cuma sebagai ujung tombak menanam bibit mangrove. Mereka juga ikut memberikan pemahaman kepada orang dewasa yang masih ada yang emoh bergabung dengan penyelamatan hutan mangrove Pulau Pahawang. Setidaknya, para orangtua akan malu hati jika masih ikut membabat batang mangrove dan merusak akar mangrove demi mencari cacing untuk pakan ikan hias. Oh iya, selain membabat batang, kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan akarnya dirusak. Rusaknya akar disebabkan pencari cacing di akar mangrove mencongkel bagian terdalam dari akar untuk mencari cacing. Jika akar mangrove sudah rusak, rusak pula batang dan bagian lainnya. Para orangtua di sana banyak yang tersentuh ketika melihat anak-anaknya menjadi pejuang lingkungan dengan aktif menanam bibit mangrove. Dari yang tadinya tidak mendukung, akhirnya banyak orangtua yang ikut turun membantu. Dari yang semua cuek, sekarang aktif membantu. * Tahun 2006, warga sepakat membuat lembaga perlindungan hutan mangrove. Namanya BPDPM, singkatan dari Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove. Dengan lembaga ini, mereka membikin peraturan desa, bahwa dilarang keras merusak vegetasi mangrove. Mereka juga bikin pasal ancaman buat siapa saja yang ketahuan masih membabat mangrove, merusak akar mangrove, dan menangkap ikan dengan pukat harimau. Alhasil, 30 hektare hutan mangrove yang mereka kerjakan belasan tahun lalu kini asri. Ketebalan dari pinggir pantai mencapai 20 sampai 30 meter. * Anak-anak Pulau Pahawang kini punya nama untuk komunitas yang sering menanam bibit mangrove. Mereka menamakan diri: Anak Peduli Lingkungan (APL). Kegiatan utama mereka masih seputar penanaman bibit mangrove. Meski kerja keras mereka selama bertahun-tahun sudah menunjukkan hasil, area yang mesti direhabilitasi masih besar. Kalau sekarang sudah mencapai 30 hektare, mereka ingin lebih dari itu. Dan itu terlihat sekali saat menikmati keceriaan mereka ketika menanam bibit mangrove. Meski kadang terik matahari membakar kulit, anak-anak pesisir Lampung ini tak menghiraukan. Bagi mereka, yang penting hutan mangrove bisa kembali pulih. Mereka juga senang kalau hutan mangrovenya lebat kembali. Para bapak di sana sudah memulai membuat jalan penghubung dari kayu agar setiap orang bisa masuk ke dalam hutan mangrove dengan berjalan kaki di jalan kayu yang dibuat di antara rerimbunan mangrove. Anak-anak juga sudah membayangkan bisa bermain di dalamnya, belajar di dalamnya, sembari menikmati alam yang hijau dan sejuk. Dan itu berkat keras semua penduduk Pulau Pahawang. Terutama sekali anak-anak yang tergabung dalam Anak Peduli Lingkungan. * [caption id="attachment_254032" align="aligncenter" width="300" caption="Ditemani aktivis Mitra Bentala menamam mangrove"]
[/caption] Anak-anak Pulau Pahawang kini senang karena usaha mereka dan orangtua di sana berbuah hasil. Hutan mangrove yang mereka idam-idamkan sudah mewujud ke bentuk yang sesungguhnya. Keberadaan hutan mangrove ini kemudian berimbas kepada keinginan banyak orang untuk melancong ke Pahawang. Mereka ingin berwisata di sana. Selain menikmati rerimbunan pohon mangrove, turis juga ingin menyelam. Terumbu di dekat hutan mangrove terjaga dengan baik. Dan kedatangan para wisatawan ini kabar baik buat penduduk di sana. Usaha pariwisata alam bisa dikembangkan. Bisa menetap satua atau dua hari sana, dan ikut menanam pohon mangrove akan menjadi kenangan tersendiri. Apalagi saat menyaksikan anak-anak di sana tetap saja semangat dan ceria saat menanam batang demi batang bibit mangrove. Semoga ikhtiar anak-anak Pulau Pahawang ini memberikan inspirasi. Kalau anak-anak saja punya kepedulian yang begitu besar, bagaimana dengan orang dewasa? Mestinya kita malu dan mau meneladani keluguan anak-anak ini yang punya tekad membaja menghijaukan kembali hutan mangrove mereka yang sempat rusak. Yuk, ikut tanam pohon, pohon mangrove! Wallahualam bissawab. Keterangan: Semua foto milik  Muhammad Reza.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Nature Selengkapnya