Apa persamaan antara blog dan penerbit indie? Keduanya sama-sama menjadi alternatif menerbitkan karya. Jika sulit menembus halaman opini koran, diunggah di blog, tulisan pun tayang. Tak perlu menunggu suntingan editor, sebuah tulisan bisa tayang dan dibaca orang. Penerbit buku indie juga sama. Jika sulit dan lama menembus penerbit arus utama, penerbit indie bisa menjadi alternatif. Dan ke depan peran penerbit indie ini makin menemukan momentumnya. Ada banyak penulis yang berkeinginan memiliki buku sendiri. Kalau di antara 200 ribuan Kompasianer, seratus saja ingin punya buku, tentu tak bakal bisa diakomodasi oleh penerbit arus utama. Penerbit mayor label kerap membutuhkan pemikiran yang panjang untuk menerbitkan sebuah buku. Keyakinan si empunya karya tidak berbanding lurus dengan prediksi penerbit. Alhasil, banyak penulis muda yang kemudian mentok tak bisa menerbitkan karya. Setiap penulis pasti punya keunikan tersendiri. Mereka punya potensi yang bisa dikembangkan. Gagasannya acap keluar dari arus utama. Bisa jadi itu berupa pemikiran politik, ekonomi, budaya, sastra, tulis-menulis, dan sebagainya. Mereka acap tak terakomodasi di arus utama penerbitan, baik itu koran maupun penerbit besar. Ide mereka bersobok dengan hitung-hitungan finansial yang dikalkukasi penerbit. Padahal, si penulis punya keyakinan bahwa tulisan atau draf buku yang ia bikin akan laku di pasaran. Apalagi kalau si penulis punya kawan yang banyak. Ia yakin, bukunya akan laku terjual dan gagasannya direspons positif. Sayangnya, nawaitu tak bertemu dengan kondisi ideal. Padahal, boleh jadi, dari situlah ide-ide baru bermunculan dan bisa menjadi tambahan khazanah kekayaan ide buat Indonesia. Ada cerita seorang yang rajin menulis cerpen di Kompas. Tapi cerpennya tidak sekalipun dimuat. Karena ia yakin, seluruh karya itu pun ia terbitkan dan ...laku! Judulnya pun dibikin cukup bombastis: "Cerpen-Cerpen yang Ditolak Kompas". Di antara Kompasianer, juga banyak yang menerbitkan karya secara indie. Yang terakhir, 36 Kompasianer, salah satunya Suka Ngeblog, menyusun sebuah buku bertajuk Merajut Indonesia. Itu juga dibikin secara indie. Buku perdana saya juga demikian. Menulis dengan Telinga adalah buku tentang kepenulisan. Seorang teman yang bekerja di penerbitan, pernah mengatakan, buku tentang kepenulisan sudah banyak. Pasar sudah jenuh dengan buku semacam itu. Saya mengiyakan saja. Barangkali analisis kawan itu benar. Di pasaran memang banyak buku tentang kepenulisan. [caption id="attachment_293126" align="alignleft" width="300" caption="Buku Menulis dengan Telinga. Sumber: Antara"][/caption] Setiap penulis punya ciri khas. Punya pakem masing-masing. Dan punya pangsa pasar tersendiri. Saya pun merasa demikian. Saya kemudian membandingkan draf buku saya dengan buku serupa di toko buku. Memang hampir serupa. Namun, ada banyak hal yang belum diungkap. Saya berpikir, ada branding yang kuat di dalam buku yang akan saya luncurkan. Akhirnya saya memantapkan diri untuk menerbitkan sendiri. Kebetulan rekan-rekan di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung sedang menaja sebuah penerbit indie bertajuk Indepth Publishing. Buku saya termasuk yang awal diterbitkan. Kini, buku yang sudah diterbitkan Indepth mencapai 40-an buku. Meski indie, kualitas cetak dan editing Indepth cukup bagus. Walaupun setiap terbitan, rata-rata dicetak 500-an, hasilnya oke. Memang tak setara 5.000 seperti yang biasa diterbitkan mayor label, tapi ada yang beberapa kali naik cetak. Rekor Indepth, mencetak buku motivasi berjudul Nyontek+ yang mencapai 2.000 eksemplar. Oh iya, ada baiknya dinukil sedikit soal penerbit indie. Penerbitan independen ini modalnya memang berasal dari penulis. Kalau ia mampu melakukan penyuntingan, pembuatan cover, dan tata letak halaman, tugas penerbit indie hanya mencetak saja. Tapi kalau si empunya naskah butuh jasa editor dan lau outer, penerbit biasanya menyediakan. Soal distribusi, juga banyak dikerjakan si penulis. Tapi penerbit sedikit banyak membantu. Apalagi penerbit indie yang sudah mapan selama satu sampai dua tahun. Penerbit indie biasanya bermodal kebebasan dalam berpikir dan tidak terikat dengan arus utama yang sedang berkembang. Jika ada ihwal lokal yang menarik, buku pun terbit. Waktu terjadi bentrok antarwarga di Balinuraga, Lampung Selatan, liputan media massa terkesan memperuncing masalah. Warga beretnik Lampung dan Bali seperti membuka front baru. Upaya perdamaian banyak dimediasi multipihak. Jusuf Kalla sampai turun tangan. Sebagai penerbit indie, Indepth kemudian memberanikan diri menerbitkan buku bertajuk Merajut Jurnalisme Damai di Lampung. Sekian jurnalis dan dosen ikut berpartisipasi menulis. Biaya ditanggung sepenuhnya oleh Indepth dan AJI. Kerja buat Indonesia kali ini cuma bermodal keberanian untuk menyajikan sesuatu yang bermanfaat buat bangsa. Hitung-hitungan bisnis pun agak diabaikan. Yang penting, penerbit punya kontribusi dalam meredam konflik dan membangun kultur jurnalisme damai di tanah konflik. Buku pun terbit. Dan tanpa disangka, respons pembaca cukup tinggi. Buku yang dicetak 500 eksemplar ini pun hampir habis. Bahkan, saat buku ini dipamerkan dalam Festival Media di Yogyakarta beberapa waktu silam, Sultan Hamengkubuwono X menyambut baik dan mengambil beberapa eksemplar. Dia terkesan bahwa ada penerbit indie yang mau bersusah payah dan bermodal idealisme menerbitkan buku semacam itu. Paling tidak, dalam serakan berita yang bermotif bad news, Indepth sebagai penerbit independen, mampu menghadirkan sesuatu yang menyejukkan. Tak dinyana, keuntungan pun datang. Barangkali, jika ditawarkan kepada mayor label, belum tentu buku itu bisa terbit. Tapi dengan adanya indie, tema besar soal keindonesiaan dalam ranah mikro, bisa diluncurkan. Sebuah kerja kecil tapi berdimensi besar. Sebuah bukti, yang indie pun mampu merajut perdamaian. [caption id="attachment_293125" align="aligncenter" width="300" caption="Buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung. Sumber: Kompasiana"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H