Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menulis Esai: Jangan Lebay, yang Penting Selesai

23 November 2012   00:46 Diperbarui: 4 April 2017   18:29 12002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak terlampau piawai mendedahkan sebuah definisi. Makanya agak tergagap juga kalau ada yang tanya, apa sih esai itu? Bahkan, minta diajari menulis esai. Padahal, jujur, saya tak terlalu mengerti soal ini.Selama ini saya lebih banyak menulis soal opini. Opini itu pendapat. Gagasan. Ide. Ia ditulis secara utuh oleh si penulis, bisa wartawan media, bisa juga orang nonmedia. Artikel opini yang disukai redaktur media massa ialah yang aktual. Maksudnya, gagasan yang ia tulis sepanjang 4-5 halaman kuarto itu ada cantelan peristiwanya. Jadi, kalau siang ini di Kabupaten LampungSelatan ada rusuh massa, si redaktur opini kepingin sore ini juga ada artikel opini yang masuk ke komputer kerja dia. Sebab, opini media massa juga mengedepankan aktualitas.

Rubrik Opini di surat kabar yang bagus tentu yang diisi artikel yang menarik, enak dibaca, dan sesuai dengan konten medianya. Kalau media lokal, tentu isu lokal yang dicari. Kalau media nasional, ya isu nasional. Itulah opini. Sesuatu yang saya geluti selama ini. Sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang. Sejak masih mahasiswa sampai kini masuk di redaksi media massa: Lampung Post.

Maka itu, kalau soal opini, insya Allah saya menguasai dengan baik. Tapi soal esai dan kolom, belum terlalu banyak saya ketahui. Untuk itu, saya mesti bertanya kepada penulis esai yang cukup berpengalaman. Zulkarnain Zubairi misalnya. Ia redaktur Opini Lampung Post. Sastrawan besar Lampung menurut saya. Sebab, Udo ZUl, begitu ia biasa disapa, banyak menulis esai dan kolom. Buku kumpulan puisi Udo, Mak Dawah Mak Dibingi, diganjar Penghargaan Rancage dari Yayasan AJip Rosidi. Ini penghargaan bergengsi dalam ranah sastra. Buku Udo yang lain, Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh, juga sudah diterbitkan dan sambutan pembaca cukup bagus. Buku Udo yang ini satu penerbit dengan buku saya, Menulis dengan Telinga.

Dari Udo dan baca-baca tulisan lain, saya jadi tahu kalau hampir tak ada perbedaan mendasar soal esai, opini, dan kolom. Ini makin membuat saya percaya diri jikalau ada teman yang bertanya lagi. Intisarinya, tak usah direcoki dengan beragam istilah dan definisi. Sebab, hampir semua karangan itu adalah esai karena sudut pandangnya orang pertama tunggal. jadi, antara esai, opini, artikel ilmiah populer, dan sejenisnya punya rahim yang sama: karangan. Tulisan. Habis perkara.

Opini di media massa, bisa koran, bisa majalah, biasanya ditulis dengan gaya bahasa populer. Ringan saja. Ada teorinya kadang-kadang. Juga sesekali ada kutipan. Itulah opini. Pendapat. Ide gagasan.

Kalau kolom, pengertiannya lebih mudah. Kolom umumnya ditulis oleh mereka yang memang punya kepakaran dalam bidang tertentu. Yang diungkapkan juga gagasan. Ia juga bagian dari esai, karangan, tulisan. Ada istilah kolumnis. Kolumnis ini merujuk pada jurnalis senior yang sudah berada pada makam tertentu. Mbahnya jurnalis begitu. Atau begawan jurnalis, demikian adanya. Di Lampung, contoh kolom ialah Buras yang ditulis Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya. Atau di majalah Tempo ada Catatan Pinggir yang ditulis Goenawan Mohammad. Dulu kita kenal kolom segarnya jurnalis senior Mahbub Djunaidi. Tulisannya di era 1980-an sangat memikat. Kalau tidak di koran Pelita, ya di Kompas kita bisa baca tulisannya. Saya membaca kumpulan tulisan Mahbub, Humor Jurnalistik, baru –baru ini. Dan saya menemukan artikel yang sangat memikat dari semua esai yang ia tulis.

So, esai itu yang bagaimana? Esai itu karangan juga. Ia berisi gagasan, pendapat si penulis. Bisa berkaitan dengan tema yang aktual, bisa juga tidak. Satu yang sering bisa dirasakan saat membaca ialah sisi orang pertamanya muncul dalam esai. Lebih pribadi sifatnya. Sisi humanis dan emosional si penulis bisa dirasakan saat membaca tulisan itu. Bisa jadi esai itu hasil reportase penulis atau wartawan yang diperkaya dengan data.

Saya menyarankan untuk sering membaca esai atau opini penulis lain yang sudah berpengalaman. Dari situ kita bisa belajar sendiri bagaimana menulis esai atau opini yang baik. Hampir setiap koran di hari Minggu ada rubrik esainya. Itu bisa dibaca sebagai alat belajar. Atau di internet, kita bisa mencari contoh tulisan esai yang bagus.

Nah, sekadar memandu kita menulis esai, saya meramunya dalam beberapa tips. Namanya saja tips. Tidak pas benar ya tidak apa-apa. Kiat itu sekadar memandu. Kalau tidak pernah praktik, sama juga bohong. Menulis itu kan lebih pada praktik. Percuma ikut pelatihan menulis, baca buku motivasi menulis, tapi tidak pernah menulis.

Pertama, menguasai topik

Kalau saya, tidak mau memaksakan diri menulis yang tidak dikuasai secara baik. Bukannya tidak merasa tertantang, hanya tidak mau memaksakan diri. Menulislah sesuai dengan basis kemampuan kita. Teman-teman guru dan dosen bisa menulis sesuai dengan kapasitas keilmuannya. Esainya insya Allah enak dibaca karena ditulis berdasar keahlian. Ini istilahnya personal branding. Kulminasi tertinggi penulis atau bloger itu di ranah personal branding ini. Gampangnya, menulislah sesuai dengan potensi terbesar kita. Jadilah penulis yang ahli di bidang tertentu.

Saya sejak 2010 lebih banyak menulis soal “kepenulisan” . Ini menjadi potensi terbesar saya dalam hal menulis. Gampangnya, kalau orang tanya soal kepenulisan, rujukan mereka ke saya. bukan sombong. Personal branding namanya. Jadi, kalau orang berdialog, “Eh, mau bikin pelatihan menulis, siapa ya yang pas bawain materi menulis yang bagus?” temannya menjawab, “Oh, Bang Adian aja. Dia kan memang banyak nulis soal itu. Bukunya aja, Menulis dengan Telinga, isinya soal kiat menulis.” Itu personal branding. Orang mau mengingat apa kalau nama kita disebut.

Jadi, kuasai topik. Kuasai benar-benar. Jangan setengah-setengah. Kita tahu benar bahan yang mau ditulis. Ke mana arah tulisan itu. Apa saja yang mau kita tulis. Kutipan apa saja yang kita persiapkan. Literatur apa yang dibutuhkan sekadar pengaya bahan tulisan.

Kedua, bikin kerangka karangan

Supaya mudah, bikin kerangka karangan. Seperti tukang membuat fondasi sebelum membuat rumah secara utuh. Pelajaran sejak sekolah dasar soal membuat kerangka karangan menemukan momentum yang tepat. Silakan membuat kerangka atau ragangan. Kalau saya membuatnya baris per baris. Berpikir apa saja ide pokok di setiap paragraf. Buat poin per poin. Kalau sudah dapat 20-30 poin, sudah cukup. Sebab, masing-masing poin mewakili satu elinea.

Bagaimana kalau tidak membuat kerangka karangan? Ya tidak apa-apa. Sunah saja hukumnya. Kalau kita terbiasa begitu ada ide langsung menulis, itu sangat baik. Amazing kata Tukul Arwana. Cuma, kerangka itu membantu kita agar tulisan kita fokus. Tidak menyebar ke mana-mana yang bakal mengganggu keseluruhan tulisan.

Kalau Bobbi de Porter dalam Quantum Learning malah mengajarkan membuat kerangka karangan dengan peta pikiran. Ya itu juga sangat bagus. Setiap ide dilingkari atau digambar sesuai dengan kebiasaan kita. Makin berwarna deh ragangan karangan. Itu bagus. Silakan dicoba. Mana suka saja.

Ketiga, buat judul

Buat saya, tema itu mesti disegerakanditulis ke judul. Ini saya lo. Teman-teman yang tidak setuju, juga tak apa. Mengapa saya “memaksakan” membuat judul terlebih dahulu. Judul ini membantu kita mengelola tulisan sehingga pas dengan topik yang kita angkat. Meski demikian, ada kalannya setelah judul rampung, tulisan jadi, judul awal diganti. Ini tidak masalah. Mungkin ada judul yang lebih klik dengan hati kita ketimbang judul pertama.

Dengan memberikan judul di awal kita menulis, kita makin bersemangat menulis. Apalagi kalau judul yang kita bikin itu unik. Terlebih kalau beberapa teman suka dengan judul itu. Saat berniat menulis buku soal kepenulisan, saya menyelesaikan beberapa tulisan dulu. Judul di kepala sudah ada. Tapi ada beberapa alternatif. Setelah minta saran seratusan teman via pesan di ponsel, akhirnya mereka suka dengan “menulis dengan telinga”. Akhirnya, judul itu yang dipakai dan memang benar, banyak yang suka, banyak yang pesan, banyak yang beli. Alhamdulillah.

Dulu, sewaktu awal-awal menulis, saya terbiasa menulis dengan kata kerja “me”. Itu memudahkan kita menulis karena kalimat aktif lebih merangsang menulis. Kalimat pasif juga bisa, tetapi kalau di awal-awal, lebih baik dengan kalimat aktif. Kata kerja begitu. Misalnya: Menggugat Undang-Undang Haji, Menelisik Korupsi Hambalang, Mencari Solusi Konflik Lampung, Mendedah Wajah Media Kita. Namanya saja belajar, ya di awal pasti belum begitu mahir. Sama juga dengan membuat judul. Mungkin awalnya sulit. Tapi jika konsisten menulis, suatu waktu pasti gampang menulis judul yang ciamik.

Keempat, menulis lead

Pernah tidak kita mengalami saat seperti ini? Ide sudah ada. Topik sudah dikuasai. Kerangka karangan sudah rampung. Eh, saat mau menulis, buntu. Jemari kita tidak bisa mengetik apa-apa. Stuck kata orang kulon. Apa ya yang mau ditulis? Bingung sendiri.

Itulah saat di mana kita sulit menulis teras atau lead artikel. Seolah apa yang ada di pikiran tidak mampu diejawantahkan dalam bentuk tulisan. Akhirnya hanya diam. Menahan kesal. Tulisan pun ditinggalkan. Sungguh kasihan. Hahahaha.

Begini, itu artinya kita belum menemukan kalimat paling awal dalam tulisan yang paling pas. Ibarat dulu saat di SD kita mengarang, buntu apa yang mau ditulis. Akhirnya, dipakai kalimat sakti: pada suatu hari. Iya kan? Sebetulnya tidak apa-apa menggunakan “pada suatu hari”. Jangan salah lo, seorang Goenawan Mohammad saja di edisi majalah Tempo dua minggu lalu menulis kolom Catatan Pinggir-nya dengan awal kalimat “pada suatu hari…”

Saran saya, tulislah apa yang enak saja sebagai awal. Itu akan sangat membantu kita menuliskan esai sampai ujung tulisan. Toh nanti ada proses penyuntingan. Dilihat lagi. Diperhatikan lagi. Teknik paling sederhana membikin awal kalimat ialah bikin kalimat bernada pemberitaan. Bisa mengutip di koran atau paparkan cantelan peristiwa sesuai dengan gaya bahasa sendiri. Begini contohnya. Kalau mau menulis soal kekuatan perubahan dari media sosial, lead bisa ditulis semacam ini: kekuatan media massa sekarang ini punya saingan yang sebanding. Apa itu? Media sosial jawabnya. Mengapa begitu? Sebab, hampir semua perubahan sosial di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, muncul dari jejaring media sosial semacam Facebook, Twitter, dan ribuan blog pribadi milik bloger. Apa contohnya? Anda ingat koin untuk Prita Mulyasari, yang dituntut Rumah Sakit Omni International. Bayangkan, miliaran rupiah berhasil dikumpulkan seluruh masyarakat Indonesia untuk Prita. Dan media efektif menyebarluaskan itu ialah Facebook. Suatu bukti betapa media sosial punya kekuatan yang setara, bahkan melebihi media massa arus utama, semacam koran, majalah, juga situs berita online.

Bagaimana? Bisa dimengerti bukan membikin lead yang “mudah” agar kita tertarik untuk meneruskan tulisan sampai rampung? Ini sekadar contoh. Tulisan lead yang Anda buat juga insya Allah lebih baik ketimbang contoh yang saya sodorkan di atas. Silakan mencoba.

Kelima, menulis pendek-pendek

Menulis esai, juga bentuk tulisan lain, kudu pendek-pendek. Kalimatnya maksud saya. Ada alat ukur soal kalimat efektif ini. Namanya Fog Index. Sederhananya, kata metode ini, bikinlah kalimat yang jumlah katanya 8-14 buah. Boleh lebih sedikit, boleh sedikit lebih banyak. Tapi kira-kira ya segitulah ukurannya. Peter Henshall dan David Ingram dalam Menjadi Jurnalis memperkenalkan konsep KISS dalam menulis. Ini bukan acara di Indosiar, ini singkatan. KISS itu keep it short and simple. Bikin pendek dan sederhana. Maka itu, kalimat yang ditatahkan dalam esai bikin pendek-pendek saja. Saya berusaha membuat artikel materi ini juga pendek-pendek. Maksudnya apa? Supaya pembaca bisa lekas mengerti membaca satu per satu kalimat. Tidak susah dicerna. Mudah ditangkap mata dan dicerna pikiran. Tulisan yang mungkin idenya buruk, kalau kalimatnya pendek, masih mudah dibaca. Tapi, ide yang berantakan makin runyam jika kalimatnya panjang. Berkelewahan begitu.

Menulis, apalagi esai, kan sudut pertama orang pertamanya kental sekali. Maka itu, supaya gampang dicerna, bikin pendek saja kalimatnya. Kemudian bikin bahasanya sederhana. Sederhana ini bukannya remeh, tapi disesuaikan dengan objek pembaca. Gunakan diksi bahasa Indonesia yang baik. Gunakan juga sebanyak mungkin sinonim atau persamaan kata. Ada banyak kosakata di Kamus Besar Bahasa Indonesia yang bagus. Itu bisa dipakai sebagai pengaya kosakata dalam esai kita. Kalau tak buka kamus, ya kita tak bakal tahu ternyata kosakata kita jutaan jumlahnya. Cuma kurang dari sepuluh persen yang dipakai dalam bahasa lisan dan tulisan. Padahal, itu kekayaan khazanah kebahasaan kita. Silakan dipakai. Hitung-hitung, esai yang kita bikin mengedukasi pembaca.

Saya sebulan lalu ikut pelatihan editing di MetroTV. Waktu pelatihan, Redaktur Bahasa Media Indonesia Donny Tjiptonugroho memperkenalkan dua diksi lain untuk “gagal”. Apa itu? Putang dan kubra. Baru baca ya? Saya juga baru tahu ternyata sinonim gagal itu ada putang dan kubra. Lucu terdengarnya. Tapi silakan dibaca. Supaya familiar, saat diksi “baru” itu ditulis, dibikin dalam kurung saja arti lainnya gagal.

Ada kata “banal”, “semenjana”, “senyampang”. “setakat” dan sebagainya di kamus. Silakan dibeli kamusnya, dibaca kosakatanya, dan digunakan dalam esai yang kita buat.

Keenam, kasih kejutan

Supaya pembaca menemukan sensasi saat membaca tulisan, siapkan kejutan. Apa itu? Gampang dan sederhana kok. Bikin saja kutipan yang sesuai dengan konteks tulisan yang kita bikin. Kutipan itu bisa dari buku, ucapan tokoh terkenal, atau kutipan media massa yang terkenal. Bisa juga memperkayanya dengan data. Misal kita menulis esai soal mendiang Presiden Ceko Vaclav Havel. Kejutannya bisa dengan memperkaya data dengan sejarah pecahnya Ceko dan Slovakia, sejarah negara itu saat Perang Dunia II, atau angkat soal sepak bola negerinya kiper Chelsea Petr Cech itu. Atau boleh juga dikutip tulisan atau reportase jurnalis soal indahnya Kota Praha di Ceko. Silakan saja. Ini ibarat servis buat pembaca supaya mereka mendapat “sesuatu” dari esai kita. Syukur-syukur bisa “cetar” bak Syahrini. Tapi tak juga lebay-lebay amat ya.

Jangan sampai karena mau memberi kejutan, setiap paragraf isinya kutipan semua. Ya tidak begitu juga. Porsi sebuah esai tetap pada gagasan kita sendiri. Apa argumentasinya. Apa idenya. Jangan melulu bergantung pada literatur dan kutipan. Itu sekadar efek kejut. Namanya saja kejutan, ta tidak melulu di tiap paragraf ada kutipan. Kalau sering terkejut, bisa-bisa kena serangan jantung nantinya. Ada-ada saja.

Ketujuh, rampungkan

Menulis esai, apalagi yang nilai aktualitasnya tinggi, serta mau dikirim ke media, mesti cepat. Tulisan itu mesti rampung. Soal waktunya, terserah Anda. Bisa satu jam, bisa dua jam, bisa juga setengah hari satu esai baru kelar. Jangan kelebihan dari sehari. Bisa-bisa idenya basi dan tersaingi dengan penulis esai lain. Maka itu, jangan patah semangat dan rampungkan tulisan. Masalahnya, ada penulis yang begitu merasa buntu di tengah, lalu menyerah. Tulisan dihapus, komputer dimatikan, dan dia benci setengah mati dengan menulis. Itu yang tidak boleh terjadi. Semangat terus.

Menulis itu kan keterampilan. Siapa saja, profesi apa saja, bisa menjadi penulis esai. Tak mesti jadi jurnalis atau wartawan. Makanya sayang kalau kemampuan menulis itu tak diasah. Ya sekurang-kurangnya, kalau tidak untuk media massa, diunggah di blog pribadi. Bisa juga diunggah di Facebook lalu disebar ke teman-teman. Sama saja kok. Apalagi sekarang zaman media sosial. Tulisan di media sosial kadang menjadi referensi yang dicari banyak orang.

Last but not the least

Selain konten yang berkaitan dengan teknis menulis esai, ada beberapa hal yang tidak boleh dilupakan. Ini penting saya sampaikan supaya etiket dalam menulis bisa diketahui khalayak. Apa saja itu?

Pertama, jangan memplagiat. Memplagiat itu menyontek karya orang, mengganti namanya dengan nama kita, lalu dikirim ke media massa. Ini praktik haram. Dosa tak berampun dalam ranah jurnalisme. Jangan satu kali pun menjiplak. Hargai karya orang, hargai karya sendiri. Jelek asal karya sendiri, itu lebih baik ketimbang menjiplak. Mungkin tulisan itu dimuat media massa dan redaksi tidak tahu. Tapi sehari-dua hari, ada saja SMS ke redaksi memberi tahu bahwa karya yang pernah naik siar itu pernah ditulis di media lain. Apa hukuman buat seorang penjiplak? Black list. Nama si empunya karya bakal masuk daftar hitam. Ia akan diembargo. Tak ada ruang buat dia untuk menulis lagi di media itu. Habis karier menulisnya. Hancur nama baiknya. Maka itu, jangan sekali pun menjiplak.

Kedua, jangan mengirim satu artikel ke dua media massa. Etiket dalam ranah jurnalisme tak membolehkan itu, terkecuali ada izin dari kedua media massa. Dalam skup artikel berita, rata-rata manajemen redaksi tak mengizinkan sebuah karya dikirim ke tempat lain. Tapi ada juga yang bisa. Saya pernah menjadi kontributorKantor Berita Radio 68H (KBR68H) selama dua tahun. Di kantor berita radio swasta itu, setiap kontributor diperkenankan mengirim berita yang sama ke media lain. Syaratnya, bukan radio. Jadi, boleh jadi nyambi. Kontributor radio oke, kontributor media laman daring (online) juga oke.

Tapi untuk penulis esai, artikel opini, resensi buku, etiketnya dilarang mengirim satu artikel ke banyak media. Kalau sampai tulisan dimuat di dua media massa pada hari yang sama atau selang beberapa waktu, itu juga musibah. Kita bisa di­­-black list. Kita dianggap tidak beretiket. Supaya integritas terjaga, upayakan tidak melakukan kebiasaan ini. Menulislah untuk satu media dengan satu artikel. Dan mengirimlah dua artikel berbeda ke dua media massa yang berlainan. Itu diperkenankan.

Menjadi esais yang baik tentu butuh waktu dan konsistensi. Upayakan setiap pekan ada esai atau opini yang bisa kita hasilkan. Bisa one day one artickle sangat baik. Tapi bisa menulis satu artikel dalam setiap pekan, itu lumayan. Konsistensi, itu kuncinya. Jadi, yuk menulis esai. Menulis yang ringan-ringan saja, yang dikuasai, tak usah lebay. Yang penting esai Anda selesai. Wallahualam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun