Sejak pagi tadi beberapa pesan dikirim banyak teman via BlackBerry Messenger. Umumnya sama karena barangkali antara yang satu danlain cuma mengopinya saja kemudian menyebarluaskan. Inti pesan ialah Gunung Anak Krakatau meletus dan abunya yang berwarna hitam nan halus sudah memasuki wilayah Kota Bandar Lampung.
Memang sejak pagi, lantai di rumah warga di Bandar Lampung sampai Natar, Kabupaten Lampung Selatan, dipenuhi debu. Teksturnya kasar-kasar halus begitu. Kalau diusap dengan telapak tangan, kelihatan warnanya hitam halus. Mirip bibit "besi berani" alias magnet yang kami kumpulkan saat kami kecil di tanah.
Sampai siang kabar itu masih marak dikirim oleh beberapa teman. Seorang teman yang juga Ketua KomisiInformasi, Juniardi, malah memberikan bobot atas pesan yang ia kirim. Dan pesannya pas dengan posisinya sebagai ketua Komisi Informasi. Kata Juniardi, seharusnya pemerintah, dalam hal ini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberitahukan kepada masyarakat bahwa abu Anak Krakatau itu membawa elemen besi (Fe). Hal ini berbahaya jika merasuk ke dalam pernapasan manusia. Apalagi yang namanya debu gampang hinggap di makanan di rumah tangga warga. Apa yang disampaikan teman ini jelas ada betulnya. Beberapa warga awalnya tidak tahu debu hitam apa itu. Mereka baru paham saat mendengar dan membaca dari media laman daring.
Dalam konteks semacam ini, pemerintah daerah memang semestinya tanggap. Kalau perlu aparat di tingkat kelurahan diminta memberi tahu segenap warga agar waspada dengan letusan. Terutama menyikapi debu hitam yang memenuhi teras rumah dan atap rumah warga.
Di media laman daring, seperti Kompas.Com, mewartakan bahwa benar Anak Krakatau sudah meletus. Bahkan ada pos pemantau milik Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung yang rusak terkena material letusan. Pemantauan kami di lapangan juga banyak pengemudi yang menggunakan masker saat bersepeda motor. Demikian juga beberapa pejalan kaki yang menggunakan masker. Mereka khawatir debu berbahan material itu menyelusup ke tubuh, khususnya saluran pernapasan.
Kita memang tak berharap letusan ini menjadi bencana mahadahsyat yang merepotkan masyarakat seperti letusan induknya, Krakatau, pada 1883. Namun andai ini benar, yang penting ialah kesigapan masyarakat dalam meresponsnya. Sampai saat ini belum pernah ada usaha pelatihan evakuasi buat penduduk Kota Bandar Lampung dan sekitarnya untuk mengantisipasi letusan. Termasuk remeh-remeh letusan seperti debu ini. Apa upaya antisipasi, mengenali beberapa bentuk material hasil letusan, dan sebagainya.
Krakatau memang aset nasional. Bahkan dalam waktu dekat ada Festival Krakatau yang bakal dikunjungi banyak wisatawan mancanegara. Di sisi lain, jika meletus hebat, tentu menyisakan pekerjaan rumah buat penduduk sekitarnya. Ini memang fenomena alam dan kuasa Tuhan. Akan tetapi, bagaimana kita menyikapinya jelas lebih utama. Pemerintah tetap menjadi motor karena memiliki kelengkapan untuk mengantisipasinya. Termasuk juga dengan melatih warga agar terbiasa dengan hal ini. Sama seperti gempa yang acap melanda, kegesitan masyarakat dalam mengantisipasi letusan Anak Krakatau adalah ihwal utama.
Sekarang memang baru debu, tapi letusan pasti menghasilkan material yang jauh lebih dahsyat dan berbahaya. Semoga tidak menjadi bencana dan mendatangkan banyak maslahat kepada kita sebagai hamba-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H