Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Magrib Berlumur Darah

5 Oktober 2011   01:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:19 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya beruntung punya ingatan yang cukup kuat. Beberapa kejadian di masa kecil masih bisa saya ceritakan dengan baik. Beberapa teman sekolah dasar bahkan kaget saya masih mengenal nama dan postur mereka saat kecil. Sedangkan sebagian teman sudah lupa sama sekali dengan sejawat lain, termasuk dengan saya.
Cerita ini sekitar 29 tahun yang lalu. Umur saya masih 3 tahun. Masih kecil memang. Tapi beberapa fragmen sore itu masih saya ingat dengan baik.
Kebetulan di rumah, ada kakak sepupu yang tinggal bersama kami. Selain sekolah, mereka juga bantu-bantu di rumah. Termasuk mengasuh saya. Salah seorang kakak sepupu bernama Minah, kami memanggilnya Yuk Minah.
Sore itu magrib merembang. Sayup-sayup suara orang membaca Alquran di masjid Al Istiqomah. Hanya berselang tiga rumah dari kediaman kami. Saya ingat, waktu itu saya digendong Yuk Minah. Selembar kain menopang tubuh balita saya. Ada di sisi kiri badan Yuk Minah ketika itu. Saya diajak berjalan. Sambil makan. Disuapi. Semangkuk nasi ada di tangan kiri Yuk Minah. Saya ingat saat mendongak, terlihat ujung pohon kelapa. Tiba-tiba.... Prang! Kain yang menopang tubuh saya terlepas. Dorongan tubuh saya membuat mangkuk di tangan Yuk Minah jatuh. Kepingannya terserak di tanah. Setelah itu tubuh saya berdebam. Menghantam tanah. Salah satu bagian beling mangkuk ternyata tertimpa bagian pelipis kiri saya. Persis dekat mata. Saya menangis. Yang saya ingat, saya segera berlari ke rumah. Yuk Minah entah ke mana. "Papi, papi...." Saya berkata demikian. Ayah saya, Papi kami menyapanya, baru saja mandi. Ia cuma memakai handuk yang disampirkan melilit bagian bawah tubuhnya. Ia kaget melihat saya datang berlumur darah. Banyak sekali. Saat itu saya tak ingat apa-apa lagi.
Baru kemudian saya tahu, setelah itu saya dibawa ke rumah salah seorang uwak yang berprofesi sebagai mantri. Di sana, luka saya dibersihkan. Dijahit. Banyak sekali. Membekas. Codet kata orang.
Papi, beberapa tahun kemudian, bercerita, Uwak
Uci, kakak ipar ibu, gemetar saat menolong saya. Ujung beling menancap
pas di dekat mata kiri. Hampir kena saraf utama, kata dia. Darah tak henti mengucur. Kata Ibu, kalau dikumpulkan, mungkin ada semangkuk besar darah yang keluar. Saya selamat meski membawa bekas guratan luka yang awet. Tak bisa hilang. Mungkin sampai nanti. Sampai saya mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun