Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Bakat dalam Menulis Itu Penting?

3 Februari 2012   12:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:06 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah menjadi moderator talkshow kepenulisan dengan narasumber cerpenis kenamaan Indonesia, Asma Nadia. Pengarang bernama asli Asmarani Rosalba ini mengatakan mengarang itu tidak membutuhkan bakat. Pembicara lain, Biru Laut nama penanya, tak seberapa sepakat. Sebab, kata Biru, meski cuma satu persen, bakat itu penting. Perbincangan soal itu tak berlarut karena saya segera mengalihkan ke topik lain.
Bakat itu taleta. Bawaan sejak lahir. Bisa jadi karena ada "titisan darah" dari orangtuanya, seorang anak bisa menjadi penulis. Kalau saya berkesimpulan bakat memang menunjang kebisaan seseorang menulis. Selebihnya, yang 99 persen itu didapat dari berlatih, mencoba, dan terus menulis.

Buat saya, bakat itu tak bisa ditolak. Saya punya contoh. Tahun 2001 ada anak usia 6 tahun juara Lomba Menulis untuk Presiden Megawati. Panitianya Dewan Kesenian Jakarta. Ratusan anak mengikutinya. Yang menang namanya Abdurrahman Faiz. Anda tahu anak siapa ini? Ayahnya Tomy Satryatomo, jurnalis televisi. Mungkin sedikit yang tahu. Ibunya ialah Helvy Tiana Rosa. Rasanya hampir semua pembaca dan penulis sastra tahu dengan dia. Helvy ialah perempuan pengarang kenamaan Indonesia. Dia ketua umum pertama Forum Lingkar Pena (FLP), organisasi kepenulisan. Karyanya cemerlang, bahkan sudah banyak yang dialihbahasakan di luar negeri. Buat saya, wajar Faiz menang. Sebab, ia "mewarisi" bakat bapak dan ibunya.
Namun, andai Faiz tak mencoba menulis, kita tidak akan tahu toh ia punya kemampuan mengarang yang luar biasa?

Faiz bisa menulis dengan baik lebih kepada lingkungan yang membentuknya. Bertumpuknya buku bacaan di rumahnya jelas punya dampak pada kesukaannya membaca. Pekerjaan bapak dan ibunya sedikit banyak membantu talenta menulisnya. Sudahlah bakat ada, ditambah lingkungan intelektual yang mendukung, dipicu kemauan sang anak berlatih dan mencoba menulis. Akhirnya, bakat tadi terasah. Muaranya, si anak punya keterampilan menulis yang mumpuni.

Sekarang, kalau bapak dan ibu kita bukan penulis, apa bisa kita menjadi penulis? Apa sanggup kita menjadi penulis yang andal? Jawabannya: bisa. Tak usah kecil jika secara talenta, kita tak membawa tradisi menulis dalam keluarga. Kuncinya ada pada minat. Ya, minat. Sebab, minat itulah yang memancing kita untuk menulis. Minat menjadi jembatan antara ketiadaan talenta dan visi menjadi penulis. Karena ada minat, kita mencoba menulis. Karena terus-menerus, keterampilan itu terasah sehingga bisa menjadi penulis yang baik. Orang tua-tua dulu bilang, "Alah bisa karena biasa." Jadi, tegasnya, jangan berkecil hati kalau orangtua kita bukan penulis, jurnalis, atau pengarang. Sebab, kita bisa melakoni profesi menulis itu dengan minat yang besar.
*
Saya sering mengamsalkan menulis ini dengan sepakbola. Begini maksud saya. Kalau bicara bola, sampai kapan pun tak boleh melupakan dua nama ini. Sebab, dunia mengakui keduanya sebagai pemain terbaik sejagat. Siapa mereka? Pele dan Maradona. Meski sekarang banyak lahir pesepakbola andal, Lionel Messi misalnya, nama Pele dan Maradona adalah legenda. Buat saya, mereka itu talenta luar biasa. Ekstremnya, mereka lahir memang untuk bermain si kulit bundar. Keduanya pernah sukses membawa negara masing-masing, Brasil dan Argentina, menjadi kampiun Piala Dunia. Apa kaitannya dengan menulis?

Talenta kedua pemain itu luar biasa. Orangtua dan lingkungan memang membentuk mereka hingga menjadi pemain besar. Namun, tanpa berlatih, mencoba, jatuh dan bangun, Pele dan Maradona cuma orang biasa. Kerja keras merekalah yang membuat keduanya jadi pemain hebat sejagat. Boleh jadi, semua talenta mereka terkubur andai mereka tak berlatih dengan keras. Setiap hari, setiap denyut jantung mereka, dengan terus berlatih dan berlatih.

Mungkin kita membawa talenta luar biasa dalam menulis. Tetapi selama bukti otentik naskah yang dihasilkan tidak ada, percuma talenta itu. Ia mesti diiringi dengan kerja keras. Minat yang besar dengan menulis ialah jembatan menuju kesuksesan menjadi penulis. Wallahualam bissawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun