Ending atau epilog adalah akhir dari sebuah tulisan. Dalam feature yang menekankan sisi humanisme, epilog ini urgen. Mengapa? Sebab, pembaca butuh klimak, butuh kejutan, perlu akhir yang membuat mereka puas. Klimaks begitu. Maka itu, epilog juga mesti dirasa-rasai agar tulisan itu--dalam bahasa saya--khusnul khatimah.
Pertama, epilog bisa berupa kilas balik.
Flash back ini adalah mengulang bagian prolog dengan bahasa yang berbeda. Maksudnya ialah memberikan penekanan pernyataan penting dalam lead. Bisa juga bermakna membulatkan pengertian seluruh ceritanya.
Laban Abraham, reporter Kantor Berita Radio KBR68H dalam program Saga menulis feature berjudul "Kisah Anak TKI yang Terbuang".
Dalam prolognya, Laban menulis, "Anak-anak itu tampak asyik bermain sepeda di pinggiran jalan raya Rawa Bokor, Cengkareng, Tangerang. Terik matahari dan lalu lalang kendaraan truk menuju Bandara Soekarno-Hatta tak mengusik mereka. Tiga sepeda dipakai mengitari deretan rumah kontrakan yang ada di sana. Tak satu pun menggunakan alas kaki.
Di antara anak-anak itu, tampak dua wajah gadis kecil berparas Timur Tengah. Dengan alis tebal, bulu mata panjang dan lentik, hidung mancung, rambut ikal dan warna kulit agak gelap. Kedua anak itu melepas pandangan curiga setiap ada orang tak dikenal yang datang mendekat."
Kisah yang ditulis Laban soal banyaknya perempuan buruh migran yang melahirkan anak hasil pemerkosaan majikan yang Timur Tengah. Mereka malu untuk pulang kampung dengan perut hamil atau membawa bayi. Solusinya, bayi tak berdosa itu mereka jual. Sudah tentu genetika sang bayi yang kearab-araban itu tak serupa dengan wajah khas Indonesia.
Di epilognya, Laban menulis, "Anak-anak buruh migran ini mungkin tidak akan pernah lagi bertemu orangtua mereka. Tapi mereka pasti akan bertanya-tanya, kenapa wajah mereka khas Timur Tengah, jauh berbeda dengan siapa pun yang merawat mereka sehari-hari."
Epilog ini menguatkan paragraf di awal sehingga menimbulkan ekstase buat pembaca. Saya sendiri menemukan kepuasan saat membaca epilog yang bagus ini.
Andreas Harsono, jurnalis yang sekarang menjadi peneliti HAM, pernah menulis di majalah Pantau. Ia beri judul artikel tentang majalah The New Yorker itu dengan "Cermin Jakarta, Cermin New York".
Di bagian awal, Andreas menulis kondisi Salatiga waktu itu. Orang tengah hangat bicara politik. Mahasiswa sedang gandrung dengan novel Pramoedya Ananta Toer yang dilarang pemerintah. Mereka juga kesengsem berat dengan Arief Budiman, pembangkang cum dosen dari Universitas Kristen Satya Wacana.
Suatu waktu Andreas disodori fotokopi majalah berbahasa Inggris yang berisi laporan tentang Soeharto, bisnis anak-anaknya, perseteruan Jenderal Benny Moerdhani dan Wakil Presiden Sudharmono, Islam, Timor Timur, dan sebagainya.
Andreas menulis dalam lead-nya, "Buat mahasiswa yang suka diskusi, laporan itu menyenangkan karena informasi yang jarang dimuat media massa Jakarta tercetak lengkap, dari fakta, gosip, hingga rasa kecewa, marah, dan kecut. Ibaratnya, saya mengerti politik Jakarta dengan memandang cermin yang diletakkan Bonner. Saya agak lupa berapa lama saya baca laporan Bonner.... Dalam kantuk, saya perhatikan apa nama majalah yang memberi tempat buat artikel sedahsyat ini. Namanya... The New Yorker."
Dalam naskah panjangnya, Andreas dengan apik menulis soal ihwal majalah keren Amerika Serikat itu. Fokusnya pada laporan Raymond Bonner, kontributor The New Yorker.