[caption id="attachment_123071" align="alignleft" width="640" caption="Sampul majalah Time yang memuat cerita Assange dan Wikilieaks."][/caption]
Apa kabar pemilik WikiLeaks, Julian Assange? Sudah lama tak ada kabar berita soal peretas satu ini. Kompas edisi Rabu, 13 Juli 2011, mewartakan bahwa pria asal Australia ini akan diekstradisi atau dipindahkan ke Swedia. Jaksa di Inggris, tempat Assange sekarang, mendakwanya dengan tuduhan pelecehan seksual terhadap dua perempuan asal Swedia. Assange diprediksi dipindahkan ke Swedia atau Amerika serikat. Jika ini terjadi, keselamatan buat jurnalis ini bakal terancam. Apalagi kalau sampai divonis masuk Guantanamo, ia terancam hukuman mati * Sejak penangkapan Assange, praktis berita soal situs pembuka aib (whistle blower) itu padam. Sempat muncul dalam beragam varian, situs ini kemudian tak bertaji lagi. Keterikatan yang erat media daring itu dengan Assange membuatnya seperti keping mata uang. Di saat yang satu dibungkam, yang lain juga ikut diam. Ini menarik dicermati sebab di awal kemunculannya, media massa seolah mendapat limpahan informasi yang menarik. Tidak main-main, yang dilawan bukan sekadar tiran di sebuah negara, tetapi negara adidaya: Amerika Serikat. Mungkin dua hal yang membuat Assange dan timnya "tak berkutik" saat rekayasa kasus atas dirinya mulai diluncurkan. Pertama, tidak ada kaderisasi. Kaderisasi ini menjadi penting karena merupakan lanjutan dari sebuah perjuangan. Assange semestinya menyiapkan orang-orang kepercayaannya agar terus menjaga eksistensi situs ini. Ia tidak bisa bekerja sendiri. Kerja media itu kerja tim, tidak bergantung pada satu orang. Atau orang itu menjadi perlambang media. Dan kejadian Assange ini buktinya. Andai Assange memiliki kepiawaian dalam menduplikasi dirinya ke jiwa orang lain, nasib WikiLeaks bakal berlanjut. Mungkin tidak dalam bentuk yang serupa dan konten yang demikian terbuka, tetapi lebih halus dan cantik dalam bermain. Sayang, ini tak dilakukan Assange. Kedua, menjadi musuh bersama dan tidak fokus. Begini. Awalnya memang cuma data dari pemerintah Washington saja yang dihajar habis-habisan. Tapi,karena negara adidaya, Amerika Serikat ini punya banyak sekutu. Dan itu berbanding lurus dengan jumah negara yang terimbas dengan pembocoran itu. Termasuk Indonesia. Karena itu, Assange seolah-olah membuka front perlawanan dengan semua negara, dan akhirnya WikiLeaks "kalah". Tetapi barangkali akan lai jika model perlawanannya fokus. Misalnya, ada satu dokumen penting soal hak asasi manusia. Assange harus menjaga isu itu agar tetap hidup dan mengupayakan keberhasilan dunia internasional memberikan perhatian. Jadi, arah "perjuangan" WikiLeaks itu jelas. Ada satu tema yang dijadikan kisah sukses media dalam mengadvokasi kepentingan publik. Kalau fokus, perhatian media massa lain, semisal televisi, media internet dan koran, akan punya isu yang terus bergulir. Karena menjadi pemicaraan massif, pasti punya dampak yang bagus. Dan semua model pemberitaan yang dilakuan, dirancang secara baik, bakal menemui ujung umurnya dengan baik. Selain kisah dua wartawan muda The Washington Post, Woodward dan Bernstein, kisah seorang reporter Philadephia Examiner, Jonathan Neumann, juga menarik dijadikan contoh. Peristiwa ini terjadi tahun 1976 di Kota Philadephia saat wali Kota Frank Rizzo berkuasa. Rizzo adala bekas kepala kepolisian di kota itu. Orangnya tegas terhadap siapa pun yang melakukan kejahatan. Rizzo ingin kotanya mana sehingga jika ada kejahatan, mesti ada yang ditangkap, mengaku, untuk kemudian dihukum. Ini menjadi bahan kampanye andalan Rizzo. Sebab itulah, polisi berusaha menghukum sebanyak mungkin orang. Mereka yang terindikasi, kemudian disiksa, dianiaya, agar mengaku. Rizzo ingin kotanya benar-benar aman. Ia paranoid dengan kejahatan yang tak terungkap. Tapi langkah Rizzo malah membuat banyak orang tak bersalah masuk bui. Dan Jonathan mencium gelagat itu. Sejak itu, langkah investigasi dilakukan. Tapi, melakukan itu ternyata sulit, teramat bahkan. Bahkan, saat reportasenya mulai mengancam eksistensi Rizzo yang mau maju lagi untuk ketiga kali dalam pemilihan wali kota, Jonathan dibikin trauma oleh beberapa polisi. Ia diculik dan dimasukkan ke sebuah lubang kuburan seraya diancam untuk tak mengulik perihal perlakuan polisi atas para penjahat di kota Philadephia. Jonathan bergeming. Ia lalu mendapat mitra yang pas, Phil Chadway, untuk meneruskan kasus ini. Mereka kemudian menyusun langkah bagaimana meluruskan berita ini. Suatu waktu "Deep Throat" muncul. Ia adalah seorang bekas polisi yang pernah menjadi algojo penyiksa para orang yang diindikasi jahat untuk mengaku. Ia bercerita, sebetulnya banyak polisi yang tidak suka dengan perintah Wali Kota Rizzo. Ternyata apa yang disampaikan sang narasumber itu benar. Jonathan dan Phil kemudian bisa editor Philadephia Examiner untuk menurunkan berita soal itu. Setelah berita turun, Wali Kota Rizzo marah besar. Ia menantang Jonathan. Hingga suatu waktu Jonathan berhasil memancing pernyataan Rizzo dan merekamnya. Saat tulisan itu turun sebagai headline Philadephia Examiner bertajuk "FBI Dakwa Polisi dan Rizzo Penyalahgunaan Wewenang", cerita sang wali kota berakhir. Jonathan dan Phil lalu diganjar penghargaan Pulitzer, bentuk award tertinggi di bidang jurnalistik Amerika Serikat dan dunia. * Assange jelas tak bersalah mengungkap persekongkolan jahat sebuah negara adidaya. Ia hanya kurang piawai dalam meracik info itu untuk dijadikan apa. Sekadar mengumpan saja tanpa pernah menarik kail dan mengumpan lagi untuk mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya. Padahal, ketika jurnalis melakukan verifikasi dan meminta konfirmasi banyak pihak, ia sudah 'menang". Jadi, data primer yang didapat bisa lebih "berbunyi" dengan bantuan sejumlah narasumber yang kompeten. Dan hasilnya bisa lebih maksimal. Kalaupun tak sampai meruntuhkan sebuah dinasti besar AS, paling tidak nasib Assange tak seperti sekarang. Mereka mungkin akan berhitung jika ingin mencari-cari kesalahan dan mendakwa serta memenjarakan Assange. Julian Assange kini menghadapi tuntutan ekstradisi sampai ke tanah Paman Sam. Ini sebetulnya juga menarik jika dilempar ke media dengan racikan isu yang bagus. Wacananya ialah perjuangan para jurnalis untuk mengungkapkan kebenaran demi publik mendapat ancaman serius sampai hukuman mamti. Kita menunggu bagaimana sikap media dalam hal ini. Dan tentu saja tak mengulang langkah yangf dilakukan Assange. Kita ingin sukes seperti Woodward dan Berntein dalam skandal Presiden nixon, Jonathan dan Phil yang "menggusur" Wali Kota Rizzo. Sabar-sabar ya Mister Julian! Gambar pinjam dari sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H