Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Tabuhan Kematian" Cetik Lampung

26 Mei 2011   02:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:13 1410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak, tik, tak, tik. Syapril Yamin membunyikan alat musik ketuk seperti gamelan jawa itu di teras rumahnya. Beberapa wartawan televisi dan media cetak memperhatikan lelaki asal Kabupaten Lampung Barat, Lampung ini dengan saksama.

Bunyi ketukan itu indah. Enak didengar. Easy listening kata anak-anak muda sekarang. Tapi ada kalanya juga tak beraturan. Malah lebih terasa nuansa magis nan mistisnya.

Tangan Syapril terampil benar memainkan alat musik itu. Alat musik yang pembuatnya bisa dibilang cuma dia seorang.

Syapril yang lahir di Skala Brak, Kabupaten Lampung Barat, tahun 1969 itu beringsut. Ia bergeser sedikit. Dari ruang depan ke galeri miliknya.

Bentuknya serupa garasi. Di pinggir-pinggirnya bergeletakan batang bambu. Ada juga alat musik yang sudah jadi. Oh iya sampai lupa, alat musik ini lazim disebut cetik.

"Nama asli alat musik ketuk ini gamelon pekhing. Cuma karena susah nyebutnya, orang lebih kenal cetik. Mungkin karena bunyinya tak tik tak tik, maka orang akrab menyebutnya cetik," ujar Syapril yang masuk ke Bandar Lampung dari kampungnya di Skala Brak, Lampung Barat, pada 1999.

Ia lalu memegang sebatang bambu. Bambunya punya warna batang yang keemasan. Bagus sekali. Tangan Syapril mengelus-elusnya. Ia pandangi batang bambu itu. Bambu pun ia potong sehasta lebih sedikit. Syapril akan membuat tujuh ruas supaya bambu ini punya nada. Ia potong bambu dengan ukuran yang tidak sama.

Setiap panjang punya nada sendiri. Kita memang mengenal susunan nada ada delapan: do re mi fa so la si do. Ini biasa disebut diatonis.

Namun, Syapril tak membuatnya menjadi delapan. Ia cuma butuh tujuh. Nada "fa" tidak ada. Maka itu ini lazim dikenal dengan pentatonis.

Kini sebatang bambu betung asli Lampung Barat sedang menunggu takdir di golok Syapril. Sisi kedua golok agak berpendar tertimpa sinar pagi yang mulai cerah.

Kata Syapril, bambu betung untuk membuat cetik ini mesti yang tua. Cara paling gampang menentukan batang bambu yang tua ialah," Kalau sering digelayuti siamang, itu pasti batang tua, karena kuat. Siamang tidak bakal duduk-duduk di batang yang masih muda, bisa jatuh dia."

Untuk membuat cetik yang bagus, bambu betung yang tua itu tidak boleh langsung diolah. Ia mesti diangin-anginkan. "Supaya tidak lembap dan suaranya nyaring."

Kalau mau bagus betul, butuh satu tahun untuk mengangin-anginkan sebatang betung! Lama sekali memang, tapi itu syarat kalau alat musik unik asal Lampung ini mau bagus dan tahan lama.

Syapril lantas mengambil cetik yang sudah jadi. Alat musik itu lalu ia pangku. Dua alat ketuk ia pegang. Penjelasan kepada tamunya pagi itu kemudian diteruskan.

Syapril mengatakan, cetik ini asli dari Skala Brak di Kabupaten Lampung Barat. Ia dipakai untuk mengiringi orang yang melantunkan sastra secara bertutur yang disebut hahiwang. Orang yang ber-hahiwang ini umumnya menyenandungkan kekurangan diri, pengharapan, dan hal-hal sedih lainnya.

Cetik kemudian berkembang untuk tetabuhan dalam acara tertentu. Menurut Syapril, minimal ada empat jenis tetabuhan cetik. Pertama, tabuh sambai agung untuk penyambutan tamu agung. Kedua, tabuh jakhanguntuk perpisahan. Ketiga, tabuh sekelih untuk selingan atau jeda, dan keempat tabuh labung angin yang bernada naik turun, mirip hentakan hujan yang kadang deras, kadang rintik.

"Cetik ini memang berkenaan dengan adat. Seperti tabuhan adat, ini sulit dipelajari karena kita mesti mendapatkan ruhnya. Jika perlu, kita mesti ke Skala Brak untuk mendapatkan nuansa daerah setempat," kata Syapril.

Syapril kemudian memainkan cetiknya. Sekitar setengah menit ia mengetuk-ketukkan cetik. Nadanya memang tak beraturan. Kurang sedap juga didengar. Kadang lirih, kadang menghentak. Mirip ketukan gamelan saat penari bali sedang beraksi. Kalau disimak terus, suasana yang terbentuk memang agak magis. Seperti ada suasana yang lain. Syapril senyum-senyum saja melihat tetamunya terpana melihat cetik yang sedang ia mainkan. Mungkin itu yang disebut Syapril mesti ada ruhnya jika memainkan cetik.

Di Lampung, pembuat cetik "cuma" Syapril seorang. "Kalau tiga ribu cetik adalah saya buat sejak saya masuk Bandar Lampung. Yang belajar memainkan alat musik ini juga bisa mencapai ratusan orang."

Namun, Syapril "menyerah" jika diminta memainkan cetik dengan nada lagu-lagu yang sedang tren. Ia mengaku tidak terlalu pandai bermain nada, selain tetabuhan yang empat tadi. Ia mengatakan sedang bekerja sama dengan seniman musik untuk menentukan nada-nada cetik agar bisa dipakai mengiringi lagu-lagu tradisional dan lagu populer.

Syapril sejatinya juga piawai memainkan jenis alat musik lain, misalnya, talo balak jawa, tenong, dan gambus. Namun, ia lebih memilih cetik.

"Saya cuma meneruskan orang tua melestarikan cetik. Kalo ukurannya uang, enggak ke sana arahnya. Yang namanya seni tradisional, di mana-mana enggak bakal laku dijual. Modalnya cuma idealis aja," katanya. Meski demikian, Syapril tetap bersyukur. Permintaan cetik yang diminta sekolah-sekolah ada saja setiap tahun. Syafril yang juga aktif sebagai Ketua Komisi Tradisi Dewan Kesenian Lampung ini pernah tampil di Bangkok, Thailand, dalam Festival Musik Pedalaman.

"Kalo rezeki ada aja, Mas. Selain ngelatih anak sekolah yang mau belajar, saya juga sering tampil di daerah dan luar negeri. Bahkan, pernah diberangkatkan umrah," kata dia.

Jika waktu sudah mendekati waktu salat zuhur, Syapril biasanya keluar rumah. Bisa diniatkan mencari inspirasi atau sekadar kongko-kongko dengan teman-teman. Acap pula ia bertandang ke Sekretariat Dewan Kesenian Lampung.

Rupanya membuat cetik juga tergantung pada mood. Kalau Syapril sedang mood, ia bisa seharian bercumbu dengan bambu. Membuat satu atau dua cetik bisa dikerjakan.

"Ngerjain cetik ini tergantung mood juga. Kalo lagi enak, seharian bisa buat cetik. Tapi, kalo hati lagi sumpek, seharian enggak buat sebiji cetik pun."

*

Lain waktu Syapril bersama beberapa teman seniman tampil di hotel. Duduk di ruang beranda hotel atau lobi, ia memainkan cetik. Berbaju khas Lampung, irama cetik besutan Syapril terdengar merdu. Ritmenya perlahan dan enak didengar. Tapi, tak menutup kemungkinan ketukannya berubah ke tetabuhan adat yang tak beraturan. Mata Syapril juga acap mengejap, mungkin mencoba menghadirkan suasana atau ruh yang acap ia sebut dalam percakapan tadi.

Yang jelas Syapril tak mau tetabuhan yang ia senandungkan adalah yang terakhir. Meski bisa dipelajari, untuk menghadirkan ketukan yang sesuai dengan langgam cetik, memang tak mudah. Butuh belajar yang giat. Seratusan siswa sekolah dasar yang sudah pernah ia latih, juga tak semuanya punya talenta untuk menabuh cetik dengan benar. Tapi Syapril harus optimis kalau penerus penabuh dan pembuat cetik masih terus ada, meski untuk itu harus berdiam di ujung Lampung Barat sana.

Namun, andai modernisasi memang membuat orang melupakan sisi tradisi dan lokalitas, bukan tak mungkin tabuhan Syapril itu menjadi yang terakhir. Ah! Tak, tik, tak, tik..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun