Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Swastanisasikan Listrik Sekarang Juga!

8 Mei 2014   05:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:44 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah beberapa bulan ini, Lampung sedang diteror monster. Monsternya bukan berupa makhluk menyeramkan. Tapi efek merusaknya jauh lebih dahsyat ketimbang monster seperti yang kita simak di film-film Hollywood. Nama monster itu mati lampu. Lantaran untuk urusan hajat ini diurus sendirian oleh PLN, bisalah disederhanakan, monster itu bernama PLN. Saat anak-anak sedang mempersiapkan diri memghadapi ujian nasional, PLN tak kuasa untuk menjaga listrik tetap mengalir. Barangkali karena jumlah rumah tangga yang mesti dikirimi setrum tambah banyak, di satu sisi PLN tak mampu menghasilkan energi alternatif dan banyak pembangkit yang keropos, akhirnya mati lampu menjadi ihwal menjengkelkan.

Di Lampung, kabarnya, pola distribusi listrik memang tak dipasok sendirian. PLN di "Negeri Gajah" ini mesti bekerja sama dengan daerah lain. Istilahnya itu, interkoneksi. Sayangnya, saban tahun, PLN selalu mengeluh bahwa ketersediaan setrum mereka menipis. Belum lagi kalau musim kemarau, di mana debit sungai besar berkurang, akhirnya turbin pun tak bergerak lancar. Pasokan listrik makin melemah. Kalau sudah begitu, satu-satunya cara ialah dengan pemadaman bergilir. Lantaran pemadaman bergilir sudah bosan diterima telinga orang Lampung, kini yang ada bernama istilah penyalaan bergilir. Saat tulisan ini dibikin pun, kondisinya mati lampu. Tidak tahu berapa hasil akhir Timnas Indonesia melawan Timnas Myanmar yang kedua tim sama-sama masih di bawah usia 19 tahun.

Dengan melihat kondisi yang parah begini, apakah tidak lebih baik jika pengelolaan listrik diberikan juga kansnya kepada swasta. Dahulu, orang mungkin akan gerah jika sedikit-sedikit disebut swastanisasikan. Namun, sekarang, dengan kondisi yang parah semacam ini, kita memang butuh sektor swasta ikut mengelola listrik.

Kalau Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa hajat hidup orang banyak dikuasai negara, termasuk listrik, caranya kan "gampang". Tinggal amendemen saja regulasinya. DPR didorong untuk mau mengubah aturan ini. Era reformasi memungkinkan kita "mengutak-atik" UUD 1945 yang dahulu jadi barang sakral. Kini, menyesuaikan saja. Toh saat dibikin pun, regulasi urgen bangsa itu pun dibikin dalam kondisi darurat.

Nah, untuk kebutuhan pokok seakbar listrik ini, kita mesti mendorong sektor swasta masuk. Kalau kita masih terbayang ketakutan kehilangan independensi bangsa dalam mengurus hajat rakyatnya, isu basi saya kira. Yuk tengok, ada berapa banyak tambang yang ada di Indonesia yang dikelola swasta dan kita hanya mendapat kucuran yang mahasedikit. Ada berapa banyak aset yang semestinya digunakan kemakmuran rakyat, malah dikelola kontraproduktif? Apa masuk akal BUMN yang tak ada saingan dalam mengelola listrik saban tahun merugi? Kalau setiap tahun merugi, artinya menggerogoti keuangan negara. Ketimbang keluar duit banyak untuk menggaji petinggi BUMN yang tak kerja maksimal, lebih baik tutup saja BUMN itu. namanya saja usaha. Kalau pendapatan tak cukup lagi menutupi aktivitas produksi, tutup saja. Buat apa menalangi usaha yang sumbangan ke kas negaranya tidak ada.

Jadi, samakan saja perspektif kita saat melihat setrum ini dengan melihat telekomunikasi. Dengan penyedia jasa layanan seluler yang banyak, kita tinggal memilih, mana suka. Tak puas dengan layanan provider A, silakan pindah ke B. Tak puas dengan B, beralih ke C. Listrik, semestinya juga demikian. PLN masih boleh beroperasi, tapi ia akan punya saingan. Kompetisi itu bagus. Hidup memang penuh dengan kompetisi. Dengsn bertanding, setiap korporasi akan berinovasi supaya pelanggan puas. Kalau semua perusahaan listrik kinerjanya oke, jangan takut gulung tikar. Ceruk pelanggan masih besar. Siapa tahu dengan ada saingan, PLN malah tambah oke performamya.

Ketimbang mempertahankan PLN sebagai satu-satunya pengelola setrum, lebih baik dibuka peluang swasta untuk masuk. Kalau mengandalkan PLN yang setiap hari memadamkan lampu sehingga malah mikin boros, swasta diizinkan masuk saja. Dengan adanya swata di sektor ini, tenaga terampil di bidang energi akan terpakai. Yang bisanya cuma menjilat dan korup, silakan mundur. Penting dicatat, ada beberapa kasus korupsi yang terjadi dalam beberapa proyek soal listrik ini. Di Lampung, kasus pembangkit Sebalang malah menyeret beberapa petinggi PLN dan legisalator di tingkat pusat.
Jangan percaya juga dengan ucapan bos PLN dan Kementerian BUMN yang dahulu pernah janji takkan ada pemadaman lagi. Ketimbang pencitraan sana-sini, kamuflase dengan literatur dan film soal perjuangan hidup yang berdarah-darah, selesaikan saja dulu soal listrik. Rakyat kan butuh bukti, bukan janji dan entertainment pejabat negara yang dipersepsikan sederhana, kasual, dan yang sejenisnya.

Tegasnya, berikan peluang kepada swata untuk ikut mencicipi nikmatnya mengurus setrum di negeri ini. Terbukanya usaha juga membuka lapangan kerja baru. Tenaga teknis soal listtik bisa diserap pasar. Kalau dulu cuma mengandalkan PLN sebagai titian karier di bidang perlistrikan, ke depan kita punya banyak alternatif. Gajinya pun mudah-mudahan kompetitif.

Apa mau kita saban malam gelap-gelapan? Apa kita mau komputer, lemari es, AC, dan alat elektronik di rumah jebol semua gara-gara byarpet ala PLN? Apa kita mau aktivitas ngeblog kita terganggu dengan listrik yang tidak stabil sementar gaji petinggi BUMN di ranah ini selangit? Ketimbang semuanya makin parah, buka peluang swata masuk. Beri mereka kesempatan yang sama dengan PLN. Kita sebagai pelanggan, nanti tinggal memilih, mau menggunakan perusahaan apa. Siapa tahu, kalau puny kompetitor, kinerja PLN makin oke. Kalau dulu jago kandang--tapi itu pun kalah melulu--dengan adanya swasta, PLN bisa mawas diri. Masak mau masuk AFTA dan pasar bebas dunia, persoalan setrum seperti ini saja tak beres-beres. Memalukan, PLN! Wallahualam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun