Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Canon Printer Bikin Writer Makin Pinter

24 Mei 2014   23:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:09 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak ingin ada stigma bahwa karya di blog diposting seadanya, tapi untuk karya yang dibayar diperhatikan sungguh-sungguh. Di titik inilah urgensi sebuah Pixma E400 ini menemukan momentumnya. Mungkin banyak yang bilang, buat apa sih susah-susah mesti mencetak kertas dan membaca naskahnya untuk disunting. Bukankah mengedit langsung pada layar komputer sudah lebih dari cukup. Bukankah dengan mencetak naskah kita membutuhkan kertas lebih banyak dan tidak ekonomis. Bahkan, boleh jadi, beberapa penggiat lingkungan menganggap ini mubazir karena membutuhkan kertas lebih banyak yang merupakan wujud tidak go green. Namun, sebagai pekerja yang ingin berlaku profesional, pilihan ini tetap saya gunakan.

Beberapa teman memang geleng-geleng kepala kalau saya sedang memberi tanda berupa arsiran stabilo pada beberapa kata atau kalimat yang saya anggap mesti diperbaiki. Tapi beberapa teman lain sudah mahfum kalau itu memang kebiasaan saya sejak lama. Ada keasyikan tersendiri jika membolak-balik kertas sambil membaca. Sesekali memberikan coretan untuk huruf yang masih salah atau tanda baca yang keliru. Keasyikan secara manual inilah yang tidak saya temukan jika mengedit di komputer. Memang sih, kadang masih ada satu dua kata yang tercetak keliru. Ada tanda baca yang kurang tepat.

Namun, ini masih lumayan jika saya sekadar mengandalkan bekerja di layar komputer. Bukankah bekerja itu, jika disertai perasaan nyaman, akan memberikan hasil yang maksimal? Dan model kerja seperti ini, menikmati membaca naskah hasil produksi Pixma E400, adalah sebuah pilihan yang entah kapan bisa saya tinggalkan. Ada sebuah ekstasi, keasyikan, kenyamanan, dan suasana klasik ketika bekerja model ini. Perbandingan hiperbolanya mungkin dengan Pramudya Ananta Toer yang konon asyik mengetik dengan mesin tik ketimbang menulis via komputer. Keasyikan yang sama yang barangkali dialami pendiri Kompas Jakob Oetama saat menulis tajuk rencana dengan mesin tim Remington kesukaannya ketimbang mengetik dengan komputer.

Usai menandai banyak naskah dengan stabilo, kerja berikutnya ialah memperbaiki naskah di komputer. Kini, pekerjaan makin gampang. Saya tinggal memperbaiki naskah sesuai dengan hasil coretan tadi. Ada banyak juga yang mesti diperbaiki. Padahal saat mengedit via komputer, kesalahan-kesalahan tadi tidak ditemukan. Inilah keuntungan jika melihat hasil kerja dengan kondisi tercetak. Mengedit dengan membaca naskah tercetak lebih baik ketimbang secara virtual.

Setelah yakin bahwa semua naskah telah diperbaiki, pekerjaan berikutnya ialah mencetak naskah lagi. Tentu harapannya tidak ada kesalahan yang betul-betul elementer. Andaipun saat diperiksa si penulis masih ditemukan kesalahan, saya yakin hanya sedikit. Mungkin tinggal dua atau tiga diksi. Maka, Pixma E400 pun kembali bekerja. Masih dengan teknik yang sama, saya memasukkan kertas 25 lembar setiap sesi mencetak. Usai 25 kertas tercetak sempurna, masuk lagi 25 lembar lainnya. Demikian seterusnya sampai seratusan naskah ini siap saji. Waktu pun sama. Cukup sebentar. Usai kerja editing ini kelar, tak mesti saya baca lagi hasilnya. Tinggal dijilid dan besoknya diserahkan kepada si empunya tulisan. Karena sudah janjian, saya hanya menyerahkan saja hasil print out naskah ini kepada penulisnya. "Boleh juga nih hasil print out-nya," kata Maya, si penulis yang naskahnya selama sepekan saya sunting. Saya tersenyum.

"Printer baru keluaran Canon tuh yang ngerjain. Pixma E400," ujar saya. Lantaran sejak awal penulisan saya memandu si penulis, hasil editing ini pun tak banyak perbaikan. Ia hanya minta beberapa kalimat dalam beberapa bab dipangkas karena berpengaruh pada harga ketika dibikin buku. Ia mau bukunya lebih ramping dan tipis. Saya mengiyakan. Nyaris tidak ada perbaikan dalam hal kata atau kalimat yang saya kerjakan. Ia rupanya puas dengan hasil kerja saya itu. Dan sedikit banyak, Pixma E400 punya andil di dalamnya.

Jika di atas adalah pengalaman saya menyunting naskah buku dengan bantuan Pixma E400, adanya printer anyar keluaran Canon ini mendorong saya mencetak beberapa naskah buku atau fiksi karya pribadi. Jauh sebelum printer ini datang, saya memiliki sebuah novel yang belum diterbitkan. Saya pun bukan tipikal orang yang "ambisius" untuk segera menerbitkan sebuah karya fiksi. Saya sadar, sebagai penulis baru di ranah ini, ada beberapa tahapan yang mesti saya kerjakan. Titik kulminasi dalam dunia menulis akan tercapai jika proses itu dilalui. Naskah novel itu sebelumnya pernah satu dua kali saya tawarkan kepada penerbit mayor label. Alhamdulillah, belum ada yang kesengsem dengan karya itu.

Naskah saya dinilai masih mentah untuk sebuah karya fiksi berupa novel. Tulisan saya masih dianggap dangkal dan belum nyastra, seperti keinginan penerbit. Terhadap kritik dan masukan itu, saya terima dengan lapang dada. Dua tahun belakangan, beberapa teman di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung menaja sebuah penerbitan indie. Namanya Indepth Publishing. Ini ikhtiar beberapa teman agar dunia literasi di Lampung menggeliat. Selama ini, penulis potensial di Lampung terkendala menembus meja redaksi penerbit arus utama, khususnya di Jakarta dan Yogyakarta. Padahal, kemampuan mereka lumayan. Selain itu, mereka juga punya pangsa pasar yang potensial. Setidaknya, di Lampung.

Dengan melihat ceruk yang potensial semacam itu, Indepth kemudian didirikan untuk mengakomodasi keinginan penulis dan calon penulis dari Lampung untuk melahirkan karya. Dan, alhamdulillah, respons cukup baik. Sampai dua tahun sejak dioperasikan dua tahun lalu, jumlah buku yang dihasilkan nyaris seratus buah. Tempo Inggris edisi minggu ini bahkan menjadikan fenomena Indepth Publishing dan geliat literasi di Lampung sebagai salah satu laporannya.

Kembali ke saya. Lantaran itu pula, naskah novel yang sempat tersimpan lama di file komputer saya buka lagi. Saya berniat menerbitkan karya itu secara indie. Pengalaman buku perdana dan kedua, Menulis dengan Telinga dan Menjaga Nama Baik, yang direspons baik oleh pembaca, meneguhkan keinginan untuk menerbitkan karya fiksi itu. Judulnya berganti dari awal naskah disusun. Sebagai sebuah naskah yang lama tak dibuka, tentu perlu ada revisi di beberapa bagian. Maka itu, naskah perlu segera diamendemen.

Namun, mengedit naskah di komputer setelah berbilang tahun tidak disentuh, ternyata butuh perjuangan. Akhirnya, trik manual dipakai. Naskah yang tersimpan itu kemudian saya cetak. Tentu Pixma E400 yang akan membantu saya mencetak naskah seratusan halaman itu. Dan seperti pengalaman sebelumnya, tak ada kendala dalam proses mencetak. Pixma E400 masih digdaya untuk mencetak. Jika dihitung sejak pertama kali digunakan beberapa pekan lalu, tinta dalam cartridge-nya masih cukup untuk menghasilkan seratusan halaman berisi naskah novel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun