Destiani memang sudah suka menulis sejak lama. Kemampuan menulisnya semakin terasah saat bergabung dengan komunitas penulis di organisasi Forum Lingkar Pena. Kini Desti, sapaan akrabnya, didapuk menjadi sekretaris FLP Wilayah Lampung. Sarjana pendidikan dari FKIP Universitas Lampung ini memang sudah lama kesengsem dengan menulis. Buat Desti, menulis itu adalah ibadah. Dari karyanya, ia bisa memberikan manfaat untuk membaca.
Desti tak membatasi genre apa ia menulis. Kadang menulis reportase, saban kali juga menulis opini. Sesekali melahirkan cerita pendek, juga puisi. Ia mencoba semua untuk menemukan talenta terbaiknya dalam ranah menulis.
Usai lulus kuliah, Desti diterima mengajar di SMP Ar Raihan. Sekolah berbasis pendidikan Islam ini memang memberikan ruang yang luas untuk para gurunya berkarya. Desti sangat menyukai itu. Ia makin rajin mengajar. Saat pemilihan guru teladan se-Ar Raihan, Desti didaulat sebagai yang terbaik. Uang belasan juta rupiah pun masuk ke koceknya. Padahal, Desti sama sekali tidak menyangka diapresiasi setinggi itu. Ia bekerja dengan mengajar sebaik-baiknya. Buat Desti, mengajar adalah ruang beramal saleh sekaligus menjadi mata pencarian.
Desti sadar, jika hanya dirinya yang mampu menulis, tak banyak yang bisa diperbuat. Yang mesti dilakukan ialah memotivasi siswa untuk mau menulis. Desti kemudian melobi manajemen sekolah. Ia ingin, sekolah memberikan ruang untuk siswa dalam dunia tulis-menulis atau jurnalistik. Ia kemudian menyusun proposal pembentukan ekstrakurikuler jurnalistik.
Perjuangan Desti sukses. Sekolah bersedia memberikan izin dan dana untuk kegiatan. Kini Desti membidik para siswa untuk mau aktif. Ia datangi satu per satu siswa agar mau aktif di kegiatan jurnalistik. Ada yang oke, tak sedikit pula yang enggan. Lebih tepatnya, malas.
Desti meyakinkan siswa bahwa kegiatan jurnalistik ini akan punya manfaat kepada mereka. Dengan kemampuan menulis dan mengarang yang baik, siswa akan terlatih menuangkan ide. Dan itu membantu memudahkan mereka dalam menerima pelajaran di kelas.
Desti kemudian didapuk menjadi pembina. Kesibukannya bertambah. Selain mengajar, ia kini mesti membina anak-anak yang mau aktif di ekskul jurnalistik. Dan yang tak boleh dilupakan, ia pun mesti menelurkan karya. Ia tak mau, anak-anak aktif, gurunya malah timbul tenggelam semangat menulisnya.
Setahun ekskul berjalan, prestasi diraih. Satu demi satu perlombaan menulis atau mading di tingkat SMP se-Bandar Lampung berhasil diraih. Bahkan, dalam Smanda Olympic yang ditaja tahun ini, Ar Raihan menggondol dua gelar. Bibir Desti tak henti mengucap hamdalah. Saat piala dipamerkan dalam sebuah upacara Senin, Desti tak henti bersyukur. Apalagi melihat anak didiknya mendapat apresiasi dan aplaus dari sekolah. Selain unggul dari sisi akademik, sekolah ternyata menaruh perhatian kepada pengembangan kepribadian dan skill siswa, terutama jurnalistik.
Desti makin bersemangat karena akhir November ini, buletin perdana mereka akan terbit. Semua dikerjakan oleh siswa. Desti hanya melakukan supervisi dan penyuntingan seperlunya saja. Ia tak ingin, karya anak-anak banyak mendapat polesan. Sederhana tak apa, asal itu karya mereka sendiri. Demikian Desti.
Sekolah rupanya melihat keseriusan Desti dan anak-anak jurnalistik. Manajemen kemudian meminta bagian teknologi informasi membuat laman daring alias situs Ar Raihan. Di situ, semua tulisan dan karya siswa lainnya, foto misalnya, juga diapresiasi. Kini, anak-anak makin bersemangat menulis. Saat tulisan mereka dipublikasikan di web, hati mereka girang bukan kepalang.
Desti kembali mengucap hamdalah berkali-kali. Anak-anak makin bersemangat membuat karya. Saat penulis cerita anak kenamaan Ali Muakhir datang ke Lampung dan menaja sebuah acara, ia angkut beberapa anak sebagai peserta. Usai kelas menulis, Ali, yang ditahbiskan sebagai penulis cerita anak paling produktif se-Indonesia oleh Muri, membuat lomba. Lagi-lagi, alhamdulillah, karya siswa Ar Raihan menjadi kampiun. Ali mengapresiasi tulisan siswa Ar Raihan.
Bukan Desti namanya jika tidak rajin mengevaluasi. Saban pekan, ia mengevaluasi kemajuan yang sudah diraih ekskul ini. Editing anak-anak semakin ketat, reportase mereka lebih tajam, dan daya nalar serta kritisnya makin tinggi. Sekolah jelas senang karena ada pengaruh positif saat anak-anak aktif di ekskul jurnalistik.
Nilai mereka dalam mata pelajaran juga semakin baik. Terutama dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Anak-anak kini semakin kritis dalam menulis. Meski kritis, mereka konstruktif dan tidak kontraproduktif. Kini, Desti dan guru lain tak bisa semaunya saja dalam mengajar dan mempraktikkan tulisan. Bisa-bisa, mereka dikritik murid lantaran tulisan tak rapi dan tak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan.
Tapi, Desti dan manajemen serta yayasan tak mempermasalahkan. Asal anak-anak punya kemampuan dan berprestasi, kritik dari siswa dijadikan bahan evaluasi.
Kini, ekskul jurnalistik di sekolah itu makin berkibar. Siswa yang tertarik mengikuti kegiatan semakin banyak. Desti pun mengajak beberapa guru untuk aktif menulis dan membantunya di ekskul tersebut. Pihak yayasan pun senang. Keaktifan ekskul, setidaknya menjadi “alat promosi” juga tentang kebaikan sekolah. Dan sosok tenang di balik “nama besar” itu disandang guru bernama Destiani.
Niat Desti sederhana saja. Mengajar dan menulis. Andaipun ada kesempatan, ia hendak meneruskan pendidikan di magister pendidikan. Ia pun tak sungkan membuka situs Tanoto Foundation untuk mencari informasi soal beasiswa itu.
Ia menampik jika kerja kerasnyalah yang membuat ekskul jurnalistik di Ar Raihan berkobar. Desti bilang, semua ini karena kerja sama semua pihak. Yang terpenting, ujar dia, semua mau memulai menulis dan menjaga kontinuitasnya. Ah Desti, lagi-lagi merendah. Lebih tepatnya tawadu atas prestasinya selama ini. Semoga istikamah ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H