Mohon tunggu...
Adi Ankafia
Adi Ankafia Mohon Tunggu... -

Saya sangat suka travelling, membaca, menulis, dan mendengarkan lagu

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Skeptis

6 Oktober 2011   06:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Huffs! Finally, gue putus juga ama pacar gue. Sesuatu yang patut untuk dirayakan. Setelah mendung kelabu dengan suhu atau tekanan udara rendah yang bikin gerah itu berlalu disambut hujan nan menyembuhkan dahaga jiwa mendamba damai, hal pertama yang gue lakukan adalah sujud syukur. Gue berlari sekencang-kencangnya …*…Have got a long way to run…yeah!, I run…*… Sejauh mungkin dengan perasaan riang gembira seperti anak kecil bersama balon warna-warninya. Lalu gue berdiri tegak ditengah sejuknya dunia. Pelan-pelan menghirup saripati oksigen. Meresapinya dalam-dalam dari hidung terpencar mengikuti aliran darah ke nadi, paru-paru, jantung, otak, dan hati. Merasakan hadirnya surga. Gue pengen menyepi sejenak untuk mendirikan sholat dua rakaat dan berdzikir sebagai perwujudan rasa terimakasih kepada Tuhan atas karunia yang tiada tara ini sekaligus sebuah pertaubatan.

Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, air wudhu terbasuhkan ke sekujur raga. Dinginnya menentramkan gemuruh berkepanjangan di dada. Rasa marah, kesal, dendam, lelah, dan segala macam emosi negatif luruh seketika itu juga. Suara, hati, dan raga ini bergetar ketika menyebut nama-NYA. Ya Allah Ya Robbi, aku kembali, aku kembali, aku kembali. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin dan didalam perjalanan tersebut aku telah tersandung lalu tergulung oleh pusaran dosa. Sekali lagi aku kembali Ya Allah. Ampuni segala dosaku dan lindungilah keluargaku dari segala marabahaya. Kesempurnaan hanya milik-MU. Begitulah sekelumit doa yang terlontar.

Jujur, kisah cinta yang barusan bubar ini menjadi periode gelap dalam kehidupan gue. Istilah kerennya biar kedengaran epic banget: Dark Age. Sejak awal gue gak pernah merasakan bahagia sebagaimana yang didefinisikan oleh para pakar cinta dalam tulisan-tulisan mereka. Menurut mereka cinta itu kompleks dan abstrak. Ada banyak alasan dibalik pilihan setiap individu. Dari berbagai alasan tersebut tidak sedikit yang terdengar sangat tidak masuk akal. Yah, memang begitulah adanya. Cinta adalah anugerah dan dalam hal ini hati lebih banyak berperan. Kadang rindu datang bagai tsunami tak terbendung. Kadang bagai angin yang membelai mesra. Kadang bagai air yang tenang menghanyutkan. Namun faktanya cinta yang ini telah membuat gue terkungkung/terpenjara/terisolasi/terikat/ter-ngehe dalam tembok imajiner yang mematikan seluruh potensi diri.

Gue frustrasi!

Semua yang diinginkankannya untuk seorang pasangan gak ada di gue. Maka dari itu selama berbulan-bulan yang menyengsarakan badan, gue, sebisa mungkin dijadikan semacam prototype/model pengganti/stuntman untuk mantan cowoknya yang masih dibangga-banggakan karena kumis nyuprusnya dan tentu kekayaan(ortu)nya juga, toh! Oke, sedikit mengomentari tentang kumis itu, gue berpendapat, mungkin karena seorang aktivis, kumis tersebut dijadikan sebagai simbolisasi atas kebanggaannya kepada almarhum Munir, ikon HAM yang mati karena -konon katanya- diracun di pesawat dalam perjalanan menuju Belanda, yang notabene merupakan salah satu alumnus sekaligus dosen hukum terpandang di kampusnya: (secara) Universitas Brawijaya, bo! Kalau dari ceweknya sih maksudnya biar kelihatan so Duta Sheila On Seven, gituh! *ngakak*. Tapi jatuhnya malah mirip Imam S Arifin digigit drakula stres. Ya, jelas gue gak mau lah! Gila aja! Gue menolak dengan pemberontakan-pemberontakan halus ala gue.

Namanya manusia, dalam bertindak emang kadang gue khilaf. Dan kekhilafan itu telah terjadi sejak awal. Pada mulanya gue meniatkan hubungan itu sebagai ‘temen yang menjaga temennya agak lebih serius dari biasanya’. Tapi justru jadi bumerang buat diri gue sendiri. Gue terjebak ditengah labirin dilematis yang seolah tiada pernah berujung. Gue kelimpungan diantara dua hati yang sesungguhnya masih saling membutuhkan satu sama lain. Dua hati yang masih saling mencintai meski terpisah jarak, waktu, pulau, laut, kota, halah!

Kesimpulan gue, sebenarnya selama ini mereka sedang marahan trus putus nanggung ala anak SMA/abege labil yang tersebar di seantero nusantara dari Sabang sampai Merauke Bhineka Tunggal Ika walau berbeda-beda tetapi tetap satu, gitu deh.

Dampaknya, gue cuman jadi sansak pelampiasan amarah dan segala macam umpatan gak genah *ngelus dada*. Membesar-besarkan kesalahan kecil gue dan mengecil-ngecilkan kesalahan besarnya sendiri. Sebuah kekeliruan sepele yang sangat manusiawi yang bahkan nabi pun bisa terpeleset akan membuat gue terlihat seperti seorang bajingan.

Waktu gue jadi sempit. Pekerjaan jadi banyak yang terbengkalai demi mematchingkan jadwal gue bareng dia. Gue udah gak punya ruang buat mengekspresikan diri. Gak bisa bersosialisasi. Jauh/dijauhi/temen-temen lebih memilih menjauh dari gue daripada terjadi keributan gak penting. Jauh dari Tuhan dan udah gak pernah ibadah blas! Gak bisa ngumpul bareng sepupu gue. Dan yang lebih parah: gue udah gak pernah maen futsal lagi bareng sohib-sohib. Intinya, gue seperti kehilangan soul untuk hidup dan mulai gak kenal ama diri gue sendiri. Gak bisa menikmati hidup. Gak bisa melakukan hal lain selain –harus- jalan sama dia. Monoton. Sumpek. Hidup gue redup. Tiada hari tanpa berantem, berantem, berantem. Gak peduli gue pulang kerja udah malam banget pokoknya sebelum tidur gue harus diajak berantem dulu. Entahlah ini cobaan apa kutukan. I’m really1000 tired!

Trivia: Tau gak rasanya lagi capek badan plus ngantuk dan butuh recovery, trus dapet telpon dari pacar yang ternyata cuman buat ngajak berantem?... like shit!

Gue mungkin tampak sebagai pengecut. Tapi coba gue tanya balik: kalo kalian punya pacar yang provokatif, yang tiap hari mukanya merengut/ditekuk-tekuk/dilipet-lipet, hobi ngajak ribut di waktu dan tempat yang gak tepat, suka mengadu domba dan ngebanding-bandingin lu sama mantannya, banyak syarat, sok cakep, sebentar-sebentar marah, nglarang ini itu, pandai menempatkan lu pada posisi yang serba salah, dan lebih percaya orang lain daripada lu yang udah mati-matian membahagiakan dengan keringat lu sendiri (baca: gak pake modal ortu!). Menurut gue pergi tanpa menghiraukan segala macam sumpah serapahnya adalah solusi paling tepat. Perlu untuk sesekali menjadi jahat atau egois setelah sekian lama terlalu banyak mengalah. Ini masalah prinsip hidup. Buat menunjukkan juga kalo dia bukan satu-satunya yang pantas untuk dipertahankan!/diperjuangkan!/dibanggakan!

Gue jadi skeptis. Gue menganggap pacaran itu identik dengan politik pencitraan. Maksud gue, suatu kali pernah kan kalian sehabis kencan timbul perasaan lega? Entah lega karena akhirnya bisa jalan juga sama pujaan hati (umumnya ketika masih di awal-awal masa pacaran), entah lega karena udah ngejalanin kewajiban, entah lega karena udah gak perlu basa-basi lagi, entah lega karena untuk beberapa waktu ke depan udah gak perlu menjadi orang lain yang jadi obsesi si doi, entah….. Abstrak. Bisa jadi kombinasi dari semua perasaan yang ada termasuk perasaan-perasaan yang masih menjadi tanda tanya.

Sekian lama gue bertahan dan bersabar karena gue yakin kedua hal tersebut bisa merubah sifat/sikap manusia menjadi lebih baik. Ternyata, gak selamanya api ampuh dilawan dengan air. Untuk beberapa saat mungkin bisa reda, tetapi sekalinya angin kemarau meniup-niup, api itu membara lagi bahkan lebih ganas dari sebelumnya. Gue tau dia bosan dengan gaya gue memperlakukan dia. Gue belum punya mobil, belum punya motor, gak romantis, tapi… ganteng iya! Okelah, gue emang minus di prasarana yang udah lumrah banget di jaman sekarang. Dengan kata lain, gue masih ketinggalan jauh. Biarpun begitu gue gak akan pernah berhenti berusaha kok untuk mencapai level tersebut. Gue paham betul. Gue ngerti banget. Teknologi semakin berkembang sehingga (adakalanya) menggeser orientasi dan gaya hidup seseorang.

Sekali lagi gue salah menafsirkan. Kebutuhannya untuk terlihat mewah oleh teman-teman dan orang lain sudah sangat mendesak. Sementara gue yang simpel bin gembel ini semakin hari semakin mengecewakan saja. Semakin cuek dan dianggap sudah tidak bisa diharapkan lagi (secara materi). Dalam kondisi krisis begini, ditempat lain, di kota yang terkenal akan kesejukan udara dan buah apelnya, sesosok makhluk berkelamin laki-laki kurus serupa jailangkung pengidap wasir permanen, lusuh karena jarang mandi, lemah, kurang gizi, hampir mati terseok-seok dan terengah-engah menyangga kumis ala Munir/Duta SO7 *ngakak lagi*, yang tak lain dan tak bukan adalah mantannya menawarkan solusi instan melalui rayuan-rayuan dangdut khas Imam S Arifin. Menerbangkan memori masa lalu yang menerbitkan rasa rindu kembali.

Karena sudah sangat tidak tahan, mereka (pacar gue, mantannya, dibantu temen-temen deketnya, dan seorang donatur) merencanakan sebuah konspirasi demi menyingkirkan gue. Wuidih! Serem banget yak! Kayak film-film spionase gitu. Sejak hari itu gue yang udah muak dan gak betah dibikin semakin panas dengan tuduhan-tuduhan gak beralasan. Pada awalnya gue belum terlalu ngeh, sampai berhasil seperti yang diharapkan: gue pergi dan menutup semua akses sehingga menjadi jelas bahwa kehancuran hubungan tersebut adalah murni ulah/kesalahan gue. Lalu bersatunya lagi mereka berdua menjadi lumrah.

Gue mulai menerka-nerka, menganalisa hipotesa, menghubung-hubungkan setiap kronologis dari sebelum, ketika, sesudah, dan yang bakal terjadi. Bagai puzzle yang tertata rapi dalam bingkai kesuksesan setelah tercerai berai, gue pun mulai melihat dan menemukan benang merah dari motivasi dibalik niat menjatuhkan gue. Insting dan pengalaman lah yang membuat gue menjadi jenius dalam menguak tabir kecurangan. Gue rasa mereka masih harus banyak membaca buku-buku mengenai teori konspirasi. Atau kalo pengen lebih aplikatif dan praktis belajar sama… gue!

Intinya, Epicentrum dari kemelut ini terletak pada: MATERI!

Salahkah dia? Nggak. Ini masalah tujuan hidup. Setiap individu berhak menentukan pilihannya yang dianggap telah/mampu memenuhi kriteria. Dia memberikan hal terindah sekaligus pelajaran berharga dalam hidup. Gue harus berjiwa besar dan ikhlas menerima kekalahan ini… *… aaa..ku pulaaangg… tanpa dendam… kuterima kekalah… sorry, mas, gak ada receh*

One day, gue pasti menemui mereka. Entah untuk sekedar memberi ucapan selamat di pernikahan mereka atau malah membunuh mereka berdua. Tergantung mood aja nanti. Kalian bisa tebak dong apa yang bakal gue bawa pada saat itu: kado di tangan kananku, avtomat Kalashnikov 47 di tangan kiriku! Hehehe. Becanda, ding. Gue gak sekejam itu juga kali! Gue udah rela, kok. Dijamin 100%, deh. Mungkin ini memang jalan terbaik dari semua yang telah diupayakan. Ya, seperti yang udah gue bilang di awal: gue justru malah bersyukur. Alhamdulillah.

Well, apapun ceritanya, minumnya tetep teh bot… eh, maksud gue, apapun ceritanya, I just wanna be my self. Kegagalan ini menjadi refleksi atau cerminan. Buat bahan perenungan dan introspeksi diri. Biar bagaimanapun gue hanyalah manusia biasa. Tempatnya salah dan dosa. Semoga Allah SWT masih sudi menerima gue kembali ke jalan-NYA yang diridhoi. Wabilahitaufiq walhidayah wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun