[caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="Sang Penari"][/caption] Saya belum pernah melihat Novel trilogy karya Ahmad Tohari khususnya “Ronggeng Dukuh Paruk” apalagi membaca, belum sama sekali, bahkan menyentuhpun tidak pernah, hanya mendengar selentingan saja di berbagai media ketika banyak orang menyebut-nyebut kehebatan detailnya Ronggeng Dukuh Paruk yang menceritakan kandasnya kisah cinta segitiga tokoh-tokohnya, informasi demikian minim dan diambil sambil lalu saja, dengan demikian rasa dan pikir benar-benar hampir kosong dari pengetahuan tentang kehebatan Novel tersebut demikian juga ketika saya berkesempatan menyaksikan film “Sang Penari” besutan Sutradara Ifa Isfansah yang terlambat saya tonton karena film ini ternyata sudah ramai ditayangkan di bioskop pada tahun 2011 lalu. Pada mulanya saya tidak mengharapkan apa-apa untuk menilai kadar estetika dan kehebatan ceritanya, “Sang penari”, saya pelototin dari awal sampai akhir tanpa bergeming, hanya sesekali ditinggalkan ketika memang harus berurusan dengan sesuatu yang maha penting saja, seperti menyeruput kopi nikmat nan hangat atau pergi terburu-buru ke toilet ketika hasrat tak terbendung lagi sekedar ingin mengeluarkan cairan dari dalam tubuh yang mungkin saja jadi penyakit ketika nekat ditahan terlalu lama. Rokok dinyalakan dan kuhisap pelan sambil menikmati tayangan video yang sayang jika tertinggal walau hanya sebentar saja. Tidak mempunyai ekspektasi apa-apa lebih tepatnya ketika film tersebut saya nikmati, maklum sering bosan disuguhi tayangan sinetron di televisi serta film-film Indonesia yang pada umumnya standard saja, biasa-biasa saja, menonton sekedarnya kemudian dilupakan begitu saja kecuali sebagian kecil film Indonesia yang meresap dan sulit untuk dianggap sepele setelah menyaksikannya. Namun demikian maraknya film Indonesia yang mulai bertaburan sebagai buah karya para sutradara masa kini cenderung saya lihat dari kaca mata seorang awam layaknya sebagai pemicu yang mengakibatkan persaingan positif untuk berlomba-lomba menghasilkan karya-karya bermutu, terutama setelah banyaknya karya Novel para sastrawan dalam negeri yang “booming”di pasaran, mudah-mudahan hal ini sebagai pertanda mulai diakuinya karya bangsa sendiri sebagai sesuatu yang layak di nikmati oleh masyarakat Indonesia. Ketika menyaksikan film besutan sutradara Ifa Isfansah dengan judul Sang penari, saya pikir woow ini baru film Indonesia tulen, syarat dengan latar yang menceritakan situasi, kondisi dan budaya Indonesia nun di pedukuhan Paruk yang bernuansa tahun 60 an, benar-benar seperti nyata, layaknya terbang ke masa lalu yang penuh dengan suasana paceklik, masa suram, ketika kesengsaraan secara ekonomi, politik dan hak azasi manusia demikian terpuruk : Singkong, gaplek, Tempe bongkrek, tanah kering berbatu, rumah kayu beralaskan tanah, tempat pemujaan, sesaji sampai suasana emosi ketika rebutan seekor kodok lumpur sebagai panganan istimewa terekam sendu di film ini dan tentu saja tidak ketinggalan tarian ronggeng yang diakui sebagai sarana pemujaan lestarinya pedukuhan tersebut yang melindungi wilayahnya dari datangnya bencana, juga latar yang menceritakan pengaruh dari merajalela merahnya komunis yang di bawa oleh tokoh Bakar demikian lekat melambungkan rasa dan pikir kedalam suasana era perebutan pengaruh politik dimasa tersebut. Kisah cinta segitiga yang tidak berakhir happy ending biasanya sering dibaca dalam cerpen, novel atau mengamatinya di film sekalipun, di film ini jalinan asmara segi tiga: Rasus (Okta Antara), Srintil (Prida Nasution) serta kecintaan dan pengorbanan Srintil pada dunia ronggeng mengalir syarat emosi, Prida Nasution sebagai sang penari ronggeng bermain cemerlang walau suasana magis pada saat pengukuhan pengorbanan keperawanan srintil sebagai sarat menjadi penari “Ronggeng” masih belum kental, demikian juga Slamet Raharjo, Dewi Irawan, Landung Simatupang, Hendro Jarot seperti biasanya mereka bermain professional dan pas dapet soulnya. Entah kenapa saya demikian menikmati film ini, film drama yang tidak kalah dengan film – film produksi “Holiwood” atau barat pada umumnya. Mungkin saja disebabkan karena suasana latarnya terlalu akrab, sangat erat dengan nuansa ke Indonesiaan yang diambil secara detail dari buah karya adaptasi Ronggeng Dukuh Paruknya Ahmad Tohari, atau bisa juga karena Sutradaranya, permainan total dari Artis-artisnya, saya kira kesemuanya berkontribusi terhadap suksesnya film ini termasuk penata kamera yang jeli mengambil gambar-gambar aduhai serta tata musiknya yang khas. Tentu saja suksesnya Film sang Penari merupakan kerjasama seluruh tim yang solid sehingga sangat pantas diperkenalkan ke event-event penting mancanagara, mudah-mudahan hasilnya berbuah manis, bukan semata menjual kisah pilu, carut marutnya masyarakat serta kemelaratan bangsa sendiri dimasa lalu tetapi benar-benar sebagai sebuah karya yang layak untuk mendapatkan apresiasi dari lembaga-lembaga seni peran dunia. Semoga… Tulisan ini dibuat sambil mencoba membayangkan novel Trilogi Dukuh Paruknya karya Ahmad Tohari sebagai PR yang masih sedang diusahakan dicari untuk dibaca…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H