Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STT Pelita Dunia

Bonum est Faciendum et Prosequendum et Malum Vitandum

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penulis "Benalu"

19 Juli 2024   20:44 Diperbarui: 19 Juli 2024   21:00 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/Sash H

Akhir-akhir ini sedang viral didiskusikan dan diberitakan oleh media cetak tentang polemik jabatan Guru Besar. Topik ini mengemuka ke publik karena terkuaknya segelintir oknum yang demi mengejar jabatan fungsional sebagai Guru Besar maka menghalalkan segala macam cara untuk mencapainya. Termasuk mempublikasi artikel hasil penelitian di jurnal-jurnal internasional yang tergolong sebagai jurnal predator. 

Lalu, mengapa mereka memilih jurnal itu? Sejauh pengamatan dan informasi dari diskusi-diskusi teman-teman dosen, biasanya jurnal predator menawarkan berbagai kemudahan seperti: bisa publis kapan saja, reviunya longgar bahkan bisa kompromi hingga biaya publikasi yang relatif murah. Itulah sebabnya banyak dosen yang mengambil jalan pintas demi tercapainya hasrat untuk menggapai jabatan fungsional sebagai Guru Besar.

Jurnal-jurnal predator memang selalu mengobral kemudahan-kemudahan kepada para akademisi tentang mudahnya mempublikasi artikel hasil penelitian. Sehingga akademisi yang memang memiliki mental yang rapuh pasti langsung menerima tawaran itu karena berpikir bisa menempuh jalan pintas dan mudah demi memperoleh publikasi internasional bereputasi. 

Padahal dengan mempublikasikan artikel di jurnal-jurnal predator maka akan menimbulkan persoalan serius di masa depan terutama saat akan mengurus jabatan Guru Besar. Karena apabila terindikasi mempublikasikan artikel di jurnal predator maka pasti di-black list. Inilah yang sebaiknya dipikirkan baik-baik oleh setiap dosen supaya berhati-hati dalam mempublikasikan artikelnya.

Uraian di atas hanyalah salah satu problem publikasi artikel ilmiah di lingkungan dosen dan sekaligus memperlihatkan betapa carut-marutnya dunia publikasi para dosen. Sebenarnya tulisan opini ini ingin mengulas problem serius yang lain yang juga terkait dengan publikasi jurnal para dosen. 

Karena problem ini justru sangat serius sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari setiap pemangku kebijakan. Problem itu adalah tentang penulis "benalu".

Apa itu penulis benalu? KBBI mendefinisikan ungkapan "benalu" sebagai tumbuhan yang menumpang pada tanaman lain dan mengisap makanan dari tanaman yang ditumpanginya atau pasilan. Kemudian pengertian lanjutan dari KBBI adalah orang yang merugikan atau menguasai orang atau tempatnya menumpang. Demikianlah kita dapat memahami arti dan makna dari ungkapan benalu.

Ketika ungkapan "benalu" ini diasosiasikan kepada penulis artikel jurnal, maka biasanya penulis benalu tidak berkeringat sama sekali mulai dari penelitian hingga penulisan laporan penelitian dalam bentuk artikel. Biasanya penulis benalu akan muncul di detik-detik terakhir sebelum artikel tersebut disubmit ke sebuah jurnal. 

Penulis benalu juga seringkali menggunakan otoritas jabatannya, apakah dia sebagai dosen ataukah sebagai senior bagi setiap korban mereka. 

Itulah sebabnya, penulis benalu paling sering berposisi sebagai penulis kedua, ketiga, keempat, kelima hingga yang kesekian, yang penting nama mereka tercatut pada sebuah artikel yang mana mereka sama sekali tidak berkeringat dalam penelitian dan penulisan artikelnya.

Modus dari penulis benalu adalah memanfaatkan tugas-tugas mahasiswa pada mata kuliah yang diampu. Oleh karena merasa sebagai dosen pengampu (padahal tidak ada sumbangsih idenya) tetapi dengan kengototannya memaksa mahasiswa supaya mencatutkan namanya dalam artikel. 

Selanjutnya penulis benalu juga seringkali memanfaatkan dosen-dosen junior yang giat melakukan penelitian dan melakukan publikasi hasil penelitian pada jurnal. 

Mereka secara arogan dan otoritatif memaksakan kehendak dan keinginan mereka supaya setiap dosen junior dapat mencatutkan nama mereka dalam laporan hasil penelitian yang akan disubmit ke jurnal.

Itulah sebabnya, bukan sebuah kekeliruan untuk menyebut mereka sebagai penulis benalu. Oleh karena mereka berperilaku layaknya benalu yang menumpang pada hasil penelitian orang lain. Tidak masalah orang lain merasa rugi asalkan mereka mendapatkan keuntungan dan karir mereka sebagai dosen yang selalu melaksanakan tridarma perguruan tinggi tetaplah tampak pada laporan Beban Kerja Dosen yang dilaporkan di akhir setiap semester.

Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/Sash H
Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/Sash H
Bagaimana proses terciptanya penulis benalu? Penulis benalu tercipta secara alamiah dan ada tiga faktor utama yang melatarbelakanginya. Sebelum menjelaskan ketiga faktor utama tersebut, perlu untuk diketahui bahwa setiap dosen memiliki kewajiban untuk menjalankan tridarma setiap semester. 

Kegiatan tridarma itu mencakup pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Khususnya darma kedua dan ketiga seringkali membuat banyak dosen kewalahan dan tidak sedikit yang kemudian bermetamorfosis menjadi penulis benalu demi terpenuhinya darma kedua dan ketiga.

Faktor pertama yang membuat terciptanya penulis benalu adalah banyak dosen yang masih memelihara paradigma lama dan gaya yang lama. Faktor ini didasarkan pada pengamatan yang dilakukan pada banyak dosen yang berkecimpung dalam pendidikan keagamaan. 

Paradigma lama yang dimaksud adalah dosen-dosen dalam lingkup pendidikan keagamaan sejak dulu lebih memprioritaskan darma pertama yakni pengajaran. Oleh karena mungkin dalam konsep mereka dosen ya tugasnya hanya mengajar. Tanpa mereka sadari adanya dua tugas yang lain yang sama pentingnya dengan darma pertama.

Faktor kedua adalah kurangnya pemahaman tentang menulis dan meneliti. Ini merupakan problem serius. Karena tidak sedikit dosen yang tidak bisa menulis bahkan tidak bisa meneliti, padahal sudah Doktor atau Master. 

Mengapa bisa terjadi demikian? Bisa jadi karena saat studi, tidak mengikutinya dengan proses yang benar atau cukup mengikuti kuliah singkat. Maksudnya, tidak lama setelah mendaftar, sekonyong-konyong langsung wisuda dengan tesis dan disertasi yang juga dibuatkan oleh biro jasa. 

Apabila ini terjadi maka tidaklah mengherankan apabila banyak dosen yang tidak mengerti menulis atau pun meneliti. Sehingga tidak mengherankan apabila melahirkan penulis-penulis berwatak benalu.

Faktor ketiga adalah kurangnya waktu yang dialokasikan untuk meneliti dan menulis. Faktor ketiga ini terkait juga dengan faktor pertama, karena lebih memprioritaskan untuk melaksanakan darma pertama sehingga penelitian dikesampingkan bahkan diabaikan. 

Selain itu, berdasarkan pengamatan pada lingkup dosen-dosen pada pendidikan keagamaan, maka kurangnya waktu untuk penelitian karena dosen banyak yang rangkap jabatan. 

Maksudnya, selain sebagai dosen banyak juga yang berprofesi sebagai pendeta dan gembala di sebuah gereja lokal. Sehingga waktu mereka banyak dihabiskan pada kegiatan penggembalaan dan tidak ada lagi waktu untuk meneliti dan menulis. Akhirnya, lahirlah penulis-penulis berwatak benalu.

Bagaimana menyikapinya? Berperilaku layaknya benalu dalam setiap penelitian atau penulisan laporan hasil penelitian dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan akademik. Oleh karena praktik-praktik seperti ini telah mendegradasi kualitas atau mutu sebuah pendidikan karena ternyata para dosennya tidak jujur dalam melaksanakan penelitian. 

Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Vit Machacek dan Martin Srholec menempatkan Indonesia pada peringkat kedua dalam hal ketidakjujuran akademik. Memang alasannya adalah karena banyak peneliti dari Indonesia yang mempublikasikan jurnal mereka di jurnal predator sepanjang tahun 2015-2017. 

Bahkan dengan maraknya praktik penulis benalu dalam lingkup penelitian dosen turut mempertegas kesimpulan Machacek dan Srholec bahwa memang ketidakjujuran akademik di Indonesia sangatlah memprihatinkan.  

Kalau sekarang viral diberitakan tentang percaloan jabatan Guru Besar, maka dapat dipastikan bahwa itu tidak dapat didikotomikan dengan maraknya praktik penulis benalu pada artikel-artikel yang dipublikasi di jurnal-jurnal nasional hingga internasional. 

Bahkan dapat dipastikan mengapa percaloan guru besar cukup sering terjadi? Oleh karena memang sejak awal mental dan karakter dosen dan peneliti di Indonesia seperti benalu yang hanya ingin mencari keuntungan, ketenaran, prestise namun tidak mau berkeringat dan berjuang. 

Mari kita perangi praktik penulis yang berwatak benalu supaya dunia pendidikan Indonesia ke depan semakin lebih baik dan berkualitas. AP.

Penulis: Dr. Adi Putra (Dosen Sekolah Tinggi Teologi Pelita Dunia)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun