Ketaatan sejati dapat diartikan ketaatan asli, ketaatan murni atau bahkan bisa juga dimengerti sebagai ketaatan sempurna. Ketaatan sejati adalah sikap hati terhadap kekuasaan yang lebih tinggi. Â Bagi orang Kristen, otoritas yang tertinggi itu adalah Tuhan sendiri. Itulah sebabnya, ketaatan sejati berarti mendengar, percaya dan berserah diri kepada Tuhan dan firman-Nya. Berdasarkan hal ini, ketaatan adalah salah satu hal yang paling utama dalam perjalanan imannya. Selain itu, ketaatan adalah bukti bahwa seseorang telah mengalami perubahan radikal di dalam dirinya.
Ketika kita dikatakan taat kepada Allah maka kita seharusnya berada dibawah kontrol dan kendali kuasa Allah. Sehingga apa pun yang kita lakukan adalah apa yang dikehendaki oleh Allah, bukan lagi keinginan sendiri, keinginan daging dan keinginan dosa. Kota Filadelfia dijuluki sebagai kota zombie di Amerika Serikat. Kota ini sangat mencekam dan menakutkan karena di jalan-jalan kota akan dengan mudah kita menjumpai orang-orang yang berperilaku seperti zombie. Mereka berperilaku seperti itu karena di bawah kendali dan kontrol obat-obat terlarang. Sehingga mereka taat kepada apa yang dikehendaki oleh obat-obatan itu. Demikian halnya kalau dikatakan kita taat kepada Tuhan, maka harusnya kita melakukan apa yang dikehendakinya.
Tetapi bukankah sepanjang sejarah, kita mengalami krisis dalam hal ketaatan? Adam dan Hawa jatuh dalam dosa karena tidak taat. Kain membunuh Habel karena tidak taat. Abraham menghampiri Hagar dan memperoleh anak Ismael karena tidak taat. Musa tidak dapat menikmati tanah Kanaan karena tidak taat. Saul ditolak Allah sebagai raja Israel karena tidak taat. Daud berzina dengan istri Uria karena tidak taat. Kejayaan Salomo hancur karena tidak taat. Kerajaan Israel terpecah menjadi dua karena tidak taat. Bangsa Israel dibuang ke pembuangan karena tidak taat. Petrus menyangkal Yesus tiga kali karena tidak taat. Hingga Yudas Iskariot menjual Yesus karena tidak taat. Artinya, ketaatan menjadi sesuatu yang sulit kita jumpai dalam kehidupan kita, sekalipun kita telah lama menjadi pengikut Kristus atau umat Tuhan.
Itulah sebabnya, mustahil rasanya untuk dapat menjumpai ketaatan yang sejati dalam kehidupan manusia bahkan kehidupan orang Kristen. Mengapa? Karena kita lebih suka tidak taat dari pada taat. Jadi, di mana kita dapat melihat ketaatan sejati itu? Sebenarnya hanya pada pribadi Yesus. Itulah sebabnya Paulus mengatakan dalam Filipi 2:8, "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib". Inilah yang disebut ketaatan sejati, karena ketaatannya tidak setengah-setengah, tidak satu atau dua hari, tidak berkondisi, melainkan sampai mati. Â
Apakah kita bisa seperti Yesus memiliki ketaatan sejati? Menurut saya bisa, karena kita telah diselamatkan dalam Kristus. Namun kita perlu berjuang dan berusaha, supaya kita dapat mencapai kesempurnaan termasuk dalam hal ketaatan seperti yang dimiliki Kristus. Itulah sebabnya dalam Matius 21:28-32, Yesus mengajarkan prinsip-prinsip penting untuk kita pelajari supaya kita pun dapat memiliki ketaatan sejati.Â
Matius 21:28-32 berisi tentang perumpamaan Yesus yang mengisahkan tentang seseorang yang memiliki dua orang anak laki-laki. Dia kemudian pergi menghampiri anaknya yang sulung dan berkata, "Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur". Jawab anak itu, "Baik Bapa". Tetapi dia tidak pergi. Lalu orang itu pergi ke anaknya yang kedua dan berkata hal yang sama, tetapi anak itu merespons, "Aku tidak mau". Akan tetapi kemudian dia menyesal lalu pergi juga.
Perumpamaan Yesus ini sangatlah sederhana, namun sangat penting. Perumpamaan ini sebenarnya sebuah sindiran kepada pemuka-pemuka agama Yahudi pada umumnya, seperti: orang Farisi dan ahli Taurat yang selalu menolak untuk tidak percaya kepada setiap pengajaran Yesus. Bahkan ketidaktaatan mereka sangat bertolak belakang dengan apa yang ditunjukkan oleh pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal. Perumpamaan ini juga sekaligus menjadi sindiran bagi kita hari ini, jangan-jangan kita masih hidup dalam ketidaktaatan. Yesus mengatakan, Yohanes telah diutus untuk menunjukkan kebenaran kepada mereka tetapi mereka tetap tidak mau bertobat dan hidup dalam ketaatan. Bahkan Yesus sendiri telah datang, tapi mereka tetap menolaknya dan tidak mau menaati setiap pengajaran-Nya.
Teguran ini juga relevan bagi kita hari ini, mau sehebat apa pun pendeta yang diundang untuk menyampaikan khotbah, tetapi apabila kita tetap mengeraskan hati dan tidak taat, maka itu tetap tidak akan berguna. Itulah sebabnya, melalui perumpamaan ini kita akan belajar tiga hal penting menyangkut ketaatan sejati, supaya kita pun dapat mempraktikkannya.
- Ketaatan sejati lahir dari pertobatan (ay. 30, 32)
Dalam ayat 30 dikemukakan, ".. Tetapi dia kemudian menyesal lalu pergi juga". Dan diulang lagi dalam ayat 32, "Dan meskipun kamu melihatnya tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya". Pada kedua ayat ini muncul dua kali kata menyesal sekalipun ditulis dalam nuansa yang bertentangan. Dari sini kita dapat menggarisbawahi bahwa ketaatan hanya mungkin dimiliki oleh orang yang telah bertobat atau mengalami pertobatan.
Kata "menyesal" dalam bahasa Yunani menggunakan kata "metemelethete" dari kata "metamelomai" yang dalam terjemahan Inggris diterjemahkan "repented" (bertobat) dan "regreted" (menyesal). Meskipun kata utama yang digunakan dalam Perjanjian Baru untuk menyatakan pertobatan sejati adalah , juga diterjemahkan "bertobat" dalam beberapa versi bahasa Inggris. Namun, jika digunakan sendiri, kata ini tidak mengungkapkan keputusan untuk mengubah arah hidup seseorang. Sebaliknya, arti bergantung pada kata-kata tindakan yang terkait dengannya dalam teks. Kata tindakan (atau kata kerja) menentukan apakah ekspresi penyesalan mengarah pada pertobatan atau bukan pertobatan. Dalam konteks Matius 21: 28-32, anak kedua setelah menyesal kemudian diikuti tindakan pergi ke kebun anggur sesuai perintah sang ayah, sehingga dapat dikatakan bahwa dia telah mengalami pertobatan.
Setelah Petrus menyangkal Yesus tiga kali, dia kemudian menyesal dan bertobat. Sehingga Tuhan mengampuni dan dia pun menunjukkan hidup dalam ketaatan. Sebaliknya, Yudas Iskariot setelah menjual Yesus, apakah dia bertobat dan menyesal? Tidak. Sekalipun dia menangis dan bersedih, akan tetapi tangisannya tidak disertai pertobatan maka kehidupan selanjutnya mengalami bencana dan malapetaka, karena dia akhirnya gantung diri.
Ketaatan sejati hanya muncul dari sebuah penyesalan atas kesalahan dan kekeliruan sebelumnya kemudian diikuti pertobatan. Selama kita belum bertobat, mustahil kita akan hidup dalam ketaatan. Pastikan hidupmu telah mengalami pertobatan. Pertobatan adalah sebuah perubahan hati dan pikiran yang membawa kita lebih dekat kepada Allah. Ini mencakup berbalik dari dosa dan berpaling kepada Allah untuk pengampunan. Pertobatan dimotivasi oleh kasih bagi Allah dan hasrat tulus untuk mematuhi perintah-perintah-Nya.
- Ketaatan sejati harus didasarkan pada sikap percaya (ay. 28-30)
Akhir-akhir ini saya suka mengikuti channel youtube seorang mualaf bernama Dondi Tan. Beliau selalu memojokkan apa yang tertulis dalam Alkitab, selalu mengkritik dan menganggap orang Kristen telah keliru memahami Alkitab. Â Dia beranggapan Alkitab itu mengandung banyak kesalahan. Saya melihat problemnya terletak pada sikap Dondi Tan yang memang tidak percaya kepada Alkitab sebagai Firman Tuhan. Sehingga yang dilakukannya adalah mengkritik, memojokkan dan tidak mau taat kepada Firman Tuhan itu.
Jadi ketaatan sejati harus didasarkan pada sikap percaya. Itulah yang ditunjukkan oleh anak yang kedua, sekalipun dia mengatakan tidak mau, namun karena kemudian dia merasa bahwa yang menyuruhnya adalah ayahnya, maka dia pun akhirnya percaya dan justru melakukannya. Hal yang bertolak belakang ditunjukkan oleh anak sulung, di mana dia tidak menaruh sikap percaya kepada ayahnya, sehingga dia tidak taat kepada perintah bapanya.
Ketaatan sejati harus didasarkan kepada sikap percaya. Apa yang dimaksud dengan sikap percaya? Sebaiknya kita membaca Ibrani 11:8, "Karena iman, Abraham taat". Kata "iman" di situ menggunakan kata "pistei" yang juga sama dengan kata "pistis" yang dapat diartikan iman atau percaya. Atas dasar iman atau percaya inilah maka Abraham taat, sekalipun perintah Allah di situ sepertinya impossible dan mustahil, namun dia melakukannya dengan taat. Itu semua karena iman atau kepercayaan yang dimilikinya.
Â
- Ketaatan sejati adalah ketaatan yang tulus dan apa adanya Â
Sepintas apabila memperhatikan respons kedua anak ini, maka mungkin kita akan sepakat bahwa yang paling sopan adalah anak sulung, tetapi kita pun pasti akan sepakat bahwa yang taat adalah anak bungsu. Mungkin responsnya cenderung tidak sopan, tapi bukankah justru ketika dia melakukan apa yang diperintahkan bapanya menunjukkan bahwa dialah anak yang taat kepada bapanya dan menghargai otoritas yang dimiliki bapanya.
Sedangkan anak sulung ini tipe orang yang dapat dikategorikan orang yang selalu mempraktikkan asal bos senang lewat ucapan yang manis, janji yang muluk-muluk, tetapi justru akan menjerumuskan karena sebenarnya ketaatannya adalah ketaatan palsu.
Mari kita belajar untuk mepraktikkan ketaatan yang tulus dan apa adanya. Kita menjadi orang yang taat bukan hanya di mulut saja, melainkan juga selaras dengan perbuatan dan perilaku kita. Itulah yang dimaksud dengan ketaatan apa adanya dalam perikop ini, artinya tidak ada kemunafikan. Dan sekali lagi saya mau katakan, ketaatan seperti itu hanya dimungkinkan lahir dari pertobatan dan sikap percaya kepada Tuhan. AP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H