Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STT Pelita Dunia

Bonum est Faciendum et Prosequendum et Malum Vitandum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Natal yang Humanis

23 Desember 2022   14:56 Diperbarui: 23 Desember 2022   15:18 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber image: https://www.canva.com/

Dosa membuat relasi antara manusia dengan Allah menjadi rusak. Rusaknya relasi dengan Allah berdampak kepada relasi manusia dengan sesamanya, dengan ciptaan yang lain atau bahkan dengan dirinya sendiri turut menjadi rusak. Itu sebabnya, pasca-berdosa manusia tidak lagi memiliki relasi yang baik dengan sesamanya. Mereka mulai saling mempersalahkan, mulai muncul kebencian, muncul iri hati yang berujung kepada pembunuhan, bahkan di antara manusia tidak lagi tercipta tindakan saling mengasihi. Itulah sebabnya, kita dapat katakan bahwa dosa membuat relasi sosial manusia dengan sesamanya menjadi rusak.

Akan tetapi melalui Natal atau kelahiran Yesus Kristus, pengharapan akan terwujudnya rekonsiliasi antara Allah dan manusia. Allah melalui inisiatifnya sendiri, akhirnya mengutus Yesus Kristus untuk menjadi pendamai antara diri-Nya dengan manusia. Itulah sebabnya, melalui natal kita dapat belajar dan melihat bahwa ada harapan akan terciptanya kehidupan saling mengasihi di antara sesama manusia. Melalui natal, kita dapat melihat bahwa manusia dapat kembali kepada tujuan awal ketika diciptakan Allah yakni hidup saling mengasihi satu sama lainnya.

Kondisi ini identik dengan perayaan natal tahun ini. Di mana selama dua tahun lebih dunia dilanda pandemi, dan menciptakan gap  dan jarak antara kita dengan sesama kita. Sebelum pandemi, apabila ada tetangga yang sakit maka kita bisa menjenguknya tanpa adanya kekuatiran. Apabila bertemu, kita langsung berjabat tangan atau bahkan cipika-cipiki. Akan tetapi kebiasaan itu berubah selama pandemi, di mana kita ketika mendengar tetangga ada yang sakit, pasti kita tidak akan pernah mau atau bahkan tidak diperbolehkan untuk menjenguk. Apabila bertemu, maka jangankan berjabat tangan, senyuman kita pun tidak akan terlihat karena tertutup oleh masker. Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa pandemi telah merusak relasi sosial kita dengan sesama kita. Bahkan akibat pandemi, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, kita hanya bisa beribadah secara online.

Itulah sebabnya, bagi saya natal tahun ini menjadi begitu istimewa dan spesial. Oleh karena melalui momen natal tahun ini kita mencoba merajut kembali relasi sosial yang rusak selama pandemi. Kita tidak perlu takut lagi cipika-cipiki, kita tidak perlu takut lagi berjabat tangan, hingga tidak perlu kuatir lagi untuk saling mengunjungi apabila ada rekan atau teman yang mengalami sakit. Sehingga natal tahun ini, kita harus buat lebih humanis. Lebih humanis berarti mengharapkan terwujudnya pergaulan hidup dengan sesama dengan lebih baik dan lebih mengedepankan perikemanusiaan. Apabila selama pandemi kita membatasi diri, kita menjaga jarak, maka melalui momen natal ini kita mulai membuka diri, dan mendekatkan diri kepada sesama, sehingga kita pun turut  merasakan setiap kesulitan yang mereka hadapi dan alami.

Apabila membaca Lukas 2:8-20, maka di sana juga memberikan kita sebuah narasi natal yang humanis, natal yang justru menjangkau kaum yang paling rendah di dalam masyarakat, yaitu kaum gembala. Sehingga melalui narasi ini, kita belajar tentang natal yang humanis.

  • Natal yang Humanis mengajarkan kita untuk Merendahkan Diri

Mungkin kita pernah membaca dan mendengar kisah Raja Harun Al Rasid, yang sering menyamar sebagai rakyat jelata. Dia pernah menyamar sebagai penjual bahkan juga sebagai pengemis dan duduk di pinggir jalan. Inilah yang disebut incognito, yakni menanggalkan segala keagungan lalu menyamar sebagai orang yang tidak dikenal.

Natal juga adalah sebuah tindakan incognito. Karena Allah berinkarnasi menjadi manusia. Yesus lahir sebagai seorang bayi, dan hidup sebagai manusia biasa. Akhirnya, Allah turut merasakan bagaimana rasanya menjadi manusia. Allah turut merasakan lapar, sedih, dihina, disingkirkan, difitnah, dikambinghitamkan, dikhianati, ditahan, disakiti, dan akhirnya disalibkan hingga mati.

Incognitonya Yesus disebutkan oleh Paulus sebagai pengosongan diri atau merendahkan diri (Flp. 2:5-7). Paulus menitikberatkan bagaimana Yesus meninggalkan kemuliaan yang tiada taranya di sorga dan mengambil kedudukan yang hina sebagai hamba, serta taat sampai mati untuk kepentingan orang lain. Kerendahan hati dan pikiran Kristus harus terdapat dalam orang Kristen, yang terpanggil untuk hidup berkorban dan tanpa mementingkan diri, mempedulikan orang lain dan berbuat baik kepada mereka.

Melalui momen natal ini, kita diajar meneladani Kristus. Kelahiran-Nya sangat sederhana, di tempat yang sangat sederhana, bahkan disaksikan oleh orang-orang yang juga sederhana. Padahal Dia bisa saja mendesain kelahiran-Nya dengan kemewahan dan kemuliaan, karena Dia adalah pemilik alam semesta ini. Namun Dia tidak melakukannya dan lebih memilih untuk lahir dengan cara yang sederhana, supaya kelahiran-Nya dapat menjangkau mereka yang tidak diperhitungkan di dalam masyarakat.

  • Natal yang Humanis mengajarkan kita untuk Memperlakukan semua manusia dengan perlakuan yang sama

Umumnya, setiap manusia apabila hendak menjalin relasi dan hendak berteman dengan sesamanya, pasti yang menjadi pertimbangannya adalah apakah dia tidak akan merugikan saya? Apakah orang tersebut tidak akan menyusahkan? Apakah orang tersebut dapat memberikan keuntngan bagi saya? Intinya, ada problem serius terkait dengan sikap dan cara pandang kita terhadap orang lain, dan menurut saya hal ini tidak terlepas dari sikap ego yang terdapat dalam diri setiap manusia yang cukup kuat dan mendominasi hidupnya.

Dari peristiwa kelahitan Yesus (Natal) kita dapat belajar untuk memperbaiki setiap kekeliruan kita di atas. Karena kelahiran Yesus sendiri justru disampaikan kepada kelompok gembala, yang dapat digolongkan ke dalam strata sosial paling rendah pada zaman itu. Mungkin karena mereka tidak memiliki tempat tinggal yang permanen (sering berpindah-pindah). Selain itu, mereka juga dianggap sebagai kelompok yang sering melanggar aturan-aturan dalam hukum Taurat. Hingga mereka dianggap tidak layak untuk menjadi saksi dalam sebuah kasus.

Akan tetapi, Allah justru memperlakukan mereka sangat istimewa. Karena berita kelahiran Yesus Kristus justru disampaikan kepada mereka (ay. 8-14). Kelompok gembala yang hanya dipandang sebelah mata oleh sesamanya, ternyata menerima perlakuan yang berbeda dari Allah. Mereka menjadi saksi mata kelahiran sang Mesias. Sekalipun manusia meragukan kesaksian mereka, tapi Allah tidak pernah meragukan mereka.  Itulah sebabnya, respons yang ditunjukkan oleh para gembala menunjukkan betapa mereka sangat antusias sehingga mereka tidak berpikir panjang lagi untuk pergi ke Bethlehem untuk menjumpai bayi Yesus. Respons ini menjadi indikasi yang kuat bahwa para gembala tidak meragukan sedikitpun kebenaran berita itu dan sekaligus menunjukkan ketaatan mereka.

Tetapi mengapa harus gembala? Pasti ini tidak terlepas dari kehendak dan kedaulatan Allah. Tetapi kalau kita meneliti keseluruhan Alkitab, maka di sana menjelaskan bahwa Tuhan seringkali memakai dan menggunakan orang yang biasa, orang yang tidak mampu, tidak pandai, menjadi alat untuk Tuhan menyatakan kuasa dan kemuliaan-Nya. Misalnya: Nuh, Abraham, Daud, Yusuf, hingga para rasul; yang diperlengkapi oleh Tuhan untuk menjadi alat di tangan Tuhan. Demikian halnya para gembala.

Tetapi ada satu hal yang paling mencolok alasan Allah memilih para gembala. Tentunya Allah ingin supaya setiap kita tidak membedakan-bedakan sesama kita. Atau Tuhan ingin kita memperlakukan setiap sesama dengan perlakuan yang sama. Karena selama ini, gembala selalu mendapatkan perlakuan yang tidak adil atau didiskriminasi, maka melalui momen kelahiran Yesus ini, Allah menunjukkan bahwa kita wajib untuk tidak membeda-bedakan setiap orang. Siapa pun dia? Seperti apa pun latar belakangnya?

Mungkin inilah juga alasan Lukas menyisipkan kisah ini dalam Injilnya. Karena Injil ini ditulis untuk Teofilus yang Mulia. Memang ada banyak pendapat tentang siapakah Teofilus ini.  Ada yang mengatakan bahwa ia merupakan seorang Yahudi yang tinggal di daerah Alexandria. Ada pula yang mengatakan bahwa ia sebenarnya adalah seorang Romawi yang memiliki kedudukan tinggi di dalam pemerintahan, sehingga Lukas memberi tambahan kata-kata kratiste yaitu sama artinya dengan "yang mulia" atau "optime" dalam bahasa Latin. Tetapi ada pula yang menganggap bahwa Teofilus ini sebenarnya adalah seorang ahli hukum (lawyer) yang mendampingi Paulus selama masa-masa pengadilan yang dihadapi oleh Paulus di kota Roma. Istilah Teofilus sebenarnya terdiri dari dua kata yaitu Teos, yang berarti Allah dan Phileo, yang berarti kasih. Sehingga istilah Teofilus ini bisa kita artikan pula sebagai orang  yang mengasihi Allah. Atau ada pula yang menterjemahkannya sebagai sahabat Allah.

Tetapi siapa pun Teofilus, yang pasti dia adalah orang yang cukup berpengaruh dalam masyarakat dan mungkin juga secara materi adalah orang yang berada. Sehingga dia pasti sangat dihormati dan biasanya orang yang memiliki kekayaan dan memiliki jabatan selalu berbuat tidak adil atau memperlakukan tidak adil sesamanya. Itulah sebabnya, Lukas menuliskan kisah gembala ini kepadanya untuk menjadi peringatan baginya. Sekalipun dia adalah orang yang mengasihi Allah, tapi bisa saja dia khilaf dan melakukan tindakan-tindakan yang salah kepada orang lain. Hal ini juga sekaligus menjadi peringatan bagi kita, bahwa tidak boleh melakukan ketidakadilan kepada orang lain. Kiranya momen natal ini bisa menyadarkan kita.

  • Natal yang Humanis mengajarkan kita untuk saling mengampuni

Natal adalah peristiwa lahirnya sang Juruselamat. Kalau kita baca dalam ayat 11, di sana malaikat itu berkata, "Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud ". Ungkapan "juruselamat" berasal dari istilah Yunani "soter".  Soter adalah salah satu nama dewa dalam mitologi Yunani, di mana yang dimaksudkan untuk menegaskan dewa keamanan, keselamatan dan perlindungan. Istilah ini kemudian diadopsi Lukas untuk menegaskan bahwa Yesuslah sang penyelemat itu. Dialah yang diutus Allah untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Dan Dialah yang akan mengampuni kita dari setiap dosa dan pelanggaran kita.

Artinya, melalui kelahiran Yesus, sang juruselamat itu, maka pengampunan dari Allah bagi kita menjadi nyata dan sempurna. Sehingga kita dapat berkata bahwa Allah sangat mengasihi kita, sehingga Dia mau mengampuni setiap pelanggaran dan kejahatan kita.

Pertanyaannya, maukah kita juga mengampuni sesama kita? Dalam Matius 18:21-35, Yesus telah menegaskan nasib orang yang tidak mau mengampuni sesamanya, padahal dosanya telah diampuni. Maka kiranya melalui momen natal ini kita belajar untuk mau mengampuni sesama kita. Sehingga kita dapat memperlihatkan kepada dunia ini bahwa hidup kita adalah hidup yang telah dibenarkan dan telah merdeka dari belenggu dosa.

Mari kita merayakan natal tahun ini dengan lebih humanis. Bagaimana caranya? Caranya dengan selalu merendahkan diri, selalu memperlakukan semua orang dengan perlakuan yang sama dan adil, serta mengampuni setiap kesalahan orang lain kepada kita. Selamat Natal, Tuhan Yesus memberkati! AP.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun