Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STT Pelita Dunia

Bonum est Faciendum et Prosequendum et Malum Vitandum

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Memahami Makna Gereja dan Bergereja

19 Maret 2020   17:49 Diperbarui: 20 Maret 2020   17:18 1805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini, penyebaran virus covid 19 telah begitu masif ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan Organisasi (WHO) telah menyatakan wabah virus corona China sebagai darurat kesehatan global atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Sikap WHO ini kemudian direspons oleh banyak negara untuk menyikapi penyebaran masif virus covid 19 dengan kebijakan lockdown. Dan negara teranyar yang telah melakukan lockdown adalah Malaysia.

Berbeda dengan sikap pemerintah Malaysia, Jokowi selaku Presiden Republik Indonesia tetap menolak untuk mengambil kebijakan lockdown. Meskipun secara resmi melalui konferensi pers, Presiden menganjurkan kepada masyarakat Indonesia untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Kebijakan ini juga diikuti dengan himbauan setiap kepala daerah supaya kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang sebaiknya dibatalkan. Misalnya: sekolah-sekolah diliburkan, rapat dan pertemuan-pertemuan kedinasan dari kementerian dibatalkan, kantor-kantor diliburkan, hingga anjuran untuk mengadakan sholat atau ibadah di rumah masing atau tidak secara berjemaah.

Pemerintah lebih memilih kebijakan social distancing daripada melakukan lockdown untuk menngcounter penyebaran virus corona. Apa itu social distancing? Social distancing berarti kita menjauhi kerumunan; kerja, belajar dan ibadah di rumah; meminimalisir bersentuhan dan berdekatan dengan orang lain; usahakan berjemur matahari di teras rumah; pastikan sirkulasi udara baik sehingga tidak lembab; dan tunda kegiatan massal seperti rapat, seminar, dll.

Kebijakan pemerintah ini ternyata menimbulkan pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Khususnya, kebijakan yang menganjurkan beribadah dari rumah. Seperti yang dimuat di laman PGI artikel yang berjudul "PGI Dukung Ibadah Online untuk mengatasi Penyebaran Covid 19" tertanggal 15 Maret 2020, bahwa PGI menyambut positif dan mendukung agar membatasi mobilitas penduduk terutama untuk kumpul-kumpul, termasuk rumah ibadah.

Bahkan pada artikel itu dikutip pernyataan ketua umum PGI, Bapak Gomar Gultom, yang menyatakan, "Sejak kemarin saya sudah mengeluarkan himbauan kepada warga gereja untuk membatasi perjalanan dan perjumpaan yang tidak terlalu penting. Saya juga menyarankan untuk mempertimbangkan alternatif persekutuan dan ibadah dengan memanfaatkan media sosial dan teknologi digital dengan mengembangkan e-church".

Bahkan jauh sebelum PGI menyatakan sikap seperti ini, sudah ada beberapa gereja yang "meliburkan" ibadah raya minggu. Dengan alasan, terlalu riskan untuk memaksakan ibadah minggu dengan situasi sekarang ini. Bahkan bukan hanya ibadah minggu yang diliburkan, tetapi juga persekutuan-persekutuan rumah tangga pun juga diliburkan.

Sikap ini kemudian menimbulkan pro-kontra dari kalangan gereja sendiri. Ada yang mengatakan bahwa meliburkan ibadah menunjukkan bahwa orang Kristen tidak lagi memiliki iman. Sedangkan pada kelompok yang lain mengatakan, kita harus berhikmat dan tidak beriman secara buta. Karena baik iman maupun hikmat, kedua-duanya adalah anugerah Tuhan yang harus berjalan bersama-sama ketika kita memutuskan sebuah keputusan.

Lalu, bagaimana sikap kita sebenarnya? Apakah yang harus kita putuskan? Apakah kita akan tetap beribadah di gereja, libur beribadah atau memilih beribadah bersama keluarga di rumah bersama keluarga?  

Satu hal yang pasti adalah kita tidak boleh libur beribadah. Karena beribadah adalah sebuah kegiatan yang diperlukan untuk bersekutu, memuji Tuhan dan mendengarkan Firman Tuhan. Terutama ketika kita sedang dalam situasi yang sulit. Saya yakin kita masih ingat situasi yang dihadapi para murid, pascapenyaliban dan kematian Yesus (sebelum hari Pentakosta). Iman mereka terguncang dan mereka begitu ketakutan, selain karena guru mereka telah dibunuh tetapi juga karena mereka sedang dicari-cari untuk dibunuh. Lalu apa yang menguatkan mereka? Mereka bisa bertahan dan tetap kuat karena mereka selalu mengadakan persekutuan bersama (Kis. 1:14). Mengapa bisa? Oleh karena dalam persekutuan mereka berdoa bersama-sama dan saling menguatkan satu sama lainnya. Inilah pentingnya persekutuan.

Kalau kita melihat kehidupan jemaat mula-mula, mereka juga bisa tetap kuat bertahan dalam aniaya dan bahkan jumlah mereka semakin bertambah karena mereka selalu berkumpul memecahkan roti, mendengarkan pengajaran rasul, memuji Tuhan dan bertekun dalam doa (bdk. Kis. 2:41-47). Sekali lagi bukti Alkitab ini menunjukkan bahwa persekutuan (ibadah) sangat penting bagi kehidupan rohani setiap umat Tuhan.

Lalu, bagaimana dengan anjuran untuk tidak berkumpul di gereja (beribadah) tetapi beribadah di rumah saja? Menurut saya, anjuran ini juga tidak salah. Bahkan anjuran ini menjadi sangat tepat terutama apabila dikaitkan dengan situasi sekarang. Pada laman CNN Indonesia kolom International, pada artikel "Dianggap Sumber Corona Komunitas Gereja Korsel Minta Maaf" tertanggal 3 Maret 2020, ketua komunitas Gereja Yesus Shincheonji (GYS) di kota Daegu meminta maaf karena dianggap menyebarkan virus corona.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun