Waktu menjelang tengah malam, aku masih duduk di teras rumah. Gelap di depan rumah, tak ada kunang-kunang seperti biasanya. Ya, 20 m di depan rumah adalah persawahan desaku. Hanya bunyi serangga malam dan alunan orchestra kodok yang terdengar. Teras rumah sudah bersih dan hanya menyisakan kursi dan meja dari ban bekas. Sejam yang lalu, tetangga-tetangga berdatangan dan kami ngobrol ngalor ngidul sambil menikmati kue-kue dan makan besar. Ya, ini yang biasa kami lakukan tanggal 24 Desember malam setiap tahunnya. Tetangga-tetangga berdatangan dan megucapkan selamat natal pada keluarga kami, kemudian kami bercengkerama. Bagi yang putri-putri sekitar jam 8 an mereka pulang, tapi bagi kaum pria, kami masih melanjutkan obrolan sampai kadang menjelang tengah malam.
Kami merupakan satu-satunya keluarga Kristen di desa kami. Dari garis mbah kami, hanya keluarga kami dan 2 om saya yang Kristen. Satu om lainnya muslim. Demikian juga mbah kami. Ada yang unik sebenernya, mbah putri kami (mbah kakung sudah meninggalketika aku masih kecil), sebenarnya belum beragama pada beberapa puluh tahun lalu. Ataupun kalau di KTP tertulis Islam, ya Islam tanpa menjalankan tata ibadah. Kemudian, bapak saya menitipkan mbah putri ke guru ngaji tetangga saya.
Kalau mau sebenarnya bsa saja kami mengajak mbah ke gereja, tapi tidak kami lakukan. Mbah setelah ngaji akhirnya menjadi rajin menjalankan ibadahnya sebagai muslim. Bapak dan Ibu saya sebenarnya juga menjadi Kristen ketika sudah remaja. Bapak karena ikut dan dipelihara keluarga Kristen semasa SPG akhirnya menjadi Kristen. Tetapi lingkungan asal bapak beberapa memang keluarga Kristen. Tetapi dalam keluarganya hanya Bapak dan beberapaa keponakan yang Kristen.
Rumahku terletak di bagian selatan kampong, tetangga terdekat 50 m dari rumah kami. Di timur rumah kami, sekitar 60 m, terdapat masjid yang dulu adalah satu-satunya masjid di rumah kami. Seperti halnya masjid-masjid lain, suara adzan dan pujian akan terdengar setiap menjelang waktu sholat. Bisa dibayangkan, karena dekatnya maka 5 kali sehari suara adzan dan pujian terdengar jelas dan keras di rumah kami. Lebih sering terdengar daripada lantunan nyanyian rohani. Gereja tempat kami beribadah ada di kota kecamatan, sekitar 10 km dari desa kami.
Semasa sekolah SD, belum ada aturan bahwa sekolah harus menyediakan guru agama sesuai agama muridnya. Maka, ada dua pilihan bagi aku dan adik-adikku, keluar kelas atau tetap tinggal di kelas sambil mendengarkan pelajaran agama Islam. Dan aku memilih untuk tetapp di kelas, lagian kalau keluar kelas, mau main dengan siapa? Dari kelas 1 sampai kelas 6, tak pernah aku absen ikut pelajaran agama Islam. Bahkan lebih sering ikut pelajaran agama Islam daripada ikut sekolah minggu atau ke gereja. Berhubung rumah jauh dari gereja, dan belum ada kendaraan bermotor yang kami miliki, kami relative jarang pergi ke gereja. Maka janganlah heran kalau aku lebih hafal doa-doa pendek berbahasa arab, alfatihah, surat-surat pendek yang diajarkan di kelas daripada doa bapa kami. Tetapi, inilah yang membuat aku lebih memahami Islam nantinya.
Jangan ditanya tentang hari raya. Boleh dikata, kami memiliki dua hari raya. Ketika Idul Fitri, kami juga merayakan bahkan jauh lebih meriah daripada kami merayakan Natal. Sore hari menjelang takbiran, tradisi di masjid sebelah rumah adalag memukul bedhug sampai menjelang maghrib. Sudah dipastikan, saya akan ikut main-main dengan teman-teman di sekitar masjid, takjarang ikut memukul bedug. Rumah kami tentu saja menyediakan aneka hidangan lebaran. Ketika mbah putri sholat ied, kami di rumah sibuk menyiapkan rumah dan menyusun hidangan di meja-meja. Sebagai orang yang dituakan, setelah sholat Ied, banyak tetangga yang langsung mampir ke rumah mbah.
Maka setelah kami sungkem ke mbah, giiliran para tamu yang bersilaturahmi dengan mbah,terutama orang-orang sepuh yang nantinya lebih banyak diam di rumah. Setelah itu, maka waktunya aku bergabung dengan teman-teman keliling kampong dari rumah ke rumah bersilaturahmi. Sementara di rumahku, kesibukan juga terjadi. Tamu-tamu yang dari rumah mbah, akan mampir ke rumahku yang bersebelahan. Ditambah dengan murid-murid bapak dan ibu yang datang bersilturahmi. Mereka yang datang pada saat idul fitri dan tidak datang pada saat Natal. Ah, apalah artinya hehehehe. Pada saat Natal, tetangga-tetangga giliran datang pada malam menjelang Natal. Seperti yang aku ceritakan di atas.
Kalau boleh jujur, meski lahir dan dibaptis menjadi Kristen sejak kecil dan ikut baptis dewasa pada masa SMA, tetapi sebenarnya benar-benar menjadi Kristen dan lahir baru pada saat kuliah. Mengikuti baptis dewasa, artinya ikut program katekisasi, atau pelajaran agama Kristen di gereja. Tetapi itu belum benar-benar mengkristenkan diriku. Baru pada saat kuliah, aku mengikuti kelompok tumbuh bersama di kampus dan benar-benar merasa tumbuh imanku. Padahal pada masa SMA, aku juga terlibat aktif di pemuda gereja dan aktif mengajar sekolah minggu hahahahaha.
Maka kalau boleh aku menyimpulkan, bersinggungan dengan Islam bahkan paham dengan ajaran-ajaran agamanya pun tidak membuat aku punya keinginan untuk memeluk Islam. Perasaan itu ada atau terbersit kalau pas naksir cewek yang kebetulan muslim. Hahahaha. Bisa dibayangkan kan? Bukan apa-apa, aku hanya ingin mengatakan bahwa bersinggungan dengan agama lain tak otomatis akan menggoda iman kita. Aku percaya bahwa beragama itu memang datangnya dari Tuhan. Maka, ini yang sering saya pertanyakan, kenapa orang begitu takut ketika ada rencana membangun tempat ibadah sehingga terjadi penolakan. Aku selalu bertanya, adakah statistik berapa persen orang berpindah agama karena didekatnya didirikan rumah ibadah agama lain? Pengalamanku, jarang banget atau boleh dikatakan tidak ada orang yang menjadi Kristen karena disebelah rumahnya dibangun gereja.
Makanya aku sungguh prihatin dengan kondisi negeri ini, begitu banyak persoalan dalam kehidupan bertoleransi, tepa selira antar umat beragama. Kita berlutut ketika berhadapan dengan Tuhan, tetapi mendongakkan kepala ketika berhadapan dengan sesama. Dimana kerendahan hati yang diajarkan Tuhan? Aku sadar, banyak yang semakin alim atau mengikuti ajaran agamanya, tetapi bagiku semakin orang mengikuti ajaran Tuhan maka akan semakin rendah hati. Jujur, seringkali aku ingin marah dengan teman-teman muslim yang katakanlah mengikuti aliran tertentu bahkan yang kemudian menyampur adukkan dengan politik. Tetapi, aku selalu ingat teman-teman lainnya yang sering mengingatkanku untuk makan siang ketika bukan rmadhan, teman-teman yang aku menunggu di mobi ketika mereka sholat di masjid, teman-teman yang sepikiran dengan aku.
Rasa gatal di paha karena ada nyamuk yang menggigit, menyadarkan lamunanku. Ternyata sudah jam 1 pagi. Semoga damai di sorga damai di bumi benar-benar nyata. Terutama di negeriku, INDONESIA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H