Siapa yang tidak kenal dengan kayu manis ?
Salah satu kekayaan rempah-rempah Indonesia yang memiliki nama latin Cinnamomum verum, sin. C. zeylanicum ini pernah membuat Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis, dan Inggris menginvasi ibu pertiwi secara berturut-turut dari tahun 1509 hingga 1811. Kelima negeri penjajah saling berperang untuk menguasai tanah air karena kaya akan rempah-rempah.Â
Rempah-rempah yang kaya khasiat telah mengangkat dominasi bangsa Eropa di timur jauh. Potensi ekonominya yang tinggi menggiurkan para penjajah hingga menimbulkan pertumpahan darah. Kayu manis, disamping sebagai penyedap masakan dan minuman juga memiliki faedah kesehatan tubuh, dari mulai menurunkan berat badan hingga meningkatkan kesuburan.
Melansir penelitian dari University Of Michigan Life Sciences, disebutkan bahwa kayu manis memiliki kandungan zat bernama Cinnamaldehyde yang berguna untuk membantu pembakaran tumpukan lemah di dalam tubuh. Sifat antibiotik dan antimikroba yang tersemat pada kayu manis memiliki kemustajaban untuk kecantikan kulit dan wajah, melindungi dari iritasi, ruam, alergi, dan infeksi.
Hasil penelitian dari Natural Fertility Info, mengungkap fakta bahwa kandungan enzim phosphatidylinositol 3-kinase pada kayu manis dapat meminimalisir resiko wanita terjangkit penyakit Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), yaitu terganggunya fungsi ovarium yang menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yang berpengaruh pada tingkat kesuburan.
Dikutip dari artikel kesehatan Lifehealth, dapat diperoleh beberapa manfaat kesehatan apabila rutin mengkonsumsi air rebusan kayu manis, diantaranya adalah kandungan antioksidan (polifenol dan proanthocyanidis) yang mampu meningkatkan imunitas, sifat analgesik dan anti-koagulasi yang manjur mengurangi kram menstruasi, khasiat anti-jamur yang efektif meredakan sakit gigi, dan meningkatkan sensitivitas insulin.
Bermula dari perjalanan saya bersama partner in crime sejak SMA, Andri Sofyan Husein a.k.a. Basir menyusuri Indochina pada tahun 2012. Saat itu saya yang masih tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor sedang pusing mencari ide untuk revisi skripsi sementara Basir juga sedang mengalami kebuntuan intelektual terkait thesis studi Master yang dijalaninya di Universitas Sebelas Maret. Klop! Nasib yang sama meski beda strata membawa kami mengembara ke negeri-negeri antah berantah yang notabene masih berada di halaman rumah Indonesia.
Saat berada di destinasi awal, Ho Chi Minh City, Vietnam, setelah menitipkan ransel ke resepsionis hostel tempat dimana saya dan Basir akan menginap, agar tidak jenuh menunggu waktu chek in yang masih sekitar 3 jam, saya dan Basir iseng-iseng mencari warkop ala Vietnam. Bukan kafe atau coffee shop semacam Starbuck, tapi benar-benar warung kopi tradisional.Â
Saya dan Basir ingin menikmati sensasi kehidupan yang dekat dengan keseharian masyarakat setempat. Saya dan Basir menyusuri tiap lorong gang yang menjadi cabang dari jalan utama, Pham Ngu Lao Street, yang bisa saling tembus dan mudah dipahami polanya. Lorong-lorong gang ini jika di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara lazim disebut lormes, akronim dari lorong mesjid karena mesjid sebagai patokan utamanya, sedangkan di Ho Chi Minh City, mungkin bisa disebut lorwarpho, akronim dari lorong warung pho, Halah! Maksa! Pho sendiri adalah salah satu kuliner khas Vietnam yang paling terkenal, berupa mie beras yang dibanjur sup daging (bisa sapi atau ayam yang matang atau setengah matang, sesuai selera) dilengkapi tauge, irisan daun bawang, daun ketumbar, dan bawang bombay.
Orang-orang yang berjualan makanan ringan maupun berat, minuman, hingga sayuran di pinggir jalan menjadi sajian otentik yang menarik untuk direkam menggunakan kamera dan handycam. Sesekali saya mengamati dan mencatat hal-hal unik yang belum pernah saya temui sebelumnya, seperti : kenapa di Ho Chi Minh City lebih banyak wanita yang turun mencari nafkah? Pertanyaan sekaligus fakta yang membuat saya sebal, ngapain aja para laki-laki/suaminya? Saya pun akhirnya menemukan jawabannya ketika rehat di warung kopi tradisional di salah satu sudut gang.