Kegalauan langsung merambati nadi. Mengoyak-ngoyak hati.
Duh! Saya jadi malu pada diri saya sendiri. Malu pada semut-semut yang berbaris di tembok kamar saya. Malu pada cicak-cicak yang terpingkal-pingkal melihat kebodohan saya. Malu pada tokek-tokek yang terkekeh-kekeh pada kekonyolan saya. Lah! Ini kamar apa taman reptil, yak?
Sejak saat itu, ke-delicious-an Masakan Padang dari Rumah Makan Padang Bopet Mini menempel terus di lidah saya. Bagai hantu, terus membayang-bayangi dalam setiap gerak gerik saya. Menjelma menjadi obsesi. Melahirkan tekad bahwa suatu saat nanti saya harus meluangkan waktu untuk berwisata kuliner ke Bopet Mini.
Kesempatan itu akhirnya datang saat kemarin saya ke kantor pusat di Jakarta bersama tim sukses yang terdiri dari 3 milenial haus tantangan : Aris Yaman, Syifa Ratna Pujasari, dan Silmi Tsurayya untuk keperluan pematangan konsep penelitian.Â
Setelah acara selesai yang bertepatan dengan jam makan siang, kami berempat sempat agak kebingungan menjatuhkan pilihan. Awalnya kami hendak memutuskan makan siang di kantin (atau semacam pujasera) dekat kantor. Banyak bermacam-macam menu makan siang yang disediakan oleh kedai-kedai di kantin (atau semacam pujasera) tersebut.Â
Namun, berhubung kantin (atau semacam pujasera) sudah penuh sesak oleh makhluk-makhluk lapar nan buas, dan tidak ada satupun kursi yang tersisa bagi kami, kami pun berunding kembali menentukan tempat makan siang.Â
Saya teringat Bopet Mini dan coba menawarkan ke Aris, Syifa, dan Silmi.
"Sebenarnya ada, sih, masakan Padang yang cita rasanya cukup unik, tapi lokasinya di sekitar Bendungan Hilir." Ucap saya membuka diskusi. Syifa garuk-garuk kepala sambil menanggapi "Lumayan jauh juga dari sini, Mas."Â
Syifa kemudian terlihat agak sedikit berpikir, "Actually, around here, sih, ada tempat makan yang not bad, lah, ya, but dia yang pakai tenda-tenda terpal, gituloh!" lanjutnya. Saya, Aris, dan Silmi hanya bisa terbengong-bengong menanggapi pernyataan Syifa.
"Kalo Bakso yang dekat-dekat sini, ada nggak ya?" Silmi mencoba ikut urun rembug, Aris yang berusaha mencari referensi makan siang melalui gawainya tampak semakin kebingungan dengan banyaknya tempat yang ditawarkan "Jangan Bakso, deh! Nggak bikin kenyang!" timpalnya.Â
Dikarenakan rasa lapar yang semakin mendera dan tidak segera menemukan keputusan tepat untuk tempat makan siang, sementara matahari lamat-lamat mulai menggelinding menuju barat, kami berempat sepakat melakukan pengundian. Masing-masing dari kami menulis tempat makan yang diinginkan atau minimal makanan yang terlintas di kepala pada secarik kertas yang kemudian dilinting.Â