Bola soba atau dalam bahasa Indonesia yang diartikan rumah persahabatan merupakan salah satu peninggalan sejarah. Berdiri kokoh di ruas Jln Latenritatta, Watampone, bangunan ini sarat dengan nilai-nilai sejarah yang tersirat.
Bola Soba (Rumah Persahabatan), merupakan salah satu bangunan bersejarah di Watampone, ibukota Kabupaten Bone.
Sepintas lalu, tak ada yang istimewa dengan bangunan yang berdiri di atas lahan seluas hampir 1/2 hektar tersebut. Dari luar, tampak hanya sekadar bangunan rumah panggung tradisional ala masyarakat Bugis. Hanya ada papan nama di depan bangunan serta gapura yang mempertegas identitas bangunan tersebut.
Memasuki bagian dalam bangunan, tak ada benda-benda monumental yang bisa menjelaskan secara historis bangunan tersebut. Hanya beberapa perlengkapan kesenian, seperti kostum tari dan gong. Ya, saban hari bangunan Bola Soba ini memang menjadi tempat latihan salah satu sanggar kesenian yang ada di kota ini.
Selain itu, di bagian lain ruangan terdapat ‘bangkai’ meriam tua, potret Arung Pallakka, silsilah raja-raja Bone, serta beberapa benda-benda tertentu yang sengaja disimpan pengunjung sebagai bentuk melepas nazar.
Penasaran, penulis berusaha mengorek lebih jauh mengenai bangunan peninggalan sejarah ini. Untungnya, rasa penasaran itu terjawab melalui penuturan Abidin (54 tahun), Koordinator Wilayah (Koorwil) Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Bone.
“Bola Soba dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-30, La Pawawoi Karaeng Sigeri sekitar tahun 1890. Awalnya, diperuntukkan sebagai kediaman raja pada waktu itu,” tutur Abidin, kepada penulis seraya memperlihatkan buku tentang sejarah Bola Soba terbitan tahun 1984 yang disusun Drs Abdul Muttalib M.
Selanjutnya, ditempati oleh putra La Pawawoi, Baso Pagilingi Abdul Hamid yang kemudian diangkat menjadi Petta Ponggawae (Panglima perang) Kerajaan Bone. Saat ditempati oleh Petta Ponggawae, maka singkap rumah (timpa’laja) diubah menjadi empat singkap setelah sebelumnya lima singkap. Sebab, imbuh Abidin, dalam tata kehidupan masyarakat Bugis, lima singkap timpa’laja dalam bangunan rumah diperuntukkan bagi rumah raja dan timpa’laja dengan empat singkap untuk putra raja.
Seiring dengan ekspansi Belanda yang bermaksud menguasai Nusantara, termasuk Kerajaan Bone pada masa itu, maka Saoraja Petta Ponggawae ini pun jatuh ke tangan Belanda dan dijadikan sebagai markas tentara. Tahun 1912, difungsikan sebagai mes atau penginapan untuk menjamu tamu Belanda.
“Dari sinilah penamaan Bola Soba’ yang berarti rumah persahabatan,” kata Abidin.
Selanjutnya, Bola Soba’ juga pernah difungsikan sebagai istana sementara Raja Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31, La Mappanyukki padatahun 1931, menjadi markas Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), menjadi asrama TNI pada tahun 1957 hingga kemudian dijadikan sebagai bangunan peninggalan purbakala.
Tiga Kali Pindah Lokasi
Menurut Abidin, Bola Soba setidaknya telah mengalami tiga kali pemindahan lokasi. Lokasi aslinya, terletak di Jln Petta Ponggawae yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati. Selanjutnya, dipindahkan ke Jln Veteran dan terakhir di Jln Latenritatta sejak tahun 1978, yang peresmiannya dilakukan pada 14 April 1982 oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, Prof Dr Daoed Joesoef.
“Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Bola Soba didesain untuk mendekati bangunan aslinya. Namun demikian, beberapa bagian juga mengalami perubahan, baik perbedaan bahan maupun ukurannya,” kata Abidin.
Secara umum, kata dia, Bola Soba yang memiliki panjang 39,45 meter ini terdiri dari empat bagian utama, yakni lego-lego (teras) sepanjang 5,60 meter, rumah induk (21 meter), lari-larian/selasar penghubung rumah induk dengan bagian belakang (8,55 meter) serta bagian belakang yang diperuntukkan sebagai ruang dapur (4,30 meter).
“Untuk dinding dan tappi, dilengkapi dengan ukiran pola daun dan kembang sebagai ciri khas kesenian Islam dan banji (model swastika) yang diperkenalkan oleh orang Tionghoa,” lanjut Abidin.
Sejauh ini, kata dia, selain sebagai tempat latihan salah satu sanggar musik, Bola Soba yang juga menjadi objek wisata sejarah ini banyak dikunjungi oleh wisatawan, tak hanya dari Kabupaten Bone, bahkan juga dari Jawa, Balikpapan, Kalimantan Timur, Malaysia hingga warga Jerman.
“Beberapa di antaranya merupakan warga Bone yang merantau dan mengunjungi Bola Soba untuk melepas nazar. Bahkan, beberapa kerap mengaku masih keturunan Raja Bone ke-31, La Mappanyukki dan meninggalkan benda-benda tertentu sebagai bagian dari pelepasan nazar,” ujar Abidin.
Sayangnya, kata dia, pemerintah daerah terkesan lepas tangan terhadap pemeliharaan bangunan peninggalan sejarah itu.
“Beberapa atap mulai bocor sehingga diperlukan perbaikan. Di samping itu, untuk dana kebersihan seperti pemotongan rumput di sekitar lokasi Bola Soba tidak ada dari pemda. Terkadang saya dan teman lainnya berinisiatif kumpul dana swadaya per orang untuk keperluan kebersihan kompleks Bola Soba,” tandas Abidin, yang ditugaskan bersama empat rekan lainnya menjaga kompleks Bola Soba’. [Adi Pallawalino]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H