Sepiring nasi pagi ini terasa begitu istimewa. Â Bukan karena rasanya yang menggugah selera makan, tapi hikmah yang tersembunyi dibelakangnya.
Sekarang, ambil nasimu sendiri kemudian lihatlah! Sepiring nasi yang tersaji tepat didepanmu itu, ternyata melibatkan karya banyak orang. Mereka-mereka ini belum tentu se-agama dengan saya atau kalian. Mereka juga belum tentu se-suku  dan se-bangsa dengan kalian. Singkatnya mereka belum tentu sama persis dengan kalian.
Lihatlah sepiring nasi itu yang akan kau isi kedalam mulutmu sendok demi sendok ! Ada sentuhan lembut petani ketika menanamnya. Ada pula genggaman tangan-tangan kekar para buruh saat mengangkutnya. Ada juga sentuhan tangan-tangan jenius dari orang yang telah membuat mesin penggiling padi.
Bukan hanya itu. Di sepiring nasi itu, ada sentuhan tangan cekatan para distributor dan pedagang, tempatmu membeli beras. Jangan lupa pula ! Bahwa beras itu juga diangkut dengan transportasi mobil bahkan kapal laut.Â
Peralatan pendukung lain seperti Crain juga ikut-ikutan memberi manfaat mengangkut beras. Siapakah mereka yang membuat dan menciptakan peralatan itu semua ? Apakah mereka se-agama, se-suku, se-bangsa atau sejenis dengan aku dan kalian ? Bisa iya, bisa juga tidak.
Itu baru beras. Belum lagi lauk pauk dalam sepiring nasi itu. Tentu kondisinya tidak jauh berbeda dengan beras.
Lalu apakah mereka-mereka yang berkarya untuk menghasilkan beras dan lauk pauk itu, pernah terbesit dalam pikiran mereka bahwa nanti yang menikmatinya adalah aku dan kalian yang notabenenya berbeda dengan mereka? Aku yakin, bahwa mereka tidak pernah berpikir demikian.Â
Yang mereka pikirkan adalah apakah keberadaan mereka, karya mereka itu memberikan manfaat kepadaku dan kalian. Tak peduli apa agamamu, apa sukumu apakah bangsamu dan seterusnya. Apakah keyakinan kalian sama seperti keyakinanku itu ? Aku tidak tahu.
Tapi yang membuatku heran, mengapa ada sekelompok manusia yang begitu sibuk menebarkan kebencian kepada orang yang berbeda dengan mereka dengan mengatasnamakan agama? Tidak tanggung-tanggung nilai-nilai kemanusian mereka yang berbeda itu dihukum begitu kerasnya dengan dalil-dalil agama.Â
Kopar kapir, ahli bid'ah, belum kaffah dan seterusnya begitulah kelompok manusia itu menghukum mereka yang berbeda. Lebih brutal lagi mereka tidak segan-segan membunuh atas nama agama yang mereka pahami terhadap orang yang berbeda dengan mereka.
Sepiring nasi itu juga mengajarkan kepadaku tentang penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan. Sambil menikmatinya, tiba-tiba saya teringat dengan pesan inti dari berbagai agama tentang nilai kemanusiaan. Islam dengan akhlaknya, sangat menekankan kebaikan antar sesama umat manusia.Â
Kristen dengan ajaran kasihnya dimana kematian Yesus di tiang salib sebagai upaya pembebasan terhadap manusia dari semua dosa. Budha dengan keutamaan sifat welas asihnya yang mereka kenal dengan Bodhisatva.Â
Agama Hindu dengan Santana-dharma-nya, sebagai kewajiban "abadi" yang harus dijalankan oleh seluruh umat Hindu---tanpa memandang derajat, kasta, atau sekte atau aliran---seperti kejujuran, tidak menyakiti makhluk hidup, menjaga kesucian, berniat baik, pemaaf, bersabar, mengendalikan nafsu, mengendalikan diri sendiri, murah hati, dan bertafakur. Begitulah agama datang mengajarkan tentang penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan.
Lalu bagaimana mungkin seseorang melakukan kejahatan, pembunuhan dengan mengatasnamakan agama. Akhirnya dari sepiring nasi itu membuat saya tersadar bahwasanya mereka itu orang yang beragama tapi tanpa kehadiran Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H