Dalam tiap jengkal, ingin rasanya kusetubuhi kalimat lembut yang keluar dari mulutmu, Tuan. Untaian kalimat yang bercucuran bak keringat para petani di desaku. namun sayang, tiap kali kuingin melakukan itu selalu saja kudapati kata menjelma asap yang terbuang seperti bayi-bayi hasil onani.Â
Oh, inikah tanda kalau kalau Tuan belum tuntas mengeja silsilah matahari? Ataukah tanda bahwa Tuan ingin agar kita sama sama tenggelam dalam lantunan adzan para pendengki seperti Tuan?
: tidak, Tuan, aku tlah memilih jalanku sendiri.
Jauh sebelum tuan bertutur aku tlah menemukan cara menangkap sepi jua menajamkan pisau dapur yang mulai berkarat ini. Adalah rahim puisi yang tlah memberiku kabar Tuan, bahwa kelak tebasan pedang Tuan akan meninggalkan luka yang menganga di negeri ini. Air mata kaum nestapa akan menjelma sungai-sungai seperti diksi yang mengalir dalam sajak sajak Taufik Ismail dan Chairil Anwar. Dzikir dan nyanyian mereka pun pasti jua akan menemukan jalan menuju cahaya-Nya meski Tuan mengirim sunyi untuk menyembunyikannya.
Sungguh Tuan, seiring lengkingan pilu ribuan camar di langit langit tanah Papua, aku yakin Tuan akan melipat lidah persis saat kita bersua di persimpangan jalan menuju keadilan-Nya itu. Bukankah waktu jua yang akan membuatku mahir memainkan pisau ini Tuan?
- - - - - Negeri Para Daeng, Oktober 2016 - - - - -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H