(Ilustrasi:Â oir-nikonian.blogspot.com)**mekar senyum kecut dari bibir bocah se tegah matang sembari menatap pantulan gelisah dari mimik ibunya ada risau menyeruak dalam benak bocah itu penuh tanya ---- "mak, siapakah presiden kita?" "adakah menterinya yang paham kondisi kita disini?" tiba-tiba nyala duka membisik di hati sang ibu terisi pilu berujung tangis tumpahlah air mata luka yang sejak dahulu tertahan bibirnya gemetar, jawabnya lirih ---- "presiden kita juga manusia nak, tapi kadang ibu tidak mengerti dimana kemanusiaan dalam dirinya. tak usah berharap sama pak menteri, asah saja semangatmu biar nanti kau bisa jadi menteri. buktikan pada mereka, kalau anak dari si miskin ini pun bisa jadi menteri" tutur perempuan tua menopang semangat anaknya di saksikan senja dan iringan riuh burung camar dari usianya, terjawab tabir hidup dengan penuh keteguhan "setelah BBM dan tarif listrik naik, kini El Piji juga naik. Kata orang, ini akan membuat harga sembako juga naik, benar kan mak?" "huuzzztt... tidak usah dengar apa kata orang nak!" "kalau begitu, apa yang dapat kita dengar mak?" "dengarkan suara perutmu, anggap saja itu suara musik penenang jiwamu. jika esok suara itu hilang, kabarkan pada yang lain bahwa kita sudah merdeka". dua jiwa merambah sunyi kata-kata terpendam di hati lara di antara tatap-tatap mata berkaca tak ada tawa tak pula ada senyum hanya ada detak jam menunggu bahagia dan gambaran peta surga dalam angan-angan :hei, lihatlah simpul-simpul tautan hati kaum papa ! di sana, suka dan duka susah di bedakan ! apakah kau masih bisa melihat ? (yang buta saja masih bisa melihat) : Penguasa Buta !_________________________Adhye Panritalopinegeri para daeng04 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H