Mohon tunggu...
Adhye Panritalopi
Adhye Panritalopi Mohon Tunggu... profesional -

Alumni Fak. Hukum Univ. Hasanuddin Makassar#Penyair dari Komunitas Halte Kayu Makassar#Penulis tetap di www.negarahukum.com# "AKAN ada banyak "WARNA" sebagi pilihan, tapi seorang SARJANA HUKUM harus berani menerima "HITAM dan PUTIH" sebaggi REALITA" ___Twitter @adhyjudo__FB: Adhye Panrita Lopi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Pesan Anak Kampung

3 Februari 2014   22:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13914414951030460371

(Ilustrasi: green-track.blogspot.com)

***

ah, ada lagi yang ingin kami ceritakan pada senja pada lembar-lembar sajak yang belum sempat kami beri judul pun pada syair lagu yang belum sempat kami nyanyikan diatas punggung kerbau _ adalah kami, anak-anak pelosok yang merindu kasih bocah-bocah malang yang mengejar matahari dari bawah lembah-lembah bukit, menuju puncak-puncak gunung berapi :oh nasib, oh duka, oh dusta !_ adalah kami, anak-anak pelosok yang baru pulang dari sawah bocah-bocah dekil yang gemar mengembala hidup dan besar di hutan-hutan lalu mati di pinggir pantai, entah :oh nasib, oh duka, oh dusta !_ adalah kami, anak-anak pelosok yang tak biasa memakai sandal, tak pula senang memakai topi bocah-bocah petualang yang menjadikan alam sebagai sahabat bagi kami, deras hujan dan panas matahari sudah jadi saudara :oh nasib, oh duka, oh dusta !_ dan lihatlah, kedua kaki kami ketika kami berjalan di tanah yang bercak yang sesekali melompat dari batu yang satu ke batu yang lain pun ketika kami berlari di antara tebing-tebing yang menjulang :oh nasib, oh duka, oh dusta !_ dan lihatlah, kedua tangan kami begitu pawainya memainkan tali sapi dan kerbau peliharaan bapak sambil meniup seruling bambu yang sesekali kami gunakan untuk menggaruk kulit kami yang gatal :oh nasib, oh duka, oh dusta !_ dan lihatlah, dua bola mata kami yang tiap hari disuguhi tontonan asing yang barangkali sudah lama kalian ingin di butakan namun, mata ini masih bercahaya meski kalian kirim gelap di desa-desa kami :oh nasib, oh duka, oh dusta !_ maka ketahuilah, kami akan terus bermain di pinggir kali kami akan terus bermimpi dari balik lembah kami akan terus berlari ke atas puncak bukit itu dan kelak, kami yakin bisa mencapai matahari atau paling tidak, kami bisa memetik bulan walau pun bintang sudah kalian borong:oh nasib, oh duka, oh dusta !_ maka ketahuilah, di antara api unggun yang kalian buat kami disini sudah mempersiapkan hujan untuk kalian suatu saat nanti, kami akan tumpahkan hujan kami itu agar api kalian padam kami akan mengajarkan kalian bagaimana air menghadapi api meski pun kalian selalu melihat api mendidihkan air:oh nasib, oh duka, oh dusta !_ maka ketahuilah, kami anak-anak pelosok kami bocah-bocah malang layaknya rumput, suatu saat nanti kami akan tumbuh di halaman rumah kalian pun seperti ombak, suatu saat nanti kami akan datang memecah tembok rumah kalian agar kalian tahu, rumput dan ombak kadang tak bersahabat:oh nasib, oh duka, oh dusta ! ________________________________

"Alam adalah Guru tertua Manusia. Dalam perjalanan menjelajahnya, Tuhan menunjukan ayat-ayat kehidupan dan ayat alam yang nyata. Sebagai tanda kebesaranNya maupun potret pelajaran hidup dan kehidupan, yang menjadi bahan perenunganku yang layak diambil maknanya" (Momon S. Maderoni)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun