Film musikal terakhir yang masih segar di kepala penulis adalah Petualangan Sherina (2000) dan remake Kisah Tiga Dara (2016). Dan di ranah 'eksperimental' ada film seperti Kantata Takwa (2008). Kantata Takwa adalah percampuran menarik antara genre fiksi dan non-fiksi. Sebagian besar film berisi dokumentasi konser Kantata Takwa di Stadium Senayan yang diwarnai kericuhan. Selain itu ada adegan - adegan 'dream sequence' seperti adegan Iwan Fals, yang terlihat seperti Che Guavara, lari dari kejaran tentara.
Oleh pembuatnya, musik diinterpertasikan sebagai suara nurani sebuah generasi dimana kita bisa melihat bagaimana musik berpengaruh dalam kehidupan sosial. Musik bukan hanya sebagai bagian dari cerita, tapi sebagai simbol perlawan terhadap rezim Orde Baru. Sebuah eksperimentasi naratif dalam mengabadikan salah satu pencapaian penting seni musik Indonesia.
Muncul sebuah pertanyaan: apakah sebuah film tentang musik bisa hidup terlepas dari musiknya? Bila kita mengganti subyeknya, apakah kita masih tertarik untuk menontonnya? Apakah musik menjadi esensi utama atau sekedar tempelan belaka?
Sebuah film terlintas di kepala saya, 'Searching For Sugar Man'. Tidak ada yang tahu nama Sixto Rodriguez, mungkin sampai sekarang. 'Searching For Sugar Man' secara humanis mengajak kita mengenal Rodriguez, menyelami kehidupannya, dan bagaimana selama bertahun - tahun orang menyangka ia sudah meninggal.
Pertanyaannya adalah bagaimana menemukan frame cerita yang tepat? Film, apapun bentuk dan jenisnya, akan kembali ke satu hal mendasar: Cerita. Cerita. Cerita.
Cerita adalah raja. Apakah cerita itu penting untuk diceritakan? Bagaimana kisah itu diceritakan? Film dokumenter yang baik, bukan hanya musiknya yang enak didengar atau musisinya yang terkenal, tapi mempunyai cerita yang kuat untuk diceritakan. Ia dapat membangkitkan gairah pendengar musik, dan seperti kejaiban mampu membangkitkan kembali musisi yang sudah lama mati. Seni musik selalu terbuka untuk diinterpetasikan, dan medium film bisa bergerak lebih. Asal pembuatnya mau menggali sudut pandang yang lebih dalam.
***
Waktu sudah memasuki saatnya berbuka puasa. Jimi Multhazam meminta izin sebentar untuk sholat maghrib.
Sepuluh tahun yang lalu, siapa yang tak kenal Jimi Upstairs? Ia salah satu tersangka utama pembakar panggung - panggung pensi di Jakarta dengan gaya busananya yang nyentrik dan goyangannya yang membuat anak muda menjadi gatal untuk bergoyang.
Iseng saya bertanya ke Jimi apa yang paling penting untuk diambil untuk cerita tentang perjalanan musik generasinya.