Mohon tunggu...
Adhyatmika
Adhyatmika Mohon Tunggu... Filmmaker -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memfilmkan Musik, Memusikkan Film

9 Maret 2017   13:45 Diperbarui: 10 Maret 2017   04:00 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aprilia Apsari (dok. Pijaru)

Film musikal terakhir yang masih segar di kepala penulis adalah Petualangan Sherina (2000) dan remake Kisah Tiga Dara (2016). Dan di ranah 'eksperimental' ada film seperti Kantata Takwa (2008). Kantata Takwa adalah percampuran menarik antara genre fiksi dan non-fiksi. Sebagian besar film berisi dokumentasi konser Kantata Takwa di Stadium Senayan yang diwarnai kericuhan. Selain itu ada adegan - adegan 'dream sequence' seperti adegan Iwan Fals, yang terlihat seperti Che Guavara, lari dari kejaran tentara.

Oleh pembuatnya, musik diinterpertasikan sebagai suara nurani sebuah generasi dimana kita bisa melihat bagaimana musik berpengaruh dalam kehidupan sosial. Musik bukan hanya sebagai bagian dari cerita, tapi sebagai simbol perlawan terhadap rezim Orde Baru. Sebuah eksperimentasi naratif dalam mengabadikan salah satu pencapaian penting seni musik Indonesia.

Muncul sebuah pertanyaan: apakah sebuah film tentang musik bisa hidup terlepas dari musiknya? Bila kita mengganti subyeknya, apakah kita masih tertarik untuk menontonnya? Apakah musik menjadi esensi utama atau sekedar tempelan belaka?

Sebuah film terlintas di kepala saya, 'Searching For Sugar Man'. Tidak ada yang tahu nama Sixto Rodriguez, mungkin sampai sekarang. 'Searching For Sugar Man' secara humanis mengajak kita mengenal Rodriguez, menyelami kehidupannya, dan bagaimana selama bertahun - tahun orang menyangka ia sudah meninggal.

Pertanyaannya adalah bagaimana menemukan frame cerita yang tepat? Film, apapun bentuk dan jenisnya, akan kembali ke satu hal mendasar: Cerita. Cerita. Cerita.

Cerita adalah raja. Apakah cerita itu penting untuk diceritakan? Bagaimana kisah itu diceritakan? Film dokumenter yang baik, bukan hanya musiknya yang enak didengar atau musisinya yang terkenal, tapi mempunyai cerita yang kuat untuk diceritakan. Ia dapat membangkitkan gairah pendengar musik, dan seperti kejaiban mampu membangkitkan kembali musisi yang sudah lama mati. Seni musik selalu terbuka untuk diinterpetasikan, dan medium film bisa bergerak lebih. Asal pembuatnya mau menggali sudut pandang yang lebih dalam.

***

Waktu sudah memasuki saatnya berbuka puasa. Jimi Multhazam meminta izin sebentar untuk sholat maghrib.

Jimi Multhazam (dok. Pijaru)
Jimi Multhazam (dok. Pijaru)
Jimi, yang dijuluki Jimi Danger, tampak tidak segarang waktu di atas panggung. Ia lebih tampak seperti seorang bapak yang lebih senang menghabiskan waktu bersama anaknya. Mungkin pada akhirnya waktu juga yang akan berkata.

Sepuluh tahun yang lalu, siapa yang tak kenal Jimi Upstairs? Ia salah satu tersangka utama pembakar panggung - panggung pensi di Jakarta dengan gaya busananya yang nyentrik dan goyangannya yang membuat anak muda menjadi gatal untuk bergoyang.

Iseng saya bertanya ke Jimi apa yang paling penting untuk diambil untuk cerita tentang perjalanan musik generasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun