Mohon tunggu...
Adhyatmika
Adhyatmika Mohon Tunggu... Filmmaker -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memfilmkan Musik, Memusikkan Film

9 Maret 2017   13:45 Diperbarui: 10 Maret 2017   04:00 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jimi Multhazam (dok. Pijaru)

Belantika musik Indonesia pada saat itu terjadi sebuah dinamika yang menarik. Musik tidak hanya didominasi oleh label - label besar yang mengikuti selera pasar. Ada sekumpulan anak - anak muda yang memutuskan untuk membangun jalannya sendiri, tumbuh berkembang di jalurnya, hingga akhirnya menemukan pendengarnya sendiri. Mereka bukan artis yang ingin mencari tenar, mereka hanya sekumpulan anak muda yang menyuarakan suara mereka melalui musik. Sebuah kisah layaknya kisah romantika masa muda yang dimiliki oleh tiap generasi.

Sepuluh tahun kemudian, semua itu menjadi mitos urban yang nyaris tidak pernah didengar oleh generasi berikutnya.

Hari itu hampir Maghrib. Saya berada di sebuah gudang di kawasan Pancoran yang disulap menjadi sebuah ekosistem kesenian. Keke Tumbuan menghisap rokoknya sembari menceritakan kenangannya tentang era itu. Sebagai salah satu tokoh, kalaupun itu patut disebut tokoh karena menurutnya pada masa itu semua orang hanya sedang bersenang - senang, Keke merasakan sendiri rasanya berada di tengah - tengah arus semangat zaman.

Salah satu pengamatan Keke yang menarik perhatian saya adalah tentang tendensi dunia seni di Indonesia, dimana antara bidang seni masih ada semacam jarak yang membuatnya berdiri sendiri - sendiri. Konon, ini konon lho ya, seniman - seniman yang berbeda bidang jarang nongkrong bareng. Anak musik ya mainnya sama anak musik, anak film ya mainnya sama anak film.

Padahal kalau kita ambil contoh skena seni New York, ada nama - nama seperti Jim Jarmusch atau Andy Warhol yang bergelut di beberapa cabang seni. Kolaborasi mengalir dan kadang di luar cara yang konvensional. Ada cerita - cerita dimana musisi bukan hanya membuat scoring untuk sebuah film tapi juga berakting di depan kamera, seperti yang lazim terjadi di film - film besutan Jim Jarmush dimana musisi beken seperti Tom Waits dan Iggy Pop mencoba peruntungan sebagai aktor. Kesenjangan itu pula yang membuat bentuk seni yang melintasi disiplin seni jarang terjadi. Seperti kalau kita mau ambil contoh genre dokumenter musik.

Film dokumenter musik memang mempunyai posisi yang agak janggal. Dokumenter mempunyai tugas mulia untuk menceritakan sebuah kebenaran, karenanya genre ini biasanya berisi materi yang berat - berat atau yang berbau humanis. Mengambil sudut pandang musik sering dianggap remeh, kurang serius, atau mungkin juga kurang seksi. Itupun kalau ada yang niat mau membuat. Setelah era reformarsi, masih tidak banyak pembuat dokumenter yang mau atau tertarik untuk mengambil tema musik. Di catatan kecil penulis ada beberapa judul yang dirilis setelah tahun 2000: Untuk Kaum Muda (2003), Generasi Menolak Tua (2010), Marching Menuju Maut (2012), Bising (2014), White Shoes &The Couples Company di Cikini (2015).

Bisa kita bandingkan dengan Amerika yang hampir tiap tahunnya merilis dokumenter musik baik tentang musik arus utama ataupun arus pinggir. Jika kita tarik ulur 5 tahun ke belakang, sudah ada beberapa film dokumenter musik yang dihasilkan setiap tahunnya dan sering menjadi langganan festival film. Dokumenter tentang musisi yang dikira sudah lama mati 'Searching For Sugar Man', perjalanan karir para penyanyi latar '20 Feet From Stardom' atau tentang penyanyi kontroversial 'Amy', memenangi piala Oscar di tahun 2012, 2013 dan 2015.

Musik sebagai bagian dari kebudayaan dapat membentuk persepsi bangsa lain ketika melihat Indonesia, atau istilah kerennya brand management. Dari cerita Sari kita bisa mendengar bahwa seni dan kebudayaan Indonesia masih idientik dengan kebudayaan tradisional. Betul, kita ingin gamelan atau tari Bali diperkenalkan kepada dunia. Tapi bagaimana dengan pencapaian peradaban yang kontemporer?

Tidak adanya informasi tentang perkembangan budaya suatu bangsa pada akhirnya akan mempengaruhi brand sebuah bangsa itu sendiri. Hal yang dianggap remeh seperti budaya pop sedikit banyak akan berpengaruh. Karena kebudayaan, apapun bentuknya, akan mencerminkan kemajuan peradaban suatu bangsa.

Bagaimana Indonesia mau dikenal kemajuan budaya kontemporer-nya, taruhlah pencapaian lirik dan musikalitas band Efek Rumah Kaca, bila diluar sana orang masih bertanya - tanya apakah di Indonesia sudah ada teknologi playstation?

Usaha - usaha untuk melestarikan khasanah musik Indonesia bisa dilakukan dengan banyak cara. Melalui medium film saja, musik bisa diceritakan dengan berbagai jenis naratif. Ada genre - genre seperti film musikal dan genre dengan narasi yang lebih eksperimental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun