Soekarno, sebagai penggali Pancasila, memperkenalkan konsep negara gotong royong sebagai salah satu fondasi pembentukan negara Indonesia. Konsep ini berarti bahwa masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama demi kemakmuran rakyat.
Pidato Soekarno pada 21 Februari 1957 ketika membentuk Kabinet Gotong Royong menggarisbawahi betapa bangganya Soekarno kepada nilai asli Indonesia, karena di dalamnya tercermin jiwa bangsa Indonesia.
"...Dan saya dengan sengaja memakai perkataan gotong royong, oleh karena perkataan gotong royong ini adalah perkataan asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-murninya. Kabinet yang di dalamnya duduk semua partai-partai atau fraksi-fraksi di dalam parlemen..." (Soekarno, 1957)
Negara gotong royong menurut Soekarno dilandasi oleh semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Ini berarti bahwa anggota masyarakat harus saling membantu satu sama lain dalam segala hal. Dalam era kolonialisme, negara gotong royong sangat penting untuk melawan penjajah dan memperkuat solidaritas antara rakyat Indonesia.
Soekarno menekankan bahwa negara gotong royong harus menjadi dasar dari semua kebijakan negara. Konsep ini harus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari, bukan hanya menjadi teori atau retorika saja. Hal ini sebenarnya konsisten dengan pidato Soekarno 1 Juni 1945 yang menemui realisasinya pada tataran politis saat membentuk kabinet pemerintahannya.
Soekarno bahkan meyakini semangat gotong royong inilah yang memampukan semua pihak bekerja sama, terutama dalam pemerintahan. Menurut Soekarno, dikotomi antara partai penguasa dan oposisi hanya bisa dieliminasi dalam bingkai semangat gotong royong.
Oleh sebab itulah, konsistensi Soekarno yang memandang gotong royong sebagai sebuah prinsip bernegara inilah yang kemudian membutuhkan jalan bagi pelaksanaan praktisnya. Soekarno mengusulkan musyawarah sebagai pelaksanaan atas prinsip gotong royong tersebut.
"Musyawarah berjalan dengan suasana kekeluargaan. Musyawarah berjalan dengan suasana kegotongroyongan. Dan oposisi yang kita artikan di dalam sebelas tahun lamanya itu akan lenyaplah. " (Soekarno, 1957)
Di mata Soekarno, negara gotong royong juga membutuhkan kesadaran dan keterlibatan aktif dari seluruh masyarakat. Masyarakat harus berpartisipasi secara aktif dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara harus menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat untuk memperkuat semangat gotong royong.
Pidato Soekarno 17 Agustus 1965 secara radikal bahkan mengatakan bahwa semangat gotong royong yang berisi kebersamaan, kerja sama, dan persatuan harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh.
"Kepada rakyat seluruhnya kuserukan agar menempuh segala daya upaya untuk memperkokoh persatuan nasional ... Basmilah setiap prinsipalisme yang menolak kerja sama dan persatuan, hanya dikarenakan masalah-masalah prinsip, ideologi, agama, dan sebagainya." (Soekarno, 1965)