Sejarah tukang cukur di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari Madura atau Garut. Disadari ataupun tidak, mayoritas tukang cukur di Indonesia berasal dari dua wilayah tersebut.
Jika kita mendengar kata "Madura", Profesi yang terlintas dari pikiran kita adalah Pendagang khususnya pendagang sate ayam, tetapi mereka juga terkenal dengan kepiawaiannya memangkas rambut. Makanya, banyak sekali jasa pangkas rambut ala Madura yang tersebar di berbagai daerah di seluruh penjuru Indonesia terutama wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Meski terkadang tempatnya memang benar-benar sederhana, pelanggan yang datang pun biasanya dari berbagai macam daerah juga.
Tersebarnya di berbagai wilayah, bukanlah berarti bawah bisnis potong rambut "Madura" berfranchise layaknya menjamurnya bisnis ayam goreng KFC/ CFC, mini market Indomaret/ Alfamart, Warunk Upnormal, Kopi Janji Jiwa dan lain sebagainya yang memiliki izin pengguna Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) kepada satu pihak (franchisee) dari pemilik franchise (franchisor). Untuk nama bisnis potong rambut "Madura" sepertinya memang tidak dapat di dipatenkan dan biasanya nama tersebut didasari oleh pemilik maupun pekerja yang kebanyakan berasal dari Madura.
Dalam buku Indonesia Poenja Tjerita (2016) karya Sejarah RI atau Dalam jurnal Muh Syamsuddin berjudul "Agama, Migrasi dan Orang Madura pada 2007 lalu" disebutkan jika konflik Trunojoyo dan Amangkurat II pada tahun 1677 menjadi cikal bakal munculnya usaha cukur rambut khas Madura di berbagai daerah di Indonesia. Adanya konflik tersebut menyebabkan pengikut Trunojoyo bermigrasi dan tidak ingin kembali lagi ke Madura. Mereka mengungsi di berbagai wilayah dan menjadikan jasa cukur rambut sebagai pekerjaan utamanya untuk bertahan hidup.
Dikutip dari maduracity.com, di era 1900-an saat masa pergerakan nasional, ketika nasionalisme China melanda Hindia Belanda banyak masyarakat China di Hindia Belanda mencukur rambut mereka yang panjang menjadi pendek untuk menunjukkan ekspresi modernitas dan kemerdekaan mereka terhadap kekuasaan feodal. Gerakan mencukur rambut menjadi simbol kesetaraan mereka terhadap bangsa-bangsa lain di dunia dan kesetaraan mereka terhadap bangsa-bangsa Eropa di Hindia Belanda. Memang rambut pendek pada masa kolonial Belanda merupakan cerminan modernitas dan kemerdekaan seseorang. Usaha potong rambut Madura yang begitu sederhana, bersahabat dan komunikatif dilakukan di tepi jalan berlindungkan pohon-pohon besar di kota Surabaya tahun 1911. Sebuah cerita masyarakat urban yang hingga sekarang terus bertahan.
"Selama kepala masih ditumbuhi rambut, dapat bertahan hidup." Mungkin begitulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan para profesi tukang rambut.
Jika Bung Karno menyebutkan mereka yang telah berjasa menjaga ketahanan pangan sebagai Penjaga Tatanan Negara Indonesia (Petani) pada tahun 1952, maka saya juga sangat berterima kasih karena mereka telah menjaga tatanan kerapian kepala-kepala khususnya pria di Indonesia. Namun sayangnya sayang belum bisa menemukan kata yang tepat untuk jasa mereka.
Walaupun potong rambut tradisional seperti "Madura" masih bertahan di tengah gempuran barbershop dan sudah tidak terlalu ramai seperti masa-masa kejayaan, namun dapat dipastikan jika tukang rambut ini masih ada peminatnya. Ya, Saya adalah salah satu Generasi 98 yang masih menggunakan jasa potong rambut "Madura" bahkan belum beralih ke potong rambut modern.
Anehnya, harga potong rambut di "Madura" sudah ada yang setara dengan barbershop sekitar. Namun entah mengapa saya lebih suka potong rambut di "Madura" walaupun jarak antara barbershop dengan rumah lebih dekat.
Apasih alasan saya?
Salah satu yang masih menjadi misteri hingga saat ini, kenapa rata-rata jasa potong rambut zaman dulu melakukan pekerjaannya cepat. Bahkan, kadang tidak sampai 10 menit. Walaupun dengan sesingkat itu hasilnya tetap rapi dan sesuai ekspetasi. Tentunya saya mengatakan ini sesuai yang saya alami walaupun belum pernah merasakan potong rambut di barbershop, tetapi menemani salah satu sahabat saya. Jika dibandingkan, maka proses lebih cepat karena hanya melakukan potong rambut sedangkan barbershop bahkan melakukan pijatan bahkan cuci rambut. Tentunya itu adalah plus minus antara potong rambut tradisional dan modern.
Selain itu, potong rambut tradisional khususnya berlabel "Madura" menjadi tempat yang biasanya Saya dengan Bapak mencukur rambut, sudah tak terhitung lagi berapa kali telah potong rambut di "Madura". Hingga di usia 24 tahun sekarang ini, saya terhitung potong rambut di 3 tempat saja. Potong rambut madura depan gereja katholik Sukoharjo, belakang Pengadaian Sukoharjo dan sekarang (mungkin selamanya), di Area Pasar cuplik dimana saya tinggal sekarang.
Terakhir, Hal yang patut diapresiasi kemampuan mereka dalam menangani dan menghadapi pelanggan anak kecil. Selain rewel, terkadang mereka suka tidak sabaran dan akhirnya banyak gerak yang bikin rawan salah cukuran dan membahayakan kepala mereka. Dan itu mungkin menjadi faktor utama saya dapat bernostalgia dengan suasana potong rambut ala "Madura".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H