Mohon tunggu...
adhinanto cahyono
adhinanto cahyono Mohon Tunggu... -

To learn how to write, is like to learn how to live..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

The Ideal is The Idol, Not The Idle..

2 September 2010   05:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:31 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepupu saya sebenarnya sudah memiliki pekerjaan, namun sepertinya jam kerja shifting (bisa masuk jam 8 pagi, jam 4 sore, atau pun jam 12 malam) dengan tingkat bayaran yang cukup minim dan tanpa mendapatkan tunjangan yang layak (no medical or overtime allowance) membuat dia gerah dan ingin cepat-cepat hengkang dari pekerjaannya. To be honest, apa yang dia kerjakan itu sejujurnya bisa dilakukan oleh lulusan SMA. Namun, hare gene, di saat mencari pekerjaan susahnya bukan main, mau tidak mau, dia harus menerima dulu apa pun yang ada agar tidak terlalu lama menjadi seorang yang idle (tidak punya pekerjaan) walau pun pekerjaan itu terasa under qualification dengan strata S1 yang dimilikinya dan sangat jauh sekali untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang idol.. hehehe. Dan, dalam satu kesempatan karena mungkin dia begitu jengkel dengan nasibnya, pada saat membaca koran, langsung lah dia berujar, “Indonesia ini gimana sih? Saling nyalah2in mulu kerjaannya! Pemerintah bilang kalo BI meningkatkan suku bunga, katanya meredam inflasi namun mempersulit sektor riil dan mempersulit tersedianya lapangan kerja, tapi kalo suku bunga diturunin, inflasi meningkat walau pun sektor rill bergerak dan membuka banyak lapangan kerja. Sementara BI bilang harusnya pemerintah yang pinter-pinter menggerakkan sektor rill tanpa harus melalui media penurunan suku bunga. Ini gimana sih, Mas? Mas ngerti ekonomi kan?” Oh God, why is this happening to me again? Hehehehe.. Saya menjelaskan kepada dia, sepengetahuan saya, negara kita ini sejak tahun 1999 memutuskan untuk memberikan independensi kepada Bank Sentral, yakni Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, yang berarti BI dapat mengambil keputusan secara independen lepas dari tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, pemerintah adalah sektor yang bertugas untuk menguasai area fiskal, atau sektor riil deh kalo istilah keren-nya. Jadi, untuk penyediaan lapangan pekerjaan, ya itu menjadi tugasnya dari area fiskal, yang berarti tanggung jawabnya pemerintah. Nah, masalahnya banyak analis ekonomi berpendapat bahwa penentuan suku bunga dari BI itulah yang cukup berperan untuk menggerakkan sektor fiskal. Namun, di satu sisi, BI juga harus waspada untuk menaik-turunkan suku bunga agar tidak terjadi inflasi. Bila kembali melihat kepada tugas BI sesuai dengan UU No. 3 tahun 2004, single task BI hanyalah mengenai masalah inflasi yang diwujudkan melalui penatausahaan sistem moneter, pengawasan bank dan sistem pembayaran, jadi BI tidak bertanggung jawab untuk mengurangi tingkat pengangguran. Berbeda halnya dengan UU No. 13 tahun 1968, ketika itu BI memang memiliki tanggung jawab untuk mengentaskan pengangguran melalui penyediaan lapangan kerja yang sebesar-besarnya (maksudnya apa pada disuruh KKN untuk kerja di BI ya? Hehehe).

But anyway, at the same time, saya melihat artikel di Majalah Time (15 Agustus 2010, ditulis oleh Michael Grunwald) dengan judul, “Why Bernanke Isn’t Doing More to Boost the Economy?” Diterangkan bahwa, “Bernanke honestly believed that unemployment was the nation’s most serious economic problem, but he didn’t plan to do anything about it. Bernanke fears the potential benefits of more monetary stimulus would be modest and uncertain, while the potential risks would be dramatic and real. He’s obviously not a do-nothing chairman. 9 months ago, he clearly believed that doing nothing was his least awful option, and he still seems to fell that way.” Setelah melihat artikel tersebut, saya lega, karena bisa memberi penjelasan kepada sepupu saya, bahwa problem bentrokan antara sektor fiskal dan moneter dalam penyediaan lapangan kerja (dan juga bisa menular kepada hal-hal lain, tidak terbatas pada penyediaan lapangan kerja semata) tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di negara superpower seperti Amerika. Tapi kelegaan saya langsung pupus, begitu dia meminta opini saya, “Jadi, menurut Mas, harusnya BI itu bertanggung jawab nggak untuk memastikan tersedianya lapangan pekerjaan melalui strategi penetapan suku bunga moneternya?” Alih-alih salah menjawab, maka saya tawarkan opsi yang cukup negotiable dalam hal ini, “Yang penting adalah koordinasi antara pemerintah dan BI dalam setiap keputusan yang akan mereka ambil dalam penatausahaan ekonomi nasional!” Sepupu saya manggut-manggut tanda setuju. Sementara saya yang langsung khawatir kali-kali kalau pertanyaan dia lanjutkan, “Bukannya di negara kita itu koordinasi adalah barang langka, selangka koleksi-koleksi di Museum De Louvre Paris?” Soalnya saya udah nggak punya stok jawaban lagi kalau pertanyaannya menuju ke arah situ. Untungnya dia tidak bertanya lebih lanjut.. Alhamdullilah deh.. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun