Citra perempuan sudah sejak dahulu dapat dikatakan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki, bahkan sejak Abad Pertengahan hingga awal Abad Modern. Perempuan dan anak-anak disamakan dengan budak, yang dianggap memiliki fisik dan akal yang lemah. Bahkan petinggi-petinggi gereja pada saat itu menuding perempuan sebagai pembawa sial dan malapetaka serta penyebab kejatuhan Adam dari surga (Faizain, 2012).Â
Pandangan yang "sebelah mata" terhadap perempuan (misogyny) ini mengakibatkan terbatasnya peran perempuan hingga di tingkat rumah tangga saja. Para perempuan tidak diperbolehkan untuk ikut campur dalam urusan laki-laki, misalnya dalam hak ekonomi, hak politik, hingga hak sosialnya pun terbatas.
Adanya pembedaan (marginalisasi) ini mengakibatkan perempuan menjadi the second sex (warga kelas dua) yang keberadaannya tidak begitu penting. Perempuan hanya dianggap penting dalam dua hal, yakni urusan rumah tangga dan pemeliharaan anak. Dari alasan inilah, para perempuan kemudian bergerak menuntut pemuliaan dan pemulihan harkat dan martabat mereka.
Feminisme sebagai sebuah gerakan pada awalnya berasal dari anggapan bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Meskipun terdiri pula dari berbagai macam aliran feminisme, namun semua aliran tersebut memiliki satu paham yang sama bahwa hakikat dari perjuangan perempuan adalah demi kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol diri dan kehidupan perempuan.Â
Menurut Mansour Fakih, dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender & Transformasi Sosial (1996), hakikat gerakan feminisme adalah transformasi sosial, yang diartikan bahwa gerakan feminisme ini tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka.Â
Gerakan feminisme adalah perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem serta struktur yang tidak adil menuju sistem yang adil tidak hanya bagi perempuan, juga untuk laki-laki (terutama kelas pekerja yang mengalami penindasan dan eksploitasi).Â
Dengan demikian, gerakan feminisme bukan hanya sekadar upaya mengakhiri dominasi dan manifestasinya, seperti eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan kekerasan, melainkan perjuangan transformasi sosial untuk menciptakan struktur yang baru secara fundamental dan lebih baik.
Di Indonesia, gerakan feminisme lahir karena dipengaruhi oleh berbagai macam kondisi historis perjuangan bangsa, program pembangunan, globalisasi dan reformasi. Perhatian utama gerakan feminisme di Indonesia pada masa sekarang adalah mengenai kondisi pekerja atau buruh perempuan, seperti buruh industri, petani, hingga tenaga kerja wanita (TKW) yang ditempatkan di luar negeri.Â
Industrialisasi menyebakan permasalahan pekerja perempuan di Indonesia semakin melebar, hal ini juga ditambah parah dengan krisis ekonomi yang terjadi pada Mei 1999 akibat munculnya Gerakan Reformasi. Namun, dalam tulisan ini, penulis tidak akan mengulas lebih jauh sejarah perjuangan feminisme di Indonesia.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai salah satu dampak dari pergesekan antara sistem patriarki dan gerakan feminisme, yakni timbulnya stigma toxic masculinity pada kalangan laki-laki masa kini. Sebelum lebih jauh masuk ke pembahasan yang mendetail, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai apa itu sistem patriarki dan mengapa itu dapat memberikan efek buruk pada stigma terhadap laki-laki.
Berikut ini adalah definisi patriarki menurut beberapa ahli. Pertama, W. Walby (1990, dalam Soman 2009: 225) memberikan definisi patriarki sebagai 'sistem struktur sosial yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki untuk mendominasi, menekan, dan mengekspolitasi perempuan (a system of social structures and practices in which dominate, oppress, and exploit women)'.Â