Keadaan darurat plastik global terus meningkat karena peningkatan produksi plastik yang tiada henti. Inti dari krisis ini adalah kemasan plastik sekali pakai seperti produk kemasan saset. Saset sering digunakan untuk menjual kebutuhan sehari-hari dalam jumlah kecil seperti kopi instan, rempah-rempah, sabun, shampo dan deterjen. Saset terbuat dari lapisan plastik dan bahan lain seperti logam atau kertas. Diperkirakan 855 miliar saset terjual di seluruh dunia setiap tahunnya, sehingga berkontribusi signifikan terhadap polusi plastik. Karena ukurannya yang kecil dan sifatnya yang tidak dapat didaur ulang, bahan-bahan tersebut dapat dengan mudah melewati proses pembuangan. Kontaminasi saset tersebar luas di seluruh dunia, namun paling banyak terjadi di negara-negara selatan. Ketersediaan produk dalam kemasan kecil menjadi daya tarik bagi masyarakat yang enggan membeli produk dalam jumlah besar karena pertimbangan biaya. Prevalensi dan ketergantungan terhadap kantong plastik menyebabkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem dan kehidupan manusia.
Gerakan global
Berdasarkan laporan gabungan regional dari Audit Merek Global Break Free From Plastic (BFFP) yakni gerakan global yang berupaya mencapai masa depan yang bebas polusi plastik, Â sebanyak 13.000 lebih organisasi dan individu seluruh dunia menuntut pengurangan kemasan plastik sekali pakai dan advokasi terhadap solusi atas polusi plastik dalam jangka panjang. Di tahun 2023, terdapat merek-merek perusahaan yang teridentifikasi sebagai perusahaan yang berkontribusi terhadap polusi plastik. Laporan audit merek saset tersebut mengkaji prevalensi, jenis, dan pembuatan tumpahan saset yang ditemukan di empat negara di daratan dan maritim Asia.Â
Audit merek regional mengungkapkan total 33.467 saset telah dikumpulkan, dikatalogkan dan dianalisis dari 50 lokasi di India, Vietnam, Indonesia, dan Filipina dari Oktober 2023 hingga Februari 2024. Analisis mengungkapkan bahwa 86% kantong tersebut berasal dari limbah kantong kemasan makanan yang dikumpulkan dalam sampel. Di Indonesia sendiri, audit merek saset dilakukan di 34 lokasi dan terkumpul total 9.698 saset. Hasilnya lima perusahaan pencemar terbesar adalah Wings (1.251 saset), Salim Group (672 saset), Mayora Indah (629 saset), Unilever (603 saset) dan Kapal Api Group (454 saset).Â
Perusahaan menghadapi tantangan untuk beroperasi secara berkelanjutan, yang mempertimbangkan bukan hanya profit ekonomi melainkan dampak lingkungan dan sosial. Sebagai contoh pada tahun 2017, Unilever memperkenalkan CreaSolv, teknologi daur ulang sampah yang dikembangkan bekerja sama dengan Fraunhofer Institute di Jerman. Teknologi yang diklaim membuka potensi daur ulang dan penggunaan kembali limbah kemasan plastik berlapis-lapis, seperti saset. Perusahaan ini membuka fasilitas percontohannya pada tahun 2018 di Sidoarjo, Jawa Timur dan mengklaim bahwa teknologinya mampu mendaur ulang polietilen (PE), bahan utama yang digunakan sebagai salah satu lapisan dalam banyak saset berlapis-lapis. Namun proyek CreaSolv, dihentikan setelah hanya dua tahun beroperasi. Penyebabnya kesulitan logistik dalam pengumpulan sachet dan rendahnya upah yang ditawarkan kepada pemulung. Pemangku kepentingan lainnya, terutama bank sampah turut terkena dampaknya setelah penutupan pabrik di Sidoarjo, sehingga memaksa beberapa operator untuk membakar bungkusan yang sudah dikumpulkan di fasilitas mereka. Contoh ini menyoroti perlunya perusahaan untuk mempromosikan solusi yang berkelanjutan dan menerapkan praktik yang bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan dan sosial di seluruh operasinya.
Solusi berkelanjutan: upaya mengatasi dampak lingkungan dan sosial
Konsep keberlanjutan (Sustainability) diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Komisi Brundtland Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporan bertajuk "Our common future", yakni pemenuhan kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak generasi mendatang untuk pemenuhan kebutuhannya. Sehingga upaya konservasi diperlukan untuk mencegah keruntuhan ekonomi dan sosial bagi generasi mendatang. Krisis polusi plastik memerlukan pendekatan multi-cabang sebagai wujud dari solusi berkelanjutan yang diterapkan, dari sisi Pemerintah harus memperkuat peraturan dan melarang penggunaan plastik sekali pakai termasuk plastik saset, peraturan ini harus ditegakkan secara aktif untuk memastikan kepatuhan dan mempercepat transisi dari plastik saset. Â Sementara dari sisi Korporasi perlu berinvestasi dalam praktik berkelanjutan dengan berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan solusi yang berkelanjutan untuk pengelolaan sampah plastik, melalui metode seperti Insinerasi dan daur ulang bahan kimia. Selain itu diperlukan Kolaborasi Global melalui Partisipasi aktif dalam Perjanjian Plastik Global (Global Plastic Treaty) yang dipimpin oleh UNEA (The United Nations Environment Assembly), yakni komitmen global dengan mendukung pengembangan energi dan sistem untuk menggantikan plastik sekali pakai, serta menekan perusahaan multinasional untuk mengadopsi praktik berkelanjutan dalam operasi bisnisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H