Namaku adalah Tom, aku lahir pada masa penjajahan Belanda tahun 1932. Aku adalah anak tunggal yang sudah hidup dalam kesengsaraan masa penjajahan Jepang, dan aku tinggal di sebuah desa kecil yang bernama desa vetera.Â
Ayahku, adalah seorang pejuang yang telah hidup sejak transisi penjajahan Belanda ke penjajahan Jepang. Aku selalu bertanya tanya, "Mengapa aku harus lahir di masa Indonesia dijajah?"
Aku tidak suka hidup di masa ini, aku ingin hidup lebih nyaman. Ayahku yang telah mengalami banyak garam kehidupan lalu bercerita, katanya, "Indonesia telah mengalami penjajahan Belanda selama 350 tahun. Kami bangsa Indonesia selalu menjadi budak dari negara negara penjajah.Â
Pada saat ayah kecil, Indonesia berhenti untuk dijajah Belanda dan ayah kira negara kita telah bebas dan Merdeka. Akan tetapi, harapan ayah lupus ketika melihat negara Indonesia ini dijajah oleh Jepang. Dan ternyata, penjajahan pada masa Jepang lebih menyensarakan kita."Â
"Pada saat ini, masyarakat sangat sensara nak, bukan hanya kamu saja. Semua orang dewasa dipaksa bekerja rodi kepada jepang. Kamu masih harus bersyukur karena kita masih bisa berkumpul sekeluarga dan masih hidup sampai saat ini."
Mendengar cerita ayah, sangat sedih hatiku terhadap bangsa ini. Warga indonesia yang selalu tersiksa dan tertindas. sejak saat itu, tahun 1943. Aku bertekad untuk melawan jepang. Padahal umurku baru 11 tahun dan aku tidak tau apa apa.Â
Pada tahun 1943 tanggal 12 desember, aku memberanikan diri untuk keluar rumah dan berjalan jalan. Saat diperjalanan pulang, aku bertemu dengan salah satu tentara jepang. Dengan muka yang kesal aku menatapnya karena sudah menjajah kami. Setelah tentara itu melihatku, Â dia memukul kepala ku dan matanya melotot.Â
Dengan kesal hati, aku mengambil batu dan melempar ke arah kepalanya. Batu itu persis mengenai kepalanya dan aku segera kabur terbirit birit. Aku baru sadar bahwa banyak warga yang melihat kejadianku itu.Â
Aku merasa sangat arogan karena telah melakukan hal itu. Tanpa kusadari, para warga yang melihat kejadianku itu mulai berdiskusi dan membicarakan tentang apa yang kulakukan itu. Para warga yang melihat kejadianku itu termotivasi karna mereka terinsipirasi olehku. Anak sekecilku saja berani melawan ketika ditindas.
Aku mendengarnya dari salah satu temanku. Ayah dari temanku ini adalah salah satu dari warga yang berkumpul itu. Temanku bercerita bahwa ayahnya dan teman temannya berniat untuk melawan jepang kembali karena tindakanku yang pemberani.Â
Mereka baru sadar bahwa kita sebagai warga Indonesia tidak seharusnya ditindas. Ini adalah daerah kita dan mereka tidak memiliki hak apapun.Â
Setelah itu para warga mengumpulkan semua orang lakilaki yang berumur cukup dan mereka maju untuk melawan jepang di daerah kita.Â
Ada 1 orang dari warga kami yang sangat mengerti tentang jepang. Ia berkata bahwa desa kami adalah desa kecil sehingga jepang hanya menaruh beberapa pasukan dan hanya membangun 1 gedung pos.Â
Setelah mendengar hal itu, berapi apilah semagat kami untuk menyerbu satu satunya pos yang ada. Kami mempersiapkan diri dengan berbagai perlengkapan mulai dari minyak dan api, dan segala hal yang berguna.Â
Kami datang pada malah hari dan membumi hanguskan seluruh gedung dari tentara Jepang yang ada di desa kami. Tidak ada tentara jepang yang tersisa dari gedung itu. Kami merasa lega dan tenang. Setelah kejadian itu, kami mulai membangun desa kami sendiri tanpa penjajahan dari Jepang. Â --Adhika Dharma Putra XI IPA 1/1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H