Sejak pemerintah menetapkan kebijakan proses belajar mengajar dari tatap muka langsung menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ), dunia pendidikan Indonesia mengalami transformasi yang luar biasa. Para guru, siswa, orang tua dan semua lembaga pendukung dunia pendidikan "dipaksa" untuk menggunakan PJJ sebagai salah satu alternatif solusi di masa pandemi Covid-19.
Namun yang terjadi saat PJJ adalah guru hanya sekadar memindahkan proses belajar tatap muka langsung dengan menggunakan aplikasi video conference seperti ZOOM dan Google Meet. Tentu tidak semua infrastruktur dari para guru dan siswa siap dengan adaptasi PJJ seperti itu. Sebagian masyarakat masih terkendala dengan koneksi internet bahkan peralatan pendukung seperti gawai hingga laptop tidak semua siswa dan orang tua memiliki.
Namun permasalahan sesungguhnya tidak hanya dari sisi infrastruktur dan kesiapan peralatan baik dari sisi guru maupun siswa. Desain PJJ tidak dipikirkan dan disesuaikan dengan target pembelajaran yang telah ditentukan. Â Akibatnya adalah hubungan siswa dan guru dalam proses PJJ ini tidak berjalan dengan maksimal. Guru hanya sekadar menyampaikan materi dengan Zoom / Google Meet / MS Team dll. tanpa memperhatikan keterlibatan siswa.Â
Bahkan ada sebagian guru yang hanya memberikan tugas tanpa memberikan umpan balik ke para siswa. Hal ini tentu masih bisa dimaklumi ketika masih pada tahap transisi. Persiapan desain PJJ tidaklah mudah, para guru dipaksa untuk belajar berbagai tools yang bisa digunakan sesuai situasi dan kondisi anak didik serta lingkungannya.Â
Saya pribadi sebagai seorang dosen, harus bekerja keras mencoba berbagai alternatif tools pembelajaran yang efektif dan efisien di mana tatap muka langsung tidak bisa dilakukan sama sekali. Fasilitas Learning Management System (LMS) yang disediakan pihak kampus belum mampu bekerja maksimal karena tidak dirancang untuk 100% PJJ selama masa pandemi.
Salah satu hal yang menjadi perhatian saya adalah Teacher & Student Engagement selama PJJ ini menurun drastis. Guru dan siswa seakan-akan "hidup untuk belajar selama 24 jam".  Masa-masa Work from Home menimbulkan rasa frustasi dan tekanan yang sangat besar bagi guru, siswa hingga orang tua. Akhirnya mulai mencoba mengeksplorasi berbagai tools tambahan seperti google classroom, bookwidgets, quizizz, kahoot, hingga classcraft untuk meningkatkan masalah Engagement atau keterlibatan ini. Beberapa tools bisa digunakan melengkapi satu dengan yang lain. Hingga akhirnysa saya tergelitik untuk mencoba menerapkan gamifikasi dan game based learning. Kedua hal ini bukanlah hal baru bagi saya, namun saat pandemi terjadi, saya dipaksa untuk mencoba menerapkan agar masalah yang saya hadapi sebagai seorang pengajar dapat terselesaikan.Â
Dua platform yang sedang saya pelajari pada saat ini adalah kombinasi antara google classroom dengan classcraft yaitu platform gamifikasi berbasisi digital storytelling. Bagaimana integrasi kedua platform ini sudah saya rangkum dalam bentuk video penjelasan di youtube.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H