[caption id="attachment_285161" align="aligncenter" width="500" caption="Ada New York diantara Wasior dan Jakarta (sumber:okezonenews.com dan lainnya)"][/caption] Terus terang saya baru tahu kalau ada kabupaten (atau distrik di sebuah kabupaten) di Indonesia dengan nama Wasior. Sangat disayangkan, tahunya lewat sebuah peristiwa naas, banjir bandang, yang menimpanya. Kejadian ini terjadi hari senin kemarin, tanggal 4 Oktober 2010. Anda seperti saya?. Dua hari setelah kejadian tersebut, dari New York, sebuah kota metropolis di Amerika Serikat sana, kurang lebih 16ribu km dari Jakarta, Hillary Clinton, mengatasnamakan rakyat Amerika Serikat, ia menyatakan simpati, duka mendalam dan keprihatinan atas banjir bandang yg menimpanya, keluarga korban dan rakyat Indonesia. Sementara di Jakarta, berita tentang dibatalkannya kunjungan Presiden ke Belanda menjadi berita yang menghebohkan dan menyita perhatian. Kontroversi ttg pembatalan segera menyeruak antara pihak yg mendukung dan menentang pembatalan rencana kunjungan itu. Kita tidak akan membahas secara detil tentang kontroversi itu, hanya satu hal yang ingin disampaikan darinya. Kenyataan dan fakta bahwa pembatalan ini mempunyai korelasi dengan sebuah gerakan separatisme, yang oleh sebagian, dianggap sudah tidak ada, tidak signifikan, dan oleh karenanya tak perlu ditanggapi secara berlebihan. Sementara sebagian yang lain, menganggap gerakan ini masih exist dan tak bisa dianggap enteng keberadaan dan potensi bahanyanya. Belum lagi harga diri bangsa juga terlibat di dalamnya. Yang jelas Maluku bukan Papua (termasuk Papua Barat). Otonomi Khusus Sinyalemen bahwa kita ini bangsa pelupa, mengidap amnesia sejarah, mungkin ada benarnya. Tapi apa memang demikian siiih? Pada bulan Juli kemarin, tiga bulan yang lalu, tepatnya hari Kamis 8 Juli 2010, ribuan warga papua mengadakan demonstrasi, menuntut referendum, jika pemerintah pusat tidak mengakomodir surat keputusan Majelis Rakyat Papua Nomor 14 tahun 2009, tentang kepala daerah dan wakilnya harus orang Papua asli. Dalam aksi yang sama, para demonstran juga meminta DPRD untuk mengembalikan otonomi khusus ke pemerintah Pusat, karena dalam pandangan mereka, ia telah gagal mengembalikan hak2 dasar warga Papua. Kamis, 29 Juli 2010, SBY di Istana Presiden, memerintahkan perlunya dilakukan audit atas penggunaan anggaran negara dalam pembangunan daerah otonomi khusus di Pulau Papua. Ini diperlukan lantaran seolah-olah tidak ada perubahan dan kemajuan di dua propinsi di Papua. SBY juga mengingatkan bahwa biaya pembangunan per kapita dari 33 propinsi yang tertinggi adalah untuk dua propinsi di Papua, yakni Papua dan Papua Barat. Setelah itu, baru Aceh dan diikuti propinsi lainnya. Menurut dia, sejak 2005, pemerintah pusat sudah mengubah kebijakan dasar terhadap Papua. Kebijakan yang semula dengan pendekatan keamanan diubah menjadi pendekatan kesejahteraan. Penegakan hukum mengiringi penegakan kesejahtaraan sejalan dengan meangalirnya dana-dana pembangunan termasuk dana otonomi khusus. Pembangunan Papua mendapat sorotan tajam menyusul terus bergolaknya situasi di pulau besar tersebut. Warga Papua juga masih jauh tertinggal dari propinsi lainnya. Bahkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan di Papua juga tergolong tertinggi di Indonesia. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin di Papua malah naik dari 37,08 persen pada Maret 2008 menjadi 37,53 pada Maret 2009. Demikianlah, yang bisa dikutip dari vivanews, tentang aksi demonstrasi warga papua dan respon pemerintah pusat tentang otonomi khusus papua. Yang satu mempertanyakan pengembalian hak2 dasar warga papua, sementara pusat memberikan pernyataan bahwa dana yang besar, bahkan tertinggi dibandingkan daerah lain, sudah digelontorkan. Nyambung nggak siiiih? Jawaban tentang dugaan tidak adanya korelasi antara penggelontoran dana yang tertinggi tersebut dengan hasil pembangunan di Papua, semestinya merupakan bagian terpenting dari hasil audit yang diperintahkan (atau "diminta" sih?) oleh SBY. Mungkin saja audit itu sudah dilakukan dan laporan sedang disiapkan. Mungkin juga audit itu belum dilakukan, siapa yang tahu? Saya tak tahu, anda? Ya sudahlah, kita tunggu saja laporan audit itu. Yang jelas, problem separatisme ada juga di papua. Jika RMS, dianggap tidak exist dan signifikan, bagaimana menurut anda tentang sentimen memisahkan diri di papua, apa juga tidak exist dan signifikan? Jika terhadap ulah RMS di Den Haag sana, kita membatalkan kunjungan. Sementara tak sepatah katapun terdengar ucapan bela sungkawa terhadap apa yang terjadi di Wasior, Papua Barat sana, jangan disalahkan jika sebagian dari kita punya pikiran bahwa Papua (dan Papua Barat) dengan sentimen memisahkan dirinya, tidaklah cukup signifikan untuk sekedar mengungkapkan bela sungkawa. Mungkin juga tak berkaitan dengan harga diri bangsa. Jadi?...ada New York diantara Wasior dan Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H