Mohon tunggu...
Pratama Adi
Pratama Adi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pecinta seni dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Salah (?)

31 Maret 2012   07:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:13 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah aku harus memulainya dari mana, tiba-tiba waktu-waktu belakangan ini aku kangen dan ingin sekali bertemu dengan seorang sahabat lama yang saat ini entah tinggal di mana. Seorang sahabat yang tidak pernah membuatku kecewa. Selalu mendukung di saat aku lemah, membangkitkanku disaat aku terpuruk, membahagiakanku di saat aku sedih dan dan mengobati saat hati dan badan ini terluka.

Aku rindu dengan sapaan khasnya untukku. Dia selalu memanggilku dengan sebutan adik tampan. Seperti juga aku kerap memanggilnya dengan panggilan kesayanganku, gadis cantikku. Aku juga rindu dengan petuah-petuah istimewanya tentang perjalanan hidupnya. Tentang bagaimana dia yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya selama-lamanya harus mempertahankan dan bertarung sekeras-kerasnya untuk tetap hidup. Meskipun dari sisi kejiwaan sebagai seorang wanita, terkadang dia mengakui kelemahan dalam segala keterbatasannya. Karena itu, katanya, tidak hanya pria yang bisa menjadi laki-laki, tetapi wanita juga harus bisa menjadi laki-laki. Sebab opini telah dibangun sedemikian rupa selama ribuan tahun bahwa laki-laki adalah kekuatan dan perempuan identik dengan kelemahan.

Jangan pernah menangisi keadaan, katanya suatu ketika. Menurutnya hidup ini adalah pilihan. Sedangkan pilihan yang diberikannya cuma dua, kesedihan dan kebahagiaan. Yah, apapun pilihan yang kita ambil, pada akhirnya hanya berujung pada kesedihan atau kebahagiaan. Karena itu, lanjutnya, jika kita ditimpa kesedihan, cukuplah berduka sekedarnya. Siapa tahu dibalik kesedihan itu terselip kebahagiaan. Sebaliknya jika mendapat kebahagiaan, tidak perlu berlebihan mengekspresikannya. Siapa tahu kebahagiaan itu merupakan awal dari kedukaan.

Di luar semua itu tentang prinsip hidupnya, aku memang benar-benar merindukannya pada seluruh yang ada padanya. Kulit putih terpeliharanya, suara lembutnya, geraian rambut lurusnya, senyum manisnya, tinggi dan semampai tubuhnya yang karena itu dia selalu menganggapku sebagai adik kecilnya karena tinggi badannya lebih tinggi dari tinggi badanku.

Tadi pagi, disaat kerinduan padanya memuncak, aku sudah mencoba mengontak semua orang yang aku tahu pernah kenal atau pernah berhubungan dengan sahabatku itu. Tetapi tidak ada seorangpun yang tahu keberadaannya saat ini. Menghubungi tempat di mana dia dahulu bekerja juga tidak mungkin karena kafe bekas tempatnya bekerja sudah hancur diamuk massa beberapa tahun yang lalu. Tidak jelas apa alasan dibalik pengancurannya. Yang pasti beberapa orang menjadi korban dan aku tidak tahu apa sahabatku termasuk di antara para korban yang jatuh.

*****

Malam ini mestinya aku bisa bersantai melemaskan ketegangan otot-otot dan pikiran yang selama satu pekan sangat menguras energi, tetapi karena rencana kegiatan si bos, memaksa aku untuk tetap menghadapi banyak sekali pekerjaan, mempersiapkan berkas seminar minggu depan di Bandung. Bos aku di kantor akan menjadi salah satu pembicaranya. Sebagai salah satu aktivis hak asasi manusia yang cukup terkenal, si bos memang lebih banyak mengurusi kegiatan sosial daripada pekerjaannya di kantor. Dan sebagai salah satu staff terdekatnya, aku yang sering diminta menemaninya ke manapun dia punya acara.

Seringkali aku sedih jika melihat perjalanan hidup si bos. Aktivitasnya di kegiatan sosial adalah sebagai pelampiasan dendam masa lalunya. Di hari-hari pertama setelah perceraiannya, dia sering meminjam pundakku untuk sekedar melepas tangisnya. Melepaskan kesedihan di tengah ketidakberdayaannya mengatasi rangkaian permasalahan hidup yang menderanya bertubi-tubi. Entah bagaimana si mantan suaminya itu sampai hati menyakitinya sehingga selama berbulan-bulan si bos masih sering menangis di ruang kerjanya.

“Saya tidak meminta banyak dari suami saya.” kata si bos setelah menyandang status jandanya. “Saya hanya ingin dia memperlakukan saya sebagaimana wanita normal pada umumnya yang butuh cinta, kasih sayang, kelembutan dan perhatian. Bukan uang semata. Uang tidak pernah menjadi masalah bagi saya karena masing-masing dari kami membawa harta yang tidak sedikit ke dalam perkawinan.”

Kemudian dia bercerita bagaimana suaminya memperlakukannya sedemikan rupa, merendahkan martabatnya, termasuk menghinakannya secara seksual.

“Saya adalah pelacur bagi suami saya sendiri. Dan sebagai pelacur saya harus memuaskannya dengan cara bagaimanapun yang dia maui tanpa harus memandang aturan-sturan agama dan sosial, termasuk hobby dia menyertakan wanita lain dalam hubungan sex kami.” Saat itu si bos tidak bisa menahan tangisnya. Katanya lagi, “Saya terhina jika dia memperolok pelayanan seks saya di depan wanita lain di tengah-tengah aktivitas seks kami. Bagi saya yang memandang seks adalah kegiatan sangat pribadi, penyimpangan seksual suami saya sangat tidak bisa saya terima.”

Sampai akhirnya si bos memilih bercerai. Dia merasa tidak sanggup lagi bertahan setelah bertahun-tahun hidup dalam kekerasan dan penghinaan seksual. Tindakan bos pertama sesudah perceraiannya adalah memberhentikan hampir semua staff prianya tanpa alasan yang jelas. Dia hanya mempertahankan beberapa dari antaranya yang memang sangat dekat secara emosional, termasuk aku. Saya benci melihat banyak laki-laki di kantor saya, begitu alasannya.

Sementara aktivitasnya dalam kegiatan sosial, aku tidak tahu persis bagaimana asal-muasalnya. Yang aku tahu si bos makin jarang di kantor dan lebih sering berada di kantor lembaga swadaya masyarakat yang menyediakan layanan bantuan hukum bagi korban kekerasan rumah tangga dan kekerasan seksual baik di dalam maupun di luar perkawinan. Dia juga aktif dalam memperjuangkan hak-hak kaum transgender, meskipun dia menolak perkawinan sesama jenis.

Pada suatu kesempatan, si bos memberikan beberapa penjelasan yang hanya dia katakan padaku, tidak kepada siapapun bahkan kepada anggota keluarganya sekalipun. Dalam terminologi pidana, katanya, baik dalam hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam, pelanggaran terhadap peraturan adalah kejahatan. Karena itu perkawinan sesama jenis, dilihat dari hukum yang berlaku di Indonesia, menurut saya juga kejahatan karena di dalam undang-undang perkawinan, perkawinan dilangsungan antara pria dengan wanita, bukan antara pria atau antara wanita. Tetapi tentang cinta dan orientasi seks, bagaimana mungkin kita bisa menghakimi sebagai suatu kejahatan? Saya trauma dengan laki-laki dan saya menjadi benci. Ketika saya jatuh cinta kepada sesama wanita, saya bahagia dan saya mendapatkan ketenangan yang saya tidak pernah peroleh dari laki-laki, apa salah saya?

Aku tidak menjawab ataupun memberikan sanggahan. Aku hanya kebetulan seseorang yang bekerja dan menjadi staff di kantornya. Hanya memiliki pengetahuan tentang manajemen perusahaan dan tidak tahu menahu dalam persoalan hukum. Tapi aku berdoa dan terus mencari kesempatan agar pada satu saat ada jawaban atau sanggahan yang sepadan dan meyakinkan tentang pandangan dan orientasi seks si bos.

Dan kesempatanpun datang ketika salah satu lembaga swadaya masyarakat di Bandung mengundang bos menjadi pembicara dalam seminar tentang seks di luar perkawinan dan transgender yang juga menghadirkan para pembicara dari berbagai organisasi sosial dan keagamaan.

*****

Hari ini, Minggu malam di pertengahan bulan. Aku dan bos menginap di salah satu hotel di kawasan Setiabudi, Bandung. Kawasan ini menjadi salah satu kawasan favoritku setiap berkunjung ke Bandung. Entah daya magis apa yang selalu mengundang aku supaya harus menginap di sana. Mungkin karena aku suka surabi jadi selalu menyempatkan diri mampir ke warung surabi yang cukup terkenal di kawasan ini.

Pukul tujuh malam, ketika kami bersiap turun untuk makan, si bos berkata, “Sebentar lagi kita akan bertemu seseorang. Saya tidak mengatakan saya berpacaran dengannya. Tetapi saya mencintainya dan dia memberikan banyak pencerahan ketika hidup saya terpuruk pasca bercerai. Saya bertemu dengannya di kantor lembaga swadaya masyarakat tempat saya aktif, di mana dia sebagai salah satu pengurusnya. Saya tidak tahu apakah dia mencintai saya atau tidak. Yang jelas dia sangat baik, sayang dan perhatian ke saya. Dan yang pasti, sekali lagi, saya mencintainya.”

Aku belum selesai menarik nafas ketika si bos memperkenalkan aku kepada seorang perempuan cantik yang baru keluar dari lift. Aku sangat terkejut seperti halnya terkejutnya si wanita itu begitu melihat aku.

Dia sahabatku yang selama ini aku cari.

Ya Tuhan, kenapa jadi begini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun