Mohon tunggu...
Adhi Septian Nugroho
Adhi Septian Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - karyawan

perpajakan, ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Arah Pajak Karbon di Indonesia dan Tantangan Green Economy

3 Mei 2024   16:24 Diperbarui: 3 Mei 2024   16:34 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Beberapa tahun kemarin, seluruh dunia tanpa terkecuali Indonesia, dihadapkan pada serangan badai Covid-19. Tidak tanggung-tanggung, aspek ekonomi Indonesia luluh lantah dihantam badai ini. Tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar karena tidak dapat beroperasi. Selain itu, pemutusan hubungan kerja bagi karyawan juga marak terjadi. 

Indonesia kini sedang berupaya memulihkan perekonomiannya. Beberapa insentif fiskal diberikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Kini, ekonomi Indonesia sudah membaik, terutama di sektor pertambangan batu bara yang sedang booming, bahkan banyak sekali batu bara yang diekspor karena harga jualnya yang sangat tinggi di pasar luar negeri. Indonesia menjadi negara produsen batu bara terbesar di dunia. Meskipun demikian, pemerintah tetap membuat regulasi terhadap larangan ekspor untuk memenuhi pasokan energi di tanah air.

Meningkatnya usaha di sektor pertambangan di batu bara menimbulkan pertanyaan terkait sisi positif dan negatif sektor ini. Pertanyaan yang muncul adalah  mengenai dampak yang dihasilkan terhadap lingkungan. Proses pengambilan, pengolahan, dan penggunaan batu bara dipandang merusak lingkungan. Prosesnya juga mencemari air, tanah dan udara. Selain itu, pembakaran batu bara telah membuat suhu bumi semakin meningkat.

Tantangan selanjutnya adalah perubahan iklim yang menjadi perhatian serius di bumi. Isu keberlanjutan lingkungan menjadi topik yang tidak henti-hentinya dibahas. Emisi gas rumah kaca (GRK), yang faktor utamanya berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi dan menjadi penyebab utama perubahan iklim. Dalam konteks ini, pajak karbon muncul sebagai salah satu instrumen kebijakan yang dapat membantu mengurangi emisi GRK dan menjadi mitigasi bagi dampak perubahan iklim.

Karakteristik geografis dan demografis Indonesia membuat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Fenomena ancaman naiknya permukaan air laut, bencana alam yang semakin sering, dan perubahan pola musim dapat merugikan sektor pertanian. Selain itu, sektor energi dan industri di Indonesia memiliki kontribusi signifikan terhadap emisi GRK, menciptakan tantangan khusus dalam upaya mengurangi jejak karbon negara ini.

Perubahan iklim juga dapat memberikan dampak ekonomi yang substansial. Misalnya, hilangnya lahan pertanian akibat kenaikan permukaan air laut dapat mengancam ketahanan pangan, sedangkan bencana alam yang lebih sering dapat merusak infrastruktur dan mengganggu aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mengambil tindakan yang tepat guna mengurangi emisi GRK dan mempersiapkan diri menghadapi dampak perubahan iklim yang tidak dapat dihindari.

Dari dua hal tersebut, ada trade-off yang harus dipilih. Disinilah pemerintah perlu melakukan intervensi. Pemerintah mulai menerapkan konsep green economy untuk mengatasi hal ini. Green Economy berupa penerapan pajak karbon demi kelangsungan kehidupan yang lebih baik.

Mengutip pada laman pajak.go.id, Pajak karbon atau pajak emisi karbon (carbon tax) adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Bahan bakar hidrokarbon (termasuk minyak bumi, gas alam, dan batubara) mengandung unsur karbon yang akan menjadi karbondioksida (CO2) dan senyawa lainnya ketika dibakar. Sedangkan definisi menurut IBFD International Tax Glossary (2015), carbon tax adalah pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil.

Melansir laman Kementerian ESDM, Kamis, 24 Maret 2022, green economy atau ekonomi hijau adalah suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan. Indonesia memang perlu menumbuhkan ekonomi seoptimal mungkin namun tetap mengindahkan kondisi lingkungan yang akan diwariskan kepada generasi mendatang. 

Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah, dalam hal ini melalui Kementerian Keuangan adalah penerapan pajak karbon. Dengan melihat dampak negatif yang dihasilkan, Kementerian Keuangan sangat serius melihat issue ini. Penerapan ini dimaksudkan sebagai dukungan pada perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Indonesia turut hadir dalam menyikapi perubahan iklim di dunia.

Kementerian Keuangan telah membuat langkah yang baru terkait dukungan perubahan iklim. Dukungan tersebut dituangkan pada pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada 7 Oktober 2021, Pemerintah Bersama DPR menetapkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Salah satu yang diatur pada UU HPP adalah penerapan pajak karbon. Berdasarkan UU HPP, pajak karbon seharusnya mulai berlaku 1 April 2022. Namun, pelaksanaannya diundur karena mempertimbangkan situasi perekonomian global dan domestik. Hal ini tidak serta merta menyurutkan keseriusan pemerintah dalam upaya dukungan terhadap green economy.

Pemerintah masih menimbang dampak dalam aspek ekonomi Indonesia apabila pajak karbon ini diterapkan. Indonesia masih mengandalkan produksi batu bara dalam masa pemulihan pasca pandemi Covid-19 sehingga penerapan pajak karbon harus dilaksanakan dengan prudent. Dari sisi makro, implementasi pajak karbon akan mengakibatkan harga energi lebih tinggi. Efektivitas penerapannya bergantung pada besaran tarif yang dikenakan.

Mengutip laman https://www.ssas.co.id/, hasil simulasi dalam penyusunan Naskah Akademi RUU KUP menunjukkan bahwa pajak karbon menyebabkan tekanan negatif bagi perekonomian. Jika kebijakan tersebut dijalankan tanpa adanya aksi tindak lanjut atau follow-up action yang terukur, maka akan menimbulkan tekanan negatif terhadap semua variabel makro ekonomi. Hasil analisa menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB), konsumsi riil, dan tenaga kerja (employment) diprediksi akan menjadi lebih rendah. 

Prediksi keluaran (output) nasional akan tumbuh 0,06% lebih rendah dibandingkan kondisi normal atau business as usual (BAU) pada tahun 2022 meskipun penerapan pajak karbon dilakukan secara bertahap yakni US$ 3 per ton CO2e pada tahun 2022, US$ 6 per ton CO2e pada tahun 2023, US$ 12 per ton CO2e pada tahun 2024.

Di sisi lain, seiring dengan peningkatan tingkat pajak pada tahun 2023 dan 2024, jarak (gap) antara pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan pajak karbon diprediksi akan semakin lebar menjadi 0,12% dan 0,29% lebih rendah dibandingkan dengan kondisi BAU pada kedua tahun tersebut. Pada periode-periode selanjutnya, meski besaran pajak karbon dipertahankan tetap pada level US$ 12 per ton CO2e, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi tidak menghilang, bahkan diprediksi akan semakin besar.

Pada tahun 2030, ekonomi Indonesia kemungkinan akan tumbuh 0,58% lebih rendah dibandingkan kondisi BAU jika Indonesia menerapkan pajak karbon tanpa disertai follow-up actions. Sektor riil juga diprediksi akan mengalami dampak yang lebih besar, saat kebijakan pajak karbon diprediksi akan mengakibatkan konsumsi riil jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi BAU. Besaran konsumsi riil diprediksi akan 0,417% lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi BAU pada tahun 2022, dan gap tersebut terus melebar hingga mencapai 1,97% pada tahun 2030.

Dikutip dalam laman pajak.com, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan "Pelaksanaan perdagangan karbon yang juga akan dilakukan melalui bursa karbon mulai September 2023 ini harus ada mekanisme insentif dan disinsentif. Karena pajak karbon diperlukan juga untuk mengantisipasi CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism), yang akan diberlakukan di Eropa di tahun 2025. Eropa minta (penetapan bursa karbon) di tahun 2025." 

Selain itu, dikutip dalam laman yang sama Menteri Keuangan dalam acara Green Economy Forum menyatakan "Pajak karbon adalah bagian dari rencana panjang jangka menengah yang disusun untuk terus membawa ekonomi Indonesia ke arah ekonomi rendah karbon emisi. Pajak karbon sudah dituangkan dalam UU HPP dan kita telah mengamanatkan tarif pajak karbon minimal Rp 30 per kg CO2 ekuivalen. Penerapan akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Artinya, dampak positif diinginkan, tapi dampak negatif diperhatikan. Dengan begitu, perekonomian Indonesia mampu terus berlanjut dari sisi pertumbuhan, stabilitas, namun juga mampu melakukan transformasi."

Penerapan pajak karbon diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dan perekonomian Indonesia. Dari segi lingkungan, pajak karbon dapat membantu Indonesia dalam upaya pencapaian target nasional dalam RAN-GRK sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Selain itu, pajak karbon diyakini dapat mendorong penggunaan energi yang lebih bersih dan efisien, serta mengurangi ketergantungan penggunaan bahan bakar fosil. Pajak karbon juga dapat membantu Indonesia mencapai target net zero emission pada tahun 2060, yang sesuai dengan komitmen Indonesia dalam upaya global untuk menanggulangi perubahan iklim. Dengan mengurangi emisi karbon, Indonesia dapat melindungi keanekaragaman hayati, menjaga kesehatan masyarakat, dan mencegah bencana alam yang merupakan dampak dari pemanasan global.                  

Dari segi perekonomian, pajak karbon dapat meningkatkan pendapatan negara. Pendapatan negara tersebut dapat digunakan untuk mendanai program-program yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, seperti pengembangan energi baru terbarukan, rehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan keanekaragaman hayati, dan peningkatan ketahanan pangan.

Pajak karbon juga dapat berperan dalam pertumbuhan ekonomi hijau yang berkelanjutan, dengan meningkatkan daya saing dan inovasi di sektor energi. Lapangan kerja baru dan peningkatan kesejahteraan masyarakat juga menjadi harapan dari diterapkannya pajak karbon, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Terakhir, implementasi pajak karbon dapat memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam pasar karbon global, baik melalui mekanisme perdagangan karbon, maupun mekanisme kerja sama bilateral atau multilateral dengan negara-negara lain.

Meskipun pajak karbon memiliki dampak negatif seperti mengakibatkan harga energi yang lebih tinggi dan kesulitan dalam pengaturan, pengenaan pajak karbon di Indonesia masih diperlukan untuk mencapai target nasional dalam upaya mengurangi emisi karbon dan meningkatkan perekonomian negara. Dengan mengatasi dampak negatif, pemerintah dapat mengubah pengenaan pajak karbon menjadi alat yang efektif untuk mencapai tujuan pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatkan perekonomian negara.

Dalam implementasi pajak karbon di Indonesia, perlu diperhatikan beberapa hal seperti kebijakan pemerintah, keseimbangan hukum, dan koordinasi dengan pemangku kepentingan. Pemerintah harus memperhatikan dampak pajak karbon terhadap masyarakat dan sektor industri, serta memastikan bahwa pajak karbon diterapkan secara adil dan efektif. Selain itu, diperlukan koordinasi dengan pemangku kepentingan seperti sektor industri, masyarakat, dan lembaga pemerintah terkait untuk memastikan implementasi pajak karbon berjalan dengan baik.

And for the last, semoga Indonesia mampu membuat racikan yang pas untuk menyeimbangkan penerimaan negara dengan kondisi lingkungan. Jaya selalu, Indonesiaku! Pajak Kuat, Indonesia Maju!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun