Sudah jam lima lebih lima menit. Jika harus datang
menemui Alana sore ini aku telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan waktu hanyalah
buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang bahkan tak
diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.
Tak sampai sepuluh menit aku telah tiba di taman. Taman akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku kosong
di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit kami.
Aku duduk sendirian. Alana belum datang.
Alana bukan lagi kosong. Sore ini ia berubah wujud menjadi
teka-teki silang buatku. Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban. Apa
kabarnya? Apakah yang diinginkannya dariku sore ini? Masih kah wajahnya yang
tirus membius itu mampu memompa adrenalinku? Entahlah…
Sedetik, dua detik, semenit merambat satu jam. Alana belum
juga datang.
satu jam, dua jam, tiga jam. Alana belum juga hadir
melegakan penantianku.
Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin menua. Sudah
lima jam aku menunggu di bangku
taman ini. Sendiri.
Akhirnya aku berdiri. Berjalan menerobos gerimis.
Meninggalkan kosong, menuju pasti.
Walau malam gerimis…TO BE CONTINUED
(baca catatan alana 3 tamat.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H