Kiprah Tirto dirintis sejak awal abad 20. Perjuangannya lewat jalur jurnalistik dan berbagai organisasi pergerakan. Rakyat Hindia Belanda waktu itu disadarkan untuk berpikiran lebih maju. Sosok dan pemikirannya, bagi sejarah pers Indonesia dan pergerakan nasional inilah yang menjadi inspirasi lahirnya Tirto.id.
Di berbagai referensi Tirto Adhi Soerjo, ia adalah orang Indonesia pertama yang menerbitkan surat kabar yang ditulis, dimodali, serta dikelola oleh sendiri. Soenda Berita.
(mungkin) Tahun 1907, Tirto Adhi Soerjo mendirikan dan memimpin penerbitan koran lainnya, yaitu Medan Prijaji. Inilah surat kabar pertama di Indonesia yang menjalankan fungsi jurnalisme advokasi.
Kecintaan koran semakin menjadi-jadi. Bermula pertengahan 2013 silam, di Makassar. Saya mulai sering membeli koran (surat kabar) di langganan saya. Namanya, Sudarno.
Sama seperti perantau lain, Sudarno yang berasal dari Jawa juga mengawali perantauannya sejak tahun 2000. Alasannya lucu. Ketika sebagian besar daerah di Jawa belum stabil karena ulah Orde Baru. Ha ha ha...
Tidak sedikit cerita dari perantau memang dimodali dari rasa genting dan gelisahnya. Mereka berangkat, tidak peduli cukup uang apa tidak. Yang penting bisa bertahan besok. Besok dan besoknya lagi di daerah tujuan. Sulawesi, khususnya Makassar adalah pintu mengasikkan bagi masuknya perantau. Termasuk Sudarno.
Perkenalan saya dengan Sudarno memang tidak dalam. Itu pun terpaksa karena hanya lapak yang dijajakan paling dekat dengan kost tempat saya tinggal.
Minggu pagi itu, selepas sarapan pagi, saya singgah di lapaknya. Koran pertama yang saya cari, Fajar. Bukan tanpa alasan, lima hari lalu saya mengirim tulisan ke sana. Semacam cerita pendek.
Fajar memang menyediakan kolom khusus bagi orang yang mau menulis. Kebetulan kolom bagi puisi dan cerita pendek serta apresiasi terbit hari Minggu. Rubrik Budaya. Harganya cuman Rp 5.000 per eksemplar. Uang pecahan seribuan itu lalu saya berikan ke Sudarno. Sudarno kemudian memberikan saya koran.
Saya tidak lantas pulang ketika koran sudah saya raih. Hujan tiba-tiba turun. Terpaksa saya berteduh di samping lapak Sudarno. Karena mungkin kasihan, Sudarno mengajak saya masuk ke lapaknya, yang sependek ingatan saya hanya berukuran dua meter. Sempit sekali.
Menunggu hujan yang tidak kunjung reda saya mengisi waktu membuka setiap halaman koran. Maksud mencari tulisan saya. Dalam hati berkata "semoga terbit deh". Ah.. belum beruntung. Rupanya redaktur Fajar lebih memilih tulisan dosen UMI. Saya lupa namanya.