Kisah ini ditulis usai perayaan tahun baru, kemarin. Kalau diceritakan kira-kira seperti ini kisahnya:
Tak puas kalau hanya ada satu spot wisata di Desa Tondok Bakaru, Mamasa, warga di desa itu membuka spot lain. Yakni Hutan Pinus Lenong. Dibuka pertama kali sejak 1 Desember 2019, kini sudah dikunjungi ratusan ribu pengunjung.
Penghujung 2021 lalu, berawal informasi dari rekan seprofesi yang sudah berulang kali ke Desa Tondok Bakaru, penulis berkesempatan ikut merasakan keindahan alam di Kabupaten Mamasa, tepatnya di Desa Tondok Bakaru.
Ini merupakan kali pertama penulis datang ke Desa Tondok Bakaru, yang hanya berjarak kurang dari 20 menit dari pusat kota Mamasa. Aksesnya mudah dan cocok untuk semua jenis kendaraan.
Penulis sebenarnya sudah lama tahu soal keindahan di Desa Tondok Bakaru, terutama di hutan pinusnya itu. Tak sedikit orang membicarakannya. Informasi seputar desa itu juga sudah berseliweran di media sosial.
Berangkat dari Mamuju pukul 07.00 wita, penulis memilih jalur utara, menuju Desa Keang, Kecamatan Kalukku lalu melewati sebagian wilayah Kecamatan Bonehau. Kemudian putar haluan ke kanan menuju wilayah Kabupaten Mamasa, tepatnya di Kecamatan Tabulahan.
Karena saat itu masih suasana Natal, sepanjang jalan menuju Kota Mamasa, penulis menjumpai pohon-pohon natal yang terbuat dari bilahan bambu, dihias sederhana dan terpajang di pekarangan rumah warga. Semua gereja juga masih sibuk menerima jemaat yang masih terus berdatangan.
Oh iya, sampai lupa, penulis ditemani rekan sewaktu kuliah di Makassar, dulu. Namanya Andi Abrianto. Ia memang datang khusus dari Makassar ke Mamuju agar bisa ke Mamasa. "Kalau lihat google maps, kota Mamasa tinggal kurang dari 35 kilometer lagi," kata Abri kepada penulis, di sela-sela istirahat di Desa Mambi, Kecamatan Mambi, Jumat 31 Desember.
Sepanjang perjalanan itu, Desa Mambi menjadi pilihan beristirahat. Di sana ada masjid besar dan megah yang dibangun Pemprov Sulbar. Pengerjaannya sudah hampir rampung.
Kurang lebih satu jam rehat dari penat. Perjalanan dilanjutkan kembali. Tak lama meninggalkan Kecamatan Mambi, penulis lalu memasuki wilayah Kecamatan Rantebulahan.
Di sepanjang wilayah itu, kondisi jalan tak lagi bersahabat. Meski tengah dalam proses pengerjaan pengerasan dan pelebaran jalan, beberapa titik kondisinya masih sangat parah. Berbatu dan di titik lain digenangi lumpur.
Kecepatan rata-rata sepeda motor harus turun hingga 15-25 Kilometer (Km) per jam. Kondisi jalan seperti itu banyak menyita waktu, menguras tenaga dan tentu menyesakkan. Butuh satu jam melewatinya, padahal jaraknya hanya 15 Km.
Tapi kelelahan itu terbayarkan sesaat memasuki gerbang selamat datang di Kota Mamasa. Daerah yang dijuluki Bumi Kondo Sapata, itu, terkenal dengan kekayaan alam dan budayanya. Tapi tunggu dulu, tujuan utama bukan kota Mamasa, melainkan Desa Tondok Bakaru. Jaraknya cukup dekat, kurang dari 20 menit.
Petunjuk arah cukup lengkap. Memudahkan penulis sampai ke tujuan. Semakin menarik karena agar sampai ke desa itu, penulis melewati sungai dan hamparan sawah yang hijau dan eksotis. Penulis merekam baik setiap senti perjalanan menggunakan motor selama kurang lebih lima jam dari Mamuju.
"Akhirnya sampai. Tadi yang cantik itu hamparan sawahnya, yang kita lewati. Sekarang hutan pinusnya yang mirip dengan di Malino, Sulsel. Tapi ini pohonnya masih muda, masih segar," sahut Abri, saat hendak membayar retribusi masuk.
Setelah membayar uang masuk sebesar Rp 3 ribu per orang, penulis kemudian masuk di kawasan hutan pinus. Satu per satu pohon mulai dilewati. Pohon-pohonnya cukup lebat dan menjulang tinggi ke cakrawala.
Hamparan sawah yang amat luas terlihat dari atas bukit tempat pohon pinus berjejeran rapi. Udara dingin cukup menembus pori-pori. Membuat penulis seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Sangat bersemangat.
Sama halnya dengan pengunjung lain, penulis juga tak mau ketinggalan mengabadikan momen di beberapa spot yang telah disediakan. Kebetulan waktu itu lagi ramai. Rekan dari Mamuju juga ada di sana.
"Sudah pernah ke Mamasa, tapi ini baru pertama kali juga ke Tondok Bakaru. Cantik, cocok untuk liburan keluarga, apalagi di bawah tadi banyak bunga-bunga," kata seorang pengunjung, yang dari Polman.
Pengelola Hutan Pinus Lenong, di Desa Tondok Bakaru, Samuel bahkan menyebutkan, sejak dibuka untuk umum Hutan Pinus Lenong sudah dikunjungi sekira 100 ribu orang. "Bahkan untuk Desember 2021 sampai sekarang, pengunjung yang tercatat itu sudah mencapai 12 ribu lebih pengunjung," sebut Samuel.
Pengunjung, kata Samuel, datang dari berbagai wilayah di luar Mamasa. Bahkan, ada dari Jawa langsung ke Desa Tondok Bakaru, untuk menikmati hutan pinus seluas 2 hektar, itu.
"Sebenarnya luasnya itu 4 hektar. Hanya saja, yang dimaksimalkan pemanfaatannya sekarang itu baru 2 hektar. Rencana Februari 2022 sudah maksimal semua lokasinya dan akan mengusung konsep cafe alam," beber Samuel.
Hutan pinus sendiri dikelola warga sekitar, tapi tetap dikontrol dan dipromosikan oleh Badan Usaha Milik Desa (BumDes) dan Pemerintah Desa (Pemdes).
Menurut Samuel, ide pengelolaan hutan pinus muncul karena melihat potensi wisata di Desa Tondok Bakaru. Sebab, sebelum hutan pinus dibuka, desa tersebut sudah dikenal dengan tanaman Anggreknya. Belum lagi, sudah ada spot-spot wisata lain.
Sehingga muncul ide awal membuat sebuah kawasan wisata baru yaitu Hutan Pinus Lenong, dengan harapan semakin banyak wisatawan yang masuk di Tondok Bakaru. Sehingga bisa membantu meningkatkan perekonomian di desa.
"Ide sendiri muncul dari pemilik lokasi dan sebagian masyarakat Tondok Bakaru lewat BumDes melihat potensi alam yang dimiliki Tondok Bakaru. Saat ini sudah ada dukungan dari BI (bank Indonesia, red), Pemkab Mamasa dan Pemprov Sulbar," bebernya.
Ketua Bumdes Tondok Bakaru, Andarias Sambokaraeng juga menyebut, sejak anggrek mulai dipelihara di Desa Tondok Bakaru pada 2016, silam, BumDes kemudian membuat brand Kampung Natal di Hutan Pinus Lenong dan berhasil menarik ribuan wisatawan selama tiga tahun.
"Kawasan itu dikelola langsung pemiliknya. BumDes hanya menarik retribusi di pintu masuk. Namun, karena pandemi retribusi tidak selalu dipungut. Kadang dipungut kadang tidak. Jadi PADes dari wisata sekitar Rp 10 juta tapi transaksi pelaku wisata mencapai Rp 1 miliar lebih per tahun dan aset BumDes Tondok Bakaru sudah mencapai Rp 700 juta," tutur Andarias.
BumDes juga memberi dukungan dana ke spot wisata dan pembudidaya tanaman hias sebagai dukungan keberlanjutan ekonomi desa. Tahun 2022 BumDes sudah menyediakan homestay atau penginapan dan tempat rapat dan pelatihan.
Andarias mengaku, Desa Tondok Bakaru merupakan dewa wisata berkelanjutan yang dicanangkan oleh Pemprov Sulbar. Tahun 2022 ini bakal ada dua event besar.
"Salah satunya adalah festival desa dengan multi kegiatan yang pertama kali dilaksanakan. Harapannya kita bisa menarik lebih banyak wisatawan. Kita berharap kolaborasi secara masif terus dilakukan di desa ini," terang Andarias.
Tak terasa waktu itu sudah menunjukkan pukul 16.00 wita. Sudah waktunya penulis meninggalkan Desa Tondok Bakaru. Jika tak ada aral melintang, kelak bakal kembali lagi.
Bagi penulis, tak ada kata yang tepat menggambarkan keindahan Tondok Bakaru. Kalau harus membuat sepuluh daftar lokasi destinasi wisata paling keren di Sulawesi, sudah barang tentu penulis bakal memasukkan Desa Tondok Bakaru, ke dalam satu di antaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H