Mohon tunggu...
Adhe Junaedi Sholat
Adhe Junaedi Sholat Mohon Tunggu... Buruh - Memahamimu. Memahamiku

Catatan pendek dari pikiran panjang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Salahkan kalau Peneliti Tak Lagi Peduli

6 Februari 2022   18:35 Diperbarui: 6 Februari 2022   19:38 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri ini sudah barang tentu ketika ada pihak yang tak setuju, lantas dengan gagah mengecam dan mengutuk atas apa yang sudah kamu tulis. Tidak masalah kalau pun mereka juga sudah berbuat sesuatu. Kalau belum?

(Persis ketika ada penyanyi yang sedih habis-habisan lantaran dihujat karena suaranya dikatakan jelek dari orang yang sama sekali tak tahu nada dan teknik bernyanyi)

Kebiasaan tidak mencerna tulisan dengan baik mestinya tidak terus-menerus diwariskan. Penulis khawatir, generasi-generasi saat ini tidak akan berani lagi menulis. Tidak lagi berani melakukan penelitian. Tidak lagi berani mengungkap fakta yang tersembunyi di balik topeng kesucian.

Ketika melakukan hal itu mereka harus berpikir dua kali, tiga kali bahkan berkali-kali hingga sampai di titik tidak sama sekali. Padahal semestinya negara harus menjadi tameng. (Meski hakikatnya tak perlu karena mereka yang menulis, mereka yang melakukan penelitian, karyanya tak layak dikebiri).

Negara yang katanya demokrasi ini harusnya lebih terbiasa menerima hal-hal baru, bahwa di sekitar kita ada sesuatu yang tak bisa dimenafikan. Bagaimana pun rendang disimpan, aromanya akan terus menendang. Kita mungkin bisa saja membohongi orang lain, tapi mana bisa membohongi diri sendiri.

Kita seharusnya tidak selalu merasa lebih baik dari siapa pun.  Syukur-syukur kalau memang kita lebih baik, kalau toh nyatanya tidak, ya brabeee.

Merekalah yang bagi penulis harus dijaga dan terus diperbanyak. Bukan mereka yang keinginan menyempurnakan penampilannya lebih diprioritaskan dibanding keinginan meng-upgrade pola pikirnya.

Ada banyak sebenarnya orang-orang hebat yang justru "tidak" diinginkan daerah ini. Maka tak heran kalau mereka tersingkir di kampungnya sendiri dan memilih berkiprah di daerah yang lebih menghargai pikiran mereka.
 
Pola seperti ini mestinya dibalik penuh. Mereka harus diberi ruang seutuhnya agar dapat menyelesaiakan persoalan yang kerap dilakukan kita sendiri. Mestinya kita tidak memperlakukan mereka sebagai beban atau saingan, agar kita tidak menjadi penonton di daerah sendiri. Daerah yang tak henti-hentinya kedatangan orang-orang pintar dari berbagai daerah.

Tentu kita mau daerah ini dihuni orang-orang yang menganggap intelektual adalah jalan alternatif memberangus orang-orang sok tahu, sok suci, serakah, koruptor dan sifat-sifat buruk lainnya. Itu baik, tidak hanya bagi kemaslahatan umat, tapi juga baik bagi daerah.

Namun, bagaimana itu bisa terjadi ketika kita masih berbuat sesuatu di luar nalar sekali pun? Menolak tulisan dari hasil penelitian orang, misalnya.

Kita harus tahu bahwa tulisan, terlebih itu sebuah hasil penelitian membutuhkan proses panjang dan berliku serta biaya yang tidak murah. Itu pun tidak akan bisa dijalankan, kalau penulisnya sendiri tidak memiliki kepekaan sosial, rasa empati dan kepedulian terhadap persoalan yang terus-menerus dipertontonkan selama ini. Semua alasan itu, mereka memilih mengambil risiko yang lebih buruk dari yang dibayangkannya. Semua demi masa depan yang lebih baik.

Tapi, kemudian kita datang dan mengatakan dengan entengnya bahwa "Itu bohong. Tidak mungkin seperti itu. Ini mencemarkan nama baik".

Tapi apa mau dikata, terkadang situasi seperti ini orang-orang cenderung bertindak berdasarkan naluri dan isi hati yang sudah tak jernih. Penuh kepanikan dan keresahan. Lebih memilih mengenyampingkan buah pikiran atas ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Akibatnya, bagaimana pun suatu penjelasan tidak ada gunanya.

Penulis sepakat jika situasi apa pun manusia harus bertindak cepat untuk menyelamatkan diri. Namun, nalar yang baik adalah pilihan bagi manusia untuk meminimalisir dampak terburuk.

Dan akhirnya, sampailah kita di dunia yang di mana, makna hoaks sudah bergeser dari ruh aslinya. Tak lagi soal benar atau salah. Lebih pada: apakah itu menguntungkan atau merugikan.

Hujatan kita kepada anak-anak muda yang mencoba mengungkap fakta bahwa tidak ada hal yang menyimpang dari perbuatan manusia yang terlahir di kampung suci melalui tulisan hasil penelitiannya, juga lebih parah dibanding sikap kita yang tidak memandang perilaku korupsi sebagai sesuatu kejahatan luar biasa. Padahal, penulis percaya, segala persoalan yang timbul di negara ini, bermula dari korupsi.

Koruptor, bagaimana pun vonis yang diberikan, mereka tetap tak dimusuhi masyarakat, terutama yang ngotot menganggap koruptor itu tak bersalah. Legitimasi etis dan moralnya sebagai seorang pejabat (kalau pun itu pejabat) juga tak lantas runtuh.

Koruptor tetap memperoleh privilege secara sosial dan politis. Masih bisa menghadiri acara-acara yang bersifat kepublikan. Tak heran, budaya korupsi tak bisa putus. Negara dan warganya sendiri masih menganggap praktik korupsi bukan kejahatan luar biasa.

Oh, tapi tunggu dulu, tulisan ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Seluruh alinea yang tersaji tidak untuk menyinggung siapa-siapa. Murni diperuntukkan kepada penulis sendiri agar bisa memperlakukan orang  sebaik mungkin.

Tulisan seperti ini saja, penulis takut. Semua isi kepala yang seharusnya tercurahkan di sini, penulis tarik kembali sesaat sebelum diunggah. Penulis pikir, lebih baik disimpan sendiri dari pada berakhir di laporan polisi. Padahal, kalau segala sesuatu dibicarakan baik-baik dan tidak mengedepankan emosi belaka, bukankah itu lebih baik dan bijak?

Mamuju, 6 Februari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun