Manusia adalah makhluk bergerak. Sejatinya bergerak, manusia tidak puas berada di satu titik. Manusia berpindah-pindah. Pilihannya dua, mau maju atau menetap. Tetap berada di tempat, sama saja mundur. Dunia semakin pesat. Pengetahuan semakin terbuka.
Manusia juga mesti mengekspresikan apa yang dirasakannya. Bukankah mengungkapkan perasaan berkaitan dengan kesehatan?
Seperti artikel yang ditulis Arinda Veratamala, di artikel itu dia menulis jika pernah ada penelitian yang dikerja selama 12 tahun. Penelitian itu menyebut orang yang sering memendam perasaannya memiliki kemungkinan mati muda. Tiga kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang terbiasa mengekspresikan perasaannya.
Penelitian itu diterbitkan Journal of Psychosomatic Research, yang menemukan bahwa memendam emosi dapat meningkatkan risiko kematian karena penyakit jantung dan juga kanker (Chapman, et al, 2013).
Penelitian itu juga turut membuktikan penelitian sebelumnya yang menghubungkan antara emosi negatif. Seperti marah, cemas dan depresi dengan pengembangan dari penyakit jantung (Kubzansky dan Kawachi, 2000).
Karena saya bergerak dan takut mati. Saya mau mengekspresikan apa yang saya rasakan. Cara paling mudah menurut saya, melalui tulisan.
Tulisan, dewasa ini, bukan hal yang asing lagi. Banyak media bisa dimanfaatkan. Dari yang tua seperti surat kabar atau yang muda-muda, media digital.
Sayangnya, wadah itu tak berbanding lurus dengan kemampuan seseorang bisa menulis. Seperti saya ini. Mau bisa menulis namun tak bisa-bisa. Alasan saya, tidak punya fasilitasi mumpuni. Tapi saya juga melihat bagaimana orang-orang tetap tidak bisa menulis meski pun memiliki fasilitas itu.
Dari itu, kemudian saya berpikir. Selalu ada yang lebih mahal dari barang-barang mahal. Semahal apa pun arloji yang dimiliki, toh tak bisa juga membeli waktu.
Punya gawai atau tidak. Mahal atau tidak, ternyata tak menjamin kemampuan bisa menulis. Media juga, contohnya. Semakin banyak media, semakin saya masih kesulitan menulis. Barangkali kurang ide. Tapi, bagaimana Soekarno, WS Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Subagio Sastrowardoyo, Chairil Anwar, Wiji Tukul dan masih banyak lagi, tetap bisa mendapat ide meski dikungkung bangsa sendiri.
Barangkali, saya bukan alumni sastra. Tidak pernah berkenalan dengan sastra. Lalu, bagaimana dengan ribuan alumni sastra? Bukannya hanya sebagian dari mereka bisa menerbitkan karya tulis. Â Andrea Hirata bukan alumni sastra. Eka Kurniawan dan Puthut EA malah jurusan Filsafat. Jurusan paling ngeh saat ini.
Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan, tidak pernah ada yang bilang bahwa mahasiswa sastra jadi sastrawan. Karena, sebenarnya, kuliah di jurusan sastra hanya belajar tata bahasa, tata buku dan sejarah buku. Sastrawan tidak harus lahir dari sastra.
Sapardi Djoko Damono, setahu saya menjadi sastrawan karena sebelum kuliah di jurusan sastra, ia sudah menulis. WS Rendra sudah menulis sejak SMP. Chairil Anwar hanya lulusan SMP, namun menjadi sastrawan terkenal.
Lalu, bagaimana dengan saya? Ya satu-satunya agar bisa menulis rupanya dengan menulis dan membaca. Bagaimana bisa menulis kalau tak membaca. Tegur saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H