Mohon tunggu...
Adhe Ismail Ananda
Adhe Ismail Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

 من عرف نفسه فقد عرف ربه

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kewenangan Badan Peradilan dalam Sengketa Proses Pemilu

9 Maret 2023   20:56 Diperbarui: 9 Maret 2023   20:59 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyelenggaraan negara secara demokrasi pengimplementasiannya dibutuhkan sesuatu yang lazim disebut Pemilihan Umum (Pemilu) terlebih dalam pemerintahan perwakilan. Hal itu disebabkan wewenang pemerintahan hanya diperoleh atas persetujuan dari yang diperintah (rakyat). Pemilu demokratis bukan hanya sekedar lambang, namun pemilihan yang kompetitif, berkala, inklusif dan definitif. Legalitas keterlibatan rakyat dalam mensukseskan pesta demokrasi di Indonesia, sebagaimana diatur oleh Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Di dalam Negara demokrasi ini pemilu merupakan aspek utama untuk terus diselenggarakan. Melalui proses pemilu ini, kita sebagai warga dapat berpartisipasi secara langsung melakukan proses kedaulatan, tetapi saat ini isu yang gencar ditengah masyarakat yaitu pernyataan para elit politik terkait penundaan Pemilu 2024. 

Adanya penundaan pemilu ini menyebabkan terhambatnya partisipasi rakyat untuk melakukan proses kedaulatan. Isu penundaan pemilu akhir-akhir ini terus digaungkan oleh sejumlah kalangan elit politik. Wacana ini menimbulkan pro dan kontra bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Namun, yang paling menimbulkan kontra adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Pusat No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang menyatakan tahapan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 yang sudah berjalan harus dihentikan dan diulang dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. 

Seperti diketahui, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu menghukum KPU untuk menunda pemilu. Partai Prima merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Sebab, akibat verifikasi KPU tersebut, Partai Prima dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual. Padahalsetelah dipelajari dan dicermati oleh Partai Prima, jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS, ternyata juga dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan. Partai Prima juga menyebutkan KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi yang menyebabkan keanggotannya dinyatakan TMS di 22 provinsi. Akibat dari kesalahan dan ketidaktelitian KPU, Partai Prima mengaku mengalami kerugian imateriil yang mempengaruhi anggotanya di seluruh Indonesia. Karena itu, Partai Prima pun meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan. 

Sehingga dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut banyak pakar berpendapat bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan gugatan Partai PRIMA, perintah penundaan pemilu tidak berdasar hukum, putusan yang tidak memenuhi nilai-nilai yang mestinya tercantum dalam produk hukum, hingga disinyalir menjadi agenda politik sejumlah pihak. Adagium hukum yang menyebutkan Res Judicata Pro Veritate Habetur "putusan hakim harus dianggap benar" tentu menjadi sulit diimplementasikan dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebab, hasil akhir persidangan ini telah merobek rasa keadilan masyarakat dan merusak tatanan hukum di Indonesia .

Dalam kasus Partai PRIMA menyoal dua produk hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Berita Acara tentang Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu yang menjadikan calon peserta Pemilu tersebut gagal melewati tahapan verifikasi administrasi. Jika dilihat dari Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam pasal 466 "sengketa proses pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar-Peserta Pemilu dan Sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelengara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota". Sehingga dalam kasus Partai PRIMA masuk kedalam Sengketa Proses Pemilu. Dan dalam kewenangan mengadili dilihat dari pasal 468 ayat (1) "Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa proses Pemilu" selanjutnya pada pasal 469 ayat (2) "dalam hal penyelesaian sengketa proses Pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)." Dan juga pada pasal 471 ayat (7) "putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Negara bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain". Dari objek sengketa yang diajukan oleh Partai PRIMA Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan dalam mengadili atas landasan Undang-Undang No.7 tahun 2017 yang dimana sengketa proses Pemilu diajukan ke Bawaslu atau ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Dalam PERMA no. 2 tahun 2019 pada pasal 10 "Pada saat Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku, Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang diajukan ke Pengadilan Negeri tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan berlaku peraturan perundang-undangan". Dan pada pasal 11 Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Negeri harus menyatakan tidak berwenang mengadili. Dari PERMA tersebut maka putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat batal demi hukum karena telah merubah yuridiksi Pengadilan Negeri dalam penanganan perkara perbuatan melanggar hukum. 

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sama sekali tidak memenuhi nilai-nilai yang mestinya tercantum dalam produk hukum. Seperti keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Misalnya, untuk keadilan, putusan tersebut telah mengorbankan semua pihak, mulai dari penyelenggara, peserta partai politik lain, dan masyarakat. Sedangkan nilai kepastian, majelis hakim justru mengaburkan ketentuan yang harusnya sudah jelas di dalam konstitusi berkaitan dengan masa waktu pemilu. Lalu, pada aspek kemanfaatan, secara sederhana, tidak ada manfaat positif untuk menghentikan seluruh tahapan dan menundanya hingga 2 tahun 4 bulan 7 hari. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berupaya mengingkari keinginan masyarakat untuk melaksanakan pemilu pada Februari tahun 2024 mendatang. Buktinya, hasil sejumlah survei seperti Charta Politica pada November 2022, Indikator Politik Indonesia pada Desember 2021, dan Litbang Kompas pada Maret 2022 respondennya menginginkan pemilu tepat waktu Februari 2024 di atas angka 60 persen

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun