Mohon tunggu...
Muhammad Farid
Muhammad Farid Mohon Tunggu... Relawan - Pegiat Literasi

Relawan dan Pegiat Literasi; Founder: Perpustakaan Berjalan Kaohsiung; Author: Ruang Kontemplasi (2017); e-mail: adhefarid@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis, Transformasi Ide Sederhana "Menembus Ruang dan Waktu"

9 Februari 2016   18:39 Diperbarui: 9 Februari 2016   19:10 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Warung kopi seolah tak pernah berhenti menjadi ruang-ruang pencerahan. Malam itu diskusi ringan kembali hadir di salah satu warung kopi Jl Urip Sumiharjo, memanfaatkan transit seorang kawan berprestasi dalam penulisan jurnal internasional. Tiba-tiba seorang kawan bertanya, "bagaimana caranya agar tulisan kita bisa menembus headline di kompasiana?".

Seorang kawanpun menjelaskan kiat-kiatnya, salah satu poin pentingnya kita harus memperhatikan isu-isu yang lagi trend di masyarakat. Di akhir diskusi tersebut, menulislah dengan enjoy tanpa harus berpikir masuk headline atau apapun. Biarlah mengalir alamiah, biarlah pembaca nanti yang menilai tulisan kita.

Selanjutnya, kami berkunjung ke rumah seorang Kakak yang saat itu masih berduka. Ibunda tercintanya meninggal, kami hadir untuk berbagi duka dan berempati. Yang membuat saya terkejut dalam diskusi di rumah duka. Seorang lelaki bertanya tentang tulisan saya di kompasiana. Ternyata, ada seorang kawan yang membaca dan memperhatikan tulisan saya. Kami biasanya menyapa beliau abang. Beliau memberikan komentar terhadap artikel saya di kompasiana.

Abang adalah seorang jurnalis dan penulis, telah banyak karya yang dihasilkan oleh beliau. Salah satu  prestasinya sebagai Winner in writing contest by Indonesia Stock Exchange tahun 2013. Saya sangat beruntung malam itu, mendapatkan pencerahan tentang bagaimana menulis yang baik. Mulai dari memilih judul yang baik, diksi, sharing tentang cerpen karya beliau yang belum naik cetak, hingga konsultasi bagaimana kelak saya ingin membuat novel.

Malam makin larut, namun mendengarkan ulasan Abang serasa ingin tetap berlama-lama di rumah duka. Betapa dunia sastra sangatlah menarik untuk digeluti, walaupun sadar bahwa memulainya hari ini tidaklah mudah karena terlanjur menggeluti bidang yang lain. Belajar tidak memandang waktu atau usia yang ingin menggelutinya. Terkadang justru yang menjadi kendala, status sosial ataupun gelar-gelar yang melekat pada diri kita. Merasa kurang pantas bila harus kembali belajar, apatah lagi bila memulai dari nol.

Saat itu saya lantas berpikir, cerpen yang diberikan masukan oleh abang, saya tulis saat transit di kuala lumpur, beberapa kompasianer memberi komentar yang berasal dari beberapa kota di Indonesia. Yang menakjubkan bertemu langsung dengan seseorang yang berminat membaca tulisan saya, dan berdiskusi dengan penuh keakraban. Beliau memberikan apresiasi dan kritikan terhadap cerpen yang saya tulis.

Menulis telah mentransformasikan ide. Tidak hanya di dalam alam pikiran, namun juga dinikmati oleh pembaca. Andai ide itu hanya terbatas bermain-main di alam pikiran saja, hanyalah menjadi komsumsi seorang diri, tentunya tidak pernah ada yang membaca, memberikan apresiasi, kritikan, dan saran. Kemajuan IT dan pemanfaatan media sosial, telah megakselerasi ide yang sederhana sekalipun, menembus ruang dan waktu. Menampilkan beragam perspektif, pro dan kontra, namun tetap dalam bingkai intelektualitas.

Selain menginspirasi, menulis juga kerap menjadi penjara bagi yang ingin menulis. Bila memulai, selalu dihinggapi kekhawatiran atau takut bila tulisannya kurang menarik bagi pembaca. Selalu berasumsi, apa yang nanti orang pikirkan bila membaca tulisan saya, padahal saya ini sudah bergelar ini atau itu. Semakin lama terus dalam pikiran tersebut, maka semakin terpenjara, dan tidak ada tulisan yang akan terpublish.

Di akhir diskusi dengan abang, beliau merekomdasikan membaca sebuah buku karya Marion Van Horne berjudul "Write The Vision". Abang mengungkapkan, salah satu contoh kasus dalam buku tersebut. Seorang gadis berusia 14 tahun menulis sebuah novel yang mengisahkan tentang ayah angkatnya dan bisnis kurmanya. Gadis tersebut mampu menuliskan novelnya dengan menarik, setelah membaca buku tersebut. 

Terima kasih abang, atas pencerahannya malam itu. Insya Allah, semoga sesampai di Kaohsiung bisa mengakses dan membaca buku tersebut. Di lain waktu, online atau di warung kopi kita lanjutkan diskusinya. Contoh kasus lainnya di buku itu atau sharing karya sastra lainnya.

 

Gowa, 9-2-2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun