Mohon tunggu...
Adhe Unyu
Adhe Unyu Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

As simple as me Menyukai musik Ibu dari satu anak yang luar biasa😘😘

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kita Yang Tidak Mencintai Rupiah

10 Oktober 2015   09:06 Diperbarui: 12 Oktober 2015   08:38 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu yang lalu ramai tentang menguatnya mata uang Amerika terhadap Rupiah, hari ini Rp.13.453(beli) diambil dari kursDollar.net per tanggal 9 Oktober. Apa urusannya dengan Saya yang seorang ibu rumah tangga? Untuk urusan dapur mungkin tidak walaupun semua bahan-bahan sandang pangan ikutan meroket lah Saya kan belanjanya tetap pake Rupiah.

Hal ini hanya berpengaruh pada usaha jasa yang Saya miliki (warnet), usaha ini sudah 5 tahun lebih berjalan tentu sudah mulai ada komponen-komponen yang rusak dari Komputer di warnet. Biasanya dalam 1 Komputer sudah mulai ada yang error-error dikit ataupun mati total, tentu harus diganti bukan? Dan semua transaksi untuk pembelian Spare Part Komputer itu menggunakan Dollar. Entah kapan mulainya pembayaran dengan Dollar..(Saya pernah bekerja di Supplier Spare Part Computer terbesar di Jakarta selama 10 tahun dan sejak tahun 2000 itu sudah pakai Dollar setiap kali transaksi). Beberapa toko kecil di Mangga Dua dan Harco memang ada yang pakai Rupiah tapi tinggi karena hitung rate Dollarnya, jatuhnya akan lebih murah kalau bayar dengan Dollar.

Tapi bukan soal Dollar yang mau Saya bahas, ini soal uang receh atau koin yang sangat diremehkan oleh sebagian dari kita masyarakat Indonesia. Sering ga sih kita menjumpai uang koin pecahan Rp.100 atau Rp.200 bergelimpangan di jalan-jalan raya seperti korban kecelekaan lalu lintas? Dan itu dibiarkan saja seolah-olah bukan uang, kadang sudah sampai gepeng entah terlindas berapa ratus kali, ada juga yang sudah tertempel pada aspal hot mix..(kayanya negeri ini).

Usaha warnet ini kebanyakan memang penggunanya anak-anak, tetapi di tempat Saya rata alias semua umur ada bahkan yang opa-opa pun ada. Saya tidak mungkin menolak jika ada anak –anak yang membayar dengan uang koin..kan memang alat sah pembayaran. Saya menetapkan setiap hari Jumat untuk menabung hasil dari pemasukan warnet setiap harinya, Di awal-awal tahun pertama memang agak membludak jumlah uang koin ini mulai dari yang Rp.500,Rp.200 dan Rp.100. Tapi Saya tetap setorkan koin yang Rp.500 tentunya sudah saya susun lalu rekatkan dengan isolatip berjumlah Rp.5000 jadi pihak Bank(swasta) mudah menghitungnya, Bank ini sering antri panjang lama-lama Saya tidak enak hati sendiri terhadap antrian lain karena biasanya lama kalo giliran Saya kan duitnya receh hehehe..tak ada kamus malu hanya kesadaran diri sendiri saja. Terkadang Saya setorkan juga pada Bank ber plat merah, awal-awal sih diterima tapi lama-lama suka bilang kalau stock uang receh mereka banyak..yo wis lah gapapa.

Tahun 2012 tidak Saya setorkan lagi uang koin tersebut dibiarkan saja dalam wadah toples sampai penuh, sesekali ada yang tukar untuk saweran pernikahan, atau tukang ayam goreng kaki lima(fried chiken) dekat rumah..tetap berguna.

Otak Saya sebenarnya tidak berhenti berpikir mau dikemanakan uang koin tersebut…satu waktu Saya ke pasar tradisional dekat rumah dan masuk ke agen atau distributor makanan ringan khas jajanan anak-anak gitu, Saya lihat bosnya sedang menghitung uang receh dari seorang perempuan mungkin pembeli, Saya tanya itu bayarnya pakai koin? Iya jawab si bos..kalau mbak nya punya bawa aja ahh gayung bersambut..cocok ini pikir Saya, cuzz besoknya Saya bawa dengan total Rp.100.000 dari pecahan koin Rp.100 dan Rp.200, eh beneran dia mau terima tapi Saya meminta barang saja ini rasanya lebih fair. Kebetulan di warnet memang ada jual makanan kecil tapi bukan milik Saya, milik orang lain yang menitip di tempat Saya, sengaja Saya tidak buat sendiri untuk memberdayakan ibu-ibu sekitar. “Sekarung” bakso goreng pedas Saya bawa dengan tukaran uang koin tadi untuk dijual di warnet..walah laku keras karena memang murah hanya Rp.500 trus pedas gitu. Beberapa kali Saya bolak-balik menjadi pelanggan barunya agen tersebut.

Rasanya ada yang tidak enak dihati Saya ketika si bakso goreng tadi laku keras, ini kan bukan tujuan saya. Saya stop menukar uang koin tadi dari si agen, anak-anak bertanya kenapa ga jual basreng lagi..Saya jawab ke mereka bahwa basreng itu dibuat di pabrik, Tante(sebutan anak-anak untuk Saya) tidak tau kebersihannya.

Tahun 2014 Saya berpikir kembali, bahwa sebenarnya Minimarket lah tempat aman dan cocok untuk menukar uang koin tersebut..yup Saya mulai datang ke Alfamart dan Indomaret terdekat dari rumah. Saya utarakan ke mereka bahwa Saya punya stock uang koin dan jawaban mereka seperti bertemu air di gurun sahara hehehehe. Hohohoho lihatlah memang benar ya banyak jalan menuju Roma. Saya kumpulkan kembali uang koin-koin tersebut dengan rapih wihhh ada Rp250.000 loch ga kebayang kan? Sekarang ada 2 toko langganan yang sudah menjadi partner Saya dalam urusan uang koin ini dan 1 kantin besar di sebuah Kementrian bergengsi (khusus uang Rp.500 dan Rp.1000). Alhamdulillah tak ada lagi masalah uang koin yang menumpuk malah kadang Saya kewalahan atas permintaan mereka. Kalau sudah kewalahan biasanya Saya minta ke orang-orang kalau ada uang recehan boleh tukar ke Saya istilahnya pengepul kali ya? Hihihihihi, bahkan ibu Sayapun ikutan mengumpulkan koin-koin sisa belanjanya untuk ditukarkan ke Saya.

Mengapa orang-orang begitu meremehkan uang koin ini? Dimana tu slogan Cinta Rupiah yang dulu didengung-dengungkan pada tahun 1998 ketika ekonomi kita sangat terpuruk? Apa Rupiah itu hanya uang kertas? Uang pecahan besar? Yang lebih parah Mertua Saya pernah cerita bahwa pengamen di daerahnya suka marah-marah dan membuang bila diberi uang Rp.500, Oh my..oh my..Aigooo( ngikutin drama Korea..hahahha). Sekarang dimanapun bila Saya menjumpai uang koin tercecer bahkan dari jalan raya pasti Saya pungut (kalau pas jalan kaki), bukan karena keuntungan materi saja..tapi itu kan memang uang, alat pembayaran yang sah. Jika kita masyarakatnya saja tidak mengindahkan bagaimana bisa Rupiah menguat di negeri sendiri..itu memang Rp100 tapi jika Saya kumpulkan bisa menjadi Rp.1.000.000.

Jangan pernah remehkan uang koin Anda, jika memang Cinta mulailah dari yang terkecil terlebih dahulu. Bahkan Saya sendiri selalu menyisihkan di dompet koin-koin ini untuk keperluan belanja di Supermarket, bayar pas sesuai dengan struk belanja. Ga ada lagi tuh istilah kembalian dengan permen karena memang dilarang bukan? Ataupun pembulatan dengan anulir sedekah pada yayasan yang tertera dan sebagainya, jika setuju tentu tak jadi masalah tapi kebanyakan iya aja ketika sang kasir bertanya kembaliannya untuk ini dan itu ya Bu/Pak. Ikhlas atau tidak tentu kita sendiri yang paling tau itu…, Buat Saya pribadi kan sudah ada BAZIS untuk mengurus itu yang lebih terpercaya kredibilitasnya, Kecuali Supermarket TipTop tempat keluarga kami belanja sedari kecil dulu yang terletak di Jalan Balai Pustaka Rawamangun, hitungannya benar dan tertulis infak, setiap bulan juga ada total jumlah infak dari pelanggan yang di tempel di dinding kemudian disalurkan kemanapun ada. Apabila kita  tidak mau pun bisa mengurusnya dibagian Informasi..jadi tidak sembarang potong.

Salam Menghitung Koin…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun