[caption id="attachment_19144" align="aligncenter" width="300" caption="Danau Ranau "][/caption] Lega rasanya udah kembali berada di rumah, setelah 2 hari keluyuran di jalan, setelah suasana Pesta Rakyat berakhir damai…tanggal 9 April 2009 yang lalu. Yup…libur setelah kegiatan contreng mencontreng selesai, bener-bener bikin fresh…sebelumnya sempat dibuat jutek, di Tempat Pusing Semua, hehehe….gimana nggak Pusing? Ngelipat kertas suara yang segitu gede udah bagus kalau gak sobek. Hubby sempat bertanya padaku, “enaknya kita kemana ya? Libur pasca Pemilu”, langsung kujawab “Danau Ranau!!!”. Lokasi wisata ini letaknya ada di dekat perbatasan Lampung Barat dan Sumatera Selatan, tepatnya di Kabupaten OKU (Ogan Komering Ulu) Selatan. Jarak tempuh dari kota Bandar Lampung ke Danau Ranau (DR) kurang lebih 277 KM. Kalau alon-alon asal kelakon bawa mobilnya, bisa dicapai dengan 6 jam perjalanan darat. Ini pun dengan kondisi jalan yang berlubang-lubang. Aku pikir kalau kondisi jalan mulus dan nggak banyak rusak, jarak tempuh bisa dipersingkat waktunya hanya 4 jam saja. Satu hari sebelumnya, tanggal 8 April, pukul 12 siang, aku telpon Duata, temenku yang tinggal dan bertugas di Liwa, Lampung Barat. Dia yang tadinya berniat mau ke Bandar Lampung, terpaksa mengurungkan niatnya buat pergi, karena ada temen-temen baiknya mau melancong ke Lampung Barat, Aku dan Hubby, plus bocah-bocah, hehehehe…..memang sudah lama Ata (panggilan temenku ini) mengundang kami berlibur ke Liwa, nah…kini kami sudah siap ke Liwa, sebelum akhirnya menuju ke DR. Ku mulai kisahku di hari Pencontrengan, Kamis, 9 April 2009 Pagi hari, aku sudah mempersiapkan baju serta perlengkapan yang harus dibawa oleh kami sekeluarga, maklumlah kalau bawa anak-anak, harus siap bukan hanya baju-baju dan perlengkapan mandi, termasuk juga obat-obatan yang harus dibawa. Berhubung sudah biasa pergi keluar kota pakai mobil, aku minimal sudah terbiasa mempersiapkan segala sesuatu secara cepat. Biar waktu berangkat agak siang, pagi-pagi si Wawa dan Mbok Yem, dua assistenku yang dirumah, harus mencontreng ke TPS lebih pagi, setelah mereka pulang, baru aku dan hubby yang keluar rumah. Keadaan di TPS agak antri, aku tadinya menganggap urusan lipat melipat kertas suara hanya hal yang sepele. Ternyata….bukan hal yang mudah buat nenek-nenek dan kakek-kakek. Aku sampe antri 30 menit, setelah…mencontreng, malah di komentari oleh hansip TPS, “Bu milih yang no…., itu ya!”, “Koq tau?” tanyaku, “Iya kelihatan saat Ibu mencontreng”, oalah…..dasar!!! Pukul 11.30 Wib, kami siap memulai perjalanan dengan mobil ke Liwa, Lampung Barat. Kami mengontak Ata terlebih dahulu, memastikan bahwa cuaca cerah disana. Biar lebih nyaman kalau tahu cuaca disana okey. Syukurlah..cuaca disana baik dan cerah. Selama di jalan, cuaca bener-bener “nano-nano”, sebentar cerah…sebentar hujan nggak tanggung-tanggung hujan lebat…bikin jiper aja, tapi dasar udah ‘kebelet’ ingin lihat gimana indahnya ‘DR’ yang selama ini hanya aku lihat lewat ‘Lukisan’ (see…my notes “Gw dan Lukisan”). Jalanan menuju ke lokasi wisata ‘DR’, jujur aja kalau aku bilang ‘cukup parah’ ibarat kalau ada ibu-ibu hamil 9 bulan, bisa-bisa melahirkan di jalan, hehehehe….. Aku telpon temenku ‘Ata’, “Ta, gue udah sampai di Fajar Bulan nih…, udah dekat kan sama rumah elo?”, “Iya…tapi masih 1 jam lagi, Gue udah siapin makan siang, kalau elo udah sampe Kenali, telpon gue lagi!”, “What’s??? gile…elo bilang deket…Cuma beberapa kilo udah sampe rumah elo, hahaha…dasar!”, si Ata malah ketawa dengerin aku yang udah penasaran ini koq nggak sampai-sampai ke rumahnya. Kami start dari rumah pukul 11.30 Wib, jam di tanganku udah menunjuk pukul 14.30 Wib, berhubung Ata udah mau menjamu kami dengan makan siang di rumahnya, jadi kami putuskan nggak stop di resto buat makan, lumayan….dapat makan siang gratisan, hehehe…Cuma koq lama amat sampainya. Kenali…, nah kami udah masuk ke daerah ini, jam sudah menunjukkan pukul 15.30 Wib, aku telpon Ata lagi, setelah di beri sedikit arahan, akhirnya kami tiba juga di ‘Rumah Tua’ nya Ata. Bagi kami, yang orang Sumatera Bagian Selatan, rumah keluarga milik Orang Tua, disebut dengan nama ‘Rumah Tua’ (orang Palembang menyebutnya ‘Rumah Bari’). Rumah tua Ata, asli dari kayu tembesu, kabarnya di bangun sejak th 1950-an, bau kayu nya khas…mengingatkan aku dengan Rumah Bari almarhum Nenek ku di Palembang. Ata dan keluarganya menyambut dengan ramah, kebetulan keluarganya sedang pada berkumpul dalam rangka Pemilu, hm….semua pada kumpul berkat libur Pemilu, hehehe…., Ata pikir kami akan sampai pukul 16.30 Wib, ternyata kami lebih cepat 1 jam dari perkiraannya, lha….gimana nggak naik mobil bareng Hubby kalo nggak ngebut…bukan naik mobil namanya…hajar bleh..biar kata ada lobang trabasss….makanya aku dah biasa kalau naik mobil dengan speed kenceng, supir travel aja kalah ngebut jika dibanding ma Hubby, hehehe..ini kata aku lho…kalau bocah-bocah malah seneng aja, mereka malah tidur nyenyak selama di jalan, tinggal aku yang bertugas sebagai Navigator, yang mengawasi kondisi jalan, dan kasih aba-aba harus ambil jalan yang kemana, kapan harus mengendorkan speed dan kapan harus menggeber kecepatan lagi, makanya aku gak bisa tidur nyenyak kalau lagi di jalan. Memasuki daerah Lampung Barat karena kontur tanah yang berbukit-bukit dengan suhu udara yang sejuk, membuat warga setempat banyak yang jadi petani lada dan kopi. Di kanan kiri jalan ada kebun lada dan kopi, warga setempat menjemur kopi di setiap halaman rumah. Setelah 1 jam beristirahat sambil makan sore, Bro Ata…thanks a lot ya…sama penyambutan yang hangat dari mu dan keluarga. Ata mengantar kami ke kota Liwa, hanya berjarak 22 KM dari Kenali, sempat beli jagung rebus dulu di jalan, sampai di kota Liwa, sudah menjelang Maghrib, cuaca gerimis. Kami mencari penginapan buat bermalam, sebelumnya Ata konfirmasi ke kami bahwa cottage Wisma Pusri sudah fully booked di pakai peserta workshop, jadi kami terpaksa bermalam di Liwa, bukannya di DR, habis…mendadak sih rencananya, hehehe. Ata, menunjukkan satu penginapan, namanya ‘Sindalapai’, bangunannya terkesan bangunan tua, dia agak ragu-ragu menyarankan kami untuk nginep disini, “Ada apa Ta?” tanyaku penasaran, “Ini kayak bangunan tua ya? Apa peninggalan jaman Belanda?” tanyaku, “Iya” jawab Ata, trus aku diskusi sama Hubby, “Pak, sebaiknya gak usah nginep disini, kesannya ‘Angker’, hi………..” nggak lucu kan, kalau malem-malem ada yang ketok-ketok pintu kamar yang penampakannya kayak Sinyo atau Noni Belanda, halah kabuuuuurrrrrrrrrrrr…..Ata merekomendasikan penginapan yang lain, nama ‘Permata Hotel’ kelas Melati, lumayan deh…nggak serem seperti yang pertama tadi, hehehe…. Cuaca di Liwa semakin malam semakin dingin, persis di Puncak, kotanya juga sepi, pada tahun 1994 Liwa pernah dilanda Gempa Bumi berkekuatan hampir 7 skala Richter banyak bangunan yang roboh dan hancur, makanya banyak yang atap rumahnya pakai seng atau genteng multi roof jika sewaktu-waktu ada gempa nggak mudah rontok dibanding kalau pake genteng plentong. Ata memesan makan malam, kami makan di hotel aja, habis udah lelah dan ngantuk juga. Apalagi, besoknya kami akan ke DR dan langsung pulang. Jum’at, 10 April 2009 Pagi hari, kami bangun dengan badan udah segar kembali, hasil quickcount…Demokrat memimpin. Siapapun yang menang, kita tetap support! Update Status temen-temen di Facebook semuanya rata-rata sama tentang Pemilu, contreng…………..hehehe. Pukul 10.00 Wib, setelah Hubby ngelap dan cuci mobil ala kadarnya dan aku sudah ngurusin bocah-bocah mandi dan makan, Ata datang ke hotel siap untuk mengantar kami ke DR, Alhamdulillah cuaca bagus….bener-bener cerah, aku tak putus-putus bersyukur atas keindahan alam Indonesia ciptaan-NYA. Handycam dan Camera selalu siap ditangan, untuk mengabadikan apa saja yang bagus buat di record. Perjalanan menuju ke DR, harus melalui hutan yang masih di kawasan TNBBS (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan), wuih..kata Ata, masih ada Harimau Sumatera, Beruang dan Gajah di kawasan ini, duh…moga-moga nggak ketemu deh. Dan memang nggak ketemu, hehehe…mungkin mereka juga tau, kami mau liburan jadi gak mau saling mengganggu, hihihi….sebelum masuk ke Lokasi DR, kami harus melalui kampong ‘Buay Nyerupa’..konon ini kata si Ata, lho…ada hikayat leluhur, bahwa dulunya di kampong ini banyak ‘Orang-orang Pinter’ alias ‘Dukun’ yang bisa menyerupai apa saja, termasuk “Harimau jadi-jadian” hiiiii….serem amat, jadi inget tokoh “Madian” di cerita “Misteri dari Gunung Merapi” yang disebutkan bisa berubah rupa jadi Harimau!!! Trus…kata si Ata lagi, di kampong ini ada orang-orang yang ahli buat ‘Racun’, alias kirim ‘Santet’…nah…tambah serem lagi nih hikayat, yah…didengerin aja sih buat tambah-tambah pengetahuan kisah-kisah rakyat setempat, malah kata Ata, dia bisa ceritain hikayat asal usul terjadinya DR, berhubung pasti tambah panjang judul hikayatnya, ntar ajalah diceritainnya, hehehehe….bikin penasaran aja yah!!! Tibalah..kami di lokasi DR, Subhanallah…..indahnya!!!!DR dilihat dari atas bukit, amboi...cantiknya, dengan hamparan sawah yang menguning bak permadani alam nan elok bersanding dengan birunya air danau. Cuaca disini sungguh fresh...kami melalui desa Kuta Batu dan desa Pilla sebelum sampai di DR. Objek wisata DR itu ibarat ‘Gadis Desa yang masih polos’ belum banyak berdandan, alam Indonesia itu asli cantik jelita hanya tidak maksimal pengelolaannya. Bukan tugas yang mudah buat memajukan pariwisata, selain Bali, mungkin pemerintah harus bekerja keras untuk membangun mental para penduduk di sekitar wilayah lokasi pariwisata agar turut memajukan daerahnya dengan potensi wisata yang ada. Selanjutnya dukungan sarana dan infra struktur yang menunjang objek wisata harus di lakukan secara berkesinambungan, jangan hanya setengah hati, sudah dibangun lalu ditelantarkan tidak dirawat, akhirnya terbengkalai sia-sia, uang Negara terbuang percuma. Duh…koq aku jadi pengamat pariwisata aja lagaknya!!! Hehehe… Kami putuskan untuk berperahu ke lokasi Air Panas di ujung tepi DR sebelah barat. (kira-kira aja nih), berperahu getek makan waktu 20 menit, sampailah kami ke pemandian Air Panas, yang sumbernya ada dari Mata Air yang keluar dari bawah bukit di tepi DR. Wuih…puanasss….telor aja bisa mateng nih kayaknya! Setelah puas main di air panas, kami pulang kembali ke dermaga penyebrangan, ongkos naik perahu Rp. 100.000,-/perahu. Lumayan lah…Sudah pukul 13.00 Wib, saatnya untuk makan siang. Wisata kuliner ke resto setempat, RM ‘Pondok Bambu’, lumayanlah…buat orang yang lagi kelaparan!!! Hehehe…lagi-lagi Rp. 100.000,- buat makan ber 5. Lumayan…murah kan. Pukul 14.00 Wib, kami berpisah dengan Ata di Liwa, karena kami akan menuju Krui, selanjutnya ke Bandar Lampung melalui Kota Agung, Tanggamus. Kami pulang melalui jalur yang berbeda. Jalur yang kami pilih relative baik jalannya, Cuma lebih sepi, sunyi dan mencekam, hiiii…..membayangkan ada “Macan Kumbang” lewat, hehehe.. soalnya kami melalui TNBBS (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan) yang masih perawan. Belum lagi…ancaman tanah longsor yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu apalagi cuaca hujan saat kami lalui jalan yang berliku-liku, aku julukin jalan “Kelok 1000” abis..banyak banget tikungannya, hehehe..bocah-bocah malah tertawa senang saat mobil berbelok ke kanan dan ke kiri, padahal aku komat kamit baca do’a. Jarak tempuh Liwa – Krui sekitar 32 KM, memakan waktu 1 jam perjalanan, jalanan yg licin dan curam serta ditutupi kabut tipis, semakin membuat kesan sunyi dan sepi, tapi kami memutar CD ‘Laskar Pelangi’ biar menambah semangat perjalanan. Kami sampai di Krui, pukul 15.00 Wib, karena mau mampir di Pantai Tanjung Setia, yang jaraknya masih 1 jam perjalanan lagi, di Kec. Pesisir Selatan, kami tidak berhenti di Krui, selain itu cuaca juga hujan. Tiba di pantai Tanjung Setia pada pukul 16.00 Wib, aku sempat kekie…kenapa susah cari jalan masuk menuju ke tepi pantai? Karena tepi pantai sudah di ‘Block’ oleh para pemilik losmen yang tampilannya niru gaya losmen di Bali wajar aja nggak jauh dari tempat ini ada kampung Bali, tepi pantai dibuat area ‘Privat Beach’ khusus buat turis yang nginep di losmen mereka. Haiya….wat..wat..gawoh! (ada ada aja!), untung Hubby nemu satu sudut yang bisa buat mobil kami parkir yang langsung menuju ke Pantai. Langsung kami turun buat foto-foto dan mencari kerang di tepi pantai. Cuaca agak mendung serta sedikit gerimis, tapi tetep aja para Surfers asyik bersurfing ria, lokasi Pantai Tanjung Setia ini, memang tujuan para Surfers manca Negara, selain ombak yang besar dan panjang, suasana yang sepi bikin para surfers betah berlama-lama disini. Setelah para fans ‘SpongeBob’ mengumpulkan aneka kerang dan siput-siput kecil, kami menyebutnya “Umang-umang”, waktunya pulang….masih ada satu objek lagi yang belum dilihat. Pantai Melasti, kira-kira 30 menit dari Pantai Tanjung Setia, terletak di kampung Bali, Kec.Pesisir Selatan, ada kapal Tangker berbendera Panama dengan awak kapal warga Negara Thailand, yang membawa minyak mentah karam di pantai ini, akibat ombak yang besar, sang Nakhoda kapal mengira kapalnya masih di tengah laut, ternyata kapal sudah terseret ke tepi pantai, ini terjadi pada bulan September 2008, sampai hari ini kapal tangker itu masih teronggok mati tak bergerak, gimana lagi mau menggeser ‘si Monster Laut’ ini (panjang 125 m, lebar 48 m, beratnya kurang faham berapa ton) ke tengah laut??? Jadi satu-satunya jalan untuk memindahkannya, dengan cara di preteli bagian demi bagian dari badan si Monster. Kami lihat ada semacam alat pemotong besi yang besar di tepi pantai. Kata si Ata, ombak di pantai Melasti ini sudah banyak makan korban perahu-perahu kecil, tahun 2003 yang lalu, sempat ada kapal Kargo milik Jepang yang membawa bahan baku sabun yang karam di pantai ini, alhasil selama bertahun-tahun warga kampong ini tidak membeli sabun, karena ada sumber sabun dari kapal karam itu yang bisa dimanfaatkan, hehehe..lumayan….tapi kapal ini lebih beruntung nasibnya…masih bisa di tarik dengan selamat ke tengah laut, setelah isinya dikosongkan terlebih dahulu. Bocah-bocah excited banget ngelihat ‘si Monster Laut’, aku yang ngeri melihat ombak pantai Melasti, hanya bisa teriak-teriak dari atas, agar jangan dekat-dekat bibir pantai. Setelah selesai foto-foto, kami putuskan segera cepat-cepat pulang ke Bandar lampung lewat Kota Agung, kami akan menyusuri jalur pantai Pesisir Selatan, sampai ke daerah Bengkunat, lalu mulai nanjak membelah hutan Bengkunat, register 22, duh….serem amat nih hutan. Kami meninggalkan pantai Melasti pukul 17.30 Wib, sudah sore banget…karena belum tau daerah jalan pulang ini, kami putuskan tidak akan berhenti di jalan, untunglah Ata sudah menyarankan kami mengisi bensin full tank di Liwa, bener saja…selama perjalanan pulang, kami tidak menemukan SPBU (baru nemu kembali setelah sampai di Kota Agung). Antara pukul 18.00 – 19.00 Wib, adalah waktu yang paling mencekam dan menegangkan, saat kami melalui register 22, Bengkunat, Lampung Barat. Aku dan Hubby, sama-sama diam tidak biacara, aku tau kalo hubby juga sama kuatirnya dengan aku. Mirza tidak bicara sedikitpun, hanya Rama yang terus bertanya kenapa aku terus ber-istighfar. Selama menembus jalan yang membelah hutan di malam hari yang sepi dan gelap gulita, hanya lampu mobil kami yang menerangi jalan yang tidak mulus karena banyak lubang besar yang harus dilewati, aku benar-benar ‘pasrah’ pada ‘Yang Maha Kuasa’, aku sengaja mematikan CD Player mobil, menggantinya dengan memutar MP4 yang berisi Murottal ayat-ayat suci Al-Qur’an. Seumur-umur jjs pakai mobil melintas antar kota, baru kali ini aku, hubby dan bocah-bocah melintas hutan di malam gelap gulita, untungnya nggak hujan. Kami tidak menemui orang atau kendaraan satupun selama 1 jam yang mencekam itu, wuih…..dalam hati aku mikir, pantes aja si Ata, gak mau milih rute ini kalau mau ke Bandar lampung, ini dia sebabnya!!! Serem…bo!!! Mana lagi aku nemuin banyak pohon tumbang di kanan kiri jalan, untung tidak sampai menghalangi jalan. Jadi mobil kami masih bisa lewat. Aku nggak bisa ngebayangin kalau sampai mobil kami mogok di tengah hutan, misalnya pecah ban, mesin ngadat atau kehabisan bensin!!! dan tidak ada sinyal selular pula, lengkap sudah! walah….jangan sampai deh!!! Suir……cobain deh, kalo mau menaikkan adrenalin petualang, bisa lalui rute ini di malam hari, hehehehe…..jujur aja, aku tuh takut sama rampok! Bisa aja kita ketemu rampok yang di jalan biasa disebut gerombolan ‘Bajing loncat’ yang suka menghadang saat mobil kita berjalan lambat karena ada jalan rusak. Apalagi senjata rakitan banyak beredar dan dipakai oleh gerombolan perampok. Selain itu hewan liar bisa aja sewaktu-waktu muncul. Coba kalo kawanan gajah yang keluar, apa nggak heboh…..! Setelah 1 jam yang mencekam…baru deh kami ketemu sama orang yang naik motor, nggak lama kemudian nemu mobil truk yang sedang merayap naik. Duh..tenang deh…, kata hubby..ini baru hutan di Lampung, belum hutan Kalimantan, hutan Papua,…dan hutan tropis diseluruh Indonesia. Hihihi…..sungguh kami baru kali ini mencoba jalur lintas barat pulau Sumatera, khususnya Lampung barat dan Tanggamus. Nggak lama kemudian kami mulai melihat cahaya lampu dari kejauhan, dan tanaman-tanaman peladangan di kanan kiri jalan. Berarti sudah ada penduduk kata hubby, akhirnya cahaya kelap kelip lampu di Kota Agung, Tanggamus, terlihat dari atas bukit. Alhamdulillah…..leganya, melihat adanya tanda-tanda kehidupan. Nah..si Ata tiba-tiba telpon, karena sudah dekat tiang BTS jadi sudah bisa masuk sinyal HP, aku bener-bener heboh ngasih comment terhadap jalur lintas hutan yang baru kami lalui, si Ata malah ketawa-ketawa, dia bilang itu jalur aman, makanya dia nggak kuatir merekomendasikan kami melalui jalur itu. Iya tapi tetep aja bikin kami dag dig dug…. Kami memutuskan mampir ke SPBU, lalu langsung tancap gas menuju Bandar Lampung. Tiba di rumah tepat pukul 21.40 Wib. Akhirnya….selesai juga kisah perjalanan yang seru, moral catatanku kali ini, selalu pastikan bensin terisi penuh kalau mau jalan jauh dan jangan jalan malam hari di daerah yang belum pernah dilalui, kecuali kalau kamu termasuk Nekad Traveler…hehehehehe……Peace!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H