Mohon tunggu...
Adha Nadjemuddin Nadjemuddin
Adha Nadjemuddin Nadjemuddin Mohon Tunggu... -

Tinggal di Kota Palu, Sulawesi Tengah. \r\n\r\nhttp://www.adhanet.wordpress.com\r\nhttp://www.kompasiana.com/adhanadjemuddin

Selanjutnya

Tutup

Money

"Jantung" Buatan Itu Bernama KEK (bagian 13)

20 November 2013   10:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:54 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Hallo... kita jumpa lagi dalam omongan yang masih dalam khayalan; Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Meski masih khayalan, tapi bagi saya tetap menarik diomongkan karena dari khayalanlah biasanya bisa menjadi bukti. Ya, kita berharap KEK benar-benar terbukti. Menjadi fakta. Menjadi nyata. Menjadi jantung ekonomi bagi rakyat Sulawesi Tengah.

Apa yang kira-kira kita lakukan jika melihat gundukan limbah? Mungkin langkah paling cepat, membakarnya. Itu sudah jadi kebiasaan kita setiap mau memusnahkan limbah-limbah yang tidak berfungsi. Lalu bagaimana dengan limbah industri pengolahan.

Dalam bayangan saya, jika Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kota Palu nanti diimplementasikan khususnya pada zona industri pengolahan, maka produksi limbah dipastikan sangat banyak. Bisa jadi puluhan ribu kubik atau puluhan ribu ton. Mau dikemanakan barang buangan itu? Sudahkah dewan KEK melakukan langkah-langkah antisipasi. Atau jangan-jangan, pembahasan persiapan KEK belum sampai ke sana. Kita masih berkutat pada lobi-lobi anggaran untuk membangun infrastrukturnya.

Pembangunan kawasan industri skala besar, mutlak memerlukan analisis mengenai dampak lingkungan. Ini syarat yang tidak boleh diabaikan. Bukan berarti KEK yang menjadi proyek besar pemerintah itu lalu mengabaikan syarat mutlaknya. Lalu menjadikan syarat itu hanya sekadar kelengkapan administrasi belaka. Jika itu terjadi, di sinilah munculnya problem besar dalam pembangunan KEK nanti.

Tidak usah dulu kita membayangkan limbah industri manufaktur alat-alat berat berbahan baku minerals yang rencananya juga masuk dalam zona KEK. Kita fokus dulu ke limbah industri pengolahan kakao, rotan dan rumput laut sebab ini yang paling memungkinkan mejadi perioritas pembangunan di KEK. Industri manufaktur kemungkinan baru bisa diwujudkan 10 tahun lagi. Itu pun jika pemimpin negeri nanti tidak mengubah arah kebijakan pembangunan ekonomi berbasis kawasan yang sudah dicanangkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Mengenai kebijakan pemerintah ini, saya sudah mengomongkan dalam tulisan sebelumnya.

Mari sejenak kita ke pengolahan kakao. Buah biji ini menghasilkan banyak limbah. Sepengetahuan saya sebagai petani kakao, produksi limbah kakao mulai dari kulit, cangkang biji dan rembesan air yang mengental. Itu limbah yang dihasilkan di tingkat petani. Dari pohon sampai kering. Limbah ini stop sampai di petani. Begitu masuk ke industri, kemungkinan limbah yang dihasilkan semakin kecil. Mungkin hanya limbah dari kulit luar biji. Boleh jadi sudah bercampur bahan kimia tertentu.

Mau dibuat apa semua limbah itu? Dibakar, ditanam, dibuang ke laut, atau ditumpuk saja lalu dibiarkan membusuk diurai secara alamiah oleh bakteri. Di sinilah dibutuhkan kreativitas pemerintah dalam mendorong penelitian atas fungsi-fungsi limbah itu.

Sejak kakao menjadi primadona di Sulawesi Tengah saya belum pernah mendengar ada penilitian atas sederetan limbah kakao itu. Di tingkat petani, kulit kakao hanya dibakar setelah kering. Tapi lebih banyak dibiarkan hancur dimakan bakteri. Kulit kakao jika sudah kering cukup keras sehingga sebagian memanfaatkannya menjadi kayu bakar. Saya belum mendengar kulit kakao diolah sedemikian rupa sehingga bernilai ekonomis.

Begitu juga dengan cangkang (tempat melekatnya biji). Limbah ini dibuang begitu saja tanpa dipikirkan lagi untuk apa. Juga saya belum mendengar hasil penelitian fungsi-fungsi dari limbah itu. Misalnya, apakah cangkang itu mengandung unsur pupuk kompos yang baik untuk tanaman. Atau bisa jadi, cangkang itu bagus untuk makanan ternak jika dicampur dengan bahan tertentu.

Begitu juga dengan limbah air kental yang dihasilkan dari fermentasi kakao itu. Biasa saya memperhatikan limbah itu berbusa. Jika dihambur ke hamparan rumput, semua rumput yang terkena limbah air kakao itu dalam sehari langsung menguning. Jangan-jangan limbah air kental itu mengandung unsur racun mematikan untuk tanaman tertentu. Jangan-jangan limbah air kakao itu bisa menjadi bahan baku gas untuk skala rumah tangga. Saya juga belum membaca atau mendengar hasil penelitian dari fungsi lain limbah air kakao itu.

Bisa jadi, karena sumber daya alam kita tersedia begitu banyak, sehingga kita mengabaikan limbah-limbah itu. Padahal mungkin di sana, ada kandungan penting yang sengaja diinjeksi Tuhan untuk bisa dimanfaatkan manusia, tetapi kita belum mau mengkajinya. Nah, di sinilah pentingnya kehadiran dunia perguruan tinggi. Belum terlambat. Pemerintah daerah masih berpeluang bekerjasama dengan perguruan tinggi memulai penelitian limbah-limbah kakao itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun