Kejaran dari para gerombolan ini membuat banyak keluarga harus berlari dan tinggal di hutan-hutan dalam waktu yang cukup lama. Pak Rimba bercerita bahwa para gerombolan ini kadang membunuh, merampok, sehingga banyak warga yang lari ke hutan. Ia sendiri lahir saat pelarian orang tuanya ke hutan sehingga mereka menamai dirinya Rimba.Â
Transmigrasi Pemerintah menjadikan Sepaku sebagai wilayah sasaran penempatan transmigran. Penempatan transmigrasi dimulai pada 26 Agustus 1975 di Desa Bukit Raya yang sebelumnya adalah Desa Sepaku Satu (1).  Jumlah transmigran seluruhnya  4.000 Kepala Keluarga. Secara keseluruhan terdapat lima gelombang transmigrasi yang sebagian besar berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta, dan Bali. Kedatangan para transmigran mengakibatkan masyarakat adat Suku Balik harus berbagi ruang hidup dengan para pendatang.Â
Secara umum mereka menerima para pendatang, namun dalam perkembangannya jumlah penduduk pendatang semakin berkembang dan masyarakat adat Balik menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Perdagangan juga kebanyakan dikuasai oleh kaum pendatang, sementara masyarakat adat Suku Balik tetap mengupayakan kebun dan ladang untuk penghidupan.Â
Tidak hanya datangnya gelombang transmigran, sejak tahun 1970-an, terdapat beberapa perusahaan yang bergerak di bidang kayu datang ke wilayah Sepaku. Perusahaan pertama yang beroperasi pada saat itu adalah PT. International Timber Coorporation Indonesia (ITCI). Bagi masyarakat adat Suku Balik, kedatangan perusahaan lebih banyak merugikan masyarakat, antara lain menghabisi lahan warga dan keanekaragaman hayati serta satwa buruan. Keberadaan perusahaan kayu ini meninggalkan jejak dengan adanya sebutan wilayah Sepaku Logdam.Â
Ini menjadi penanda era eksploitasi kayu dan hutan secara besar-besaran di awal tahun 1970-an. Menurut beberapa warga, eksploitasi ini tidak disertai dengan penanaman kembali sehingga kayu-kayu berharga yang ada di hutan mengalami kepunahan secara massif. Â Setelah PT. ITCI, terdapat beberapa perusahaan lainnya yang masuk ke wilayah Benuo Sepaku, seperti PT. Delong, PT. Sita, dan kemudian transisi PT. ITCI menjadi PT. ITCI HUTANI MANUNGGAL (IHM). Sementara perusahaan lainnya adalah PT. Argo Indo Mas (Perkebunan Kelapa Sawit) pada tahun 2000, dan PT. Palma (Perkebunan Kelapa Sawit) di tahun 2012.
Â
Hilangnya  Ruang Hidup
Gempuran berlapis yang dialami oleh masyarakat adat Suku Balik yaitu gelombang transmigrasi dan masuknya  industri ekstraktif dari berbagai perusahaan mengakibatkan  ruang untuk mencari penghidupan semakin berkurang. Awalnya dalam memenuhi aspek-aspek penghidupannya, masyarakat Suku Balik Sepaku memiliki  ruang hidup yang luas terdiri dari hutan, sungai, pemukiman, tempat ritual, dan tempat keramat. Sayangnya ruang hidup ini berangsur-angsur makin menyempit, dan bahkan dengan pembangunan IKN mereka terancam direlokasi artinya kehilangan ruang hidupnya.Â
Kalau pun ada kompensasi penggantian tanah dan tumbuhannya sangat kecil karena kebanyakan masyarakat adat rata-rata tidak mempunyai sertifikat tanah. Kini harga ditentukan oleh pemerintah, dan jika mereka tidak mau menerima maka bisa berperkara ke pengadilan. Tapi bagi masyarakat kecil, menyewa pengacara, mengurus ke pengadilan bukan hal yang mudah, juga membutuhkan uang yang tidak sedikit.Â
Lalu apa arti peradaban baru yang dicita-citakan ibukota baru ini ? Sebuah peradaban biasanya dibangun oleh masyarakat, bukan tercipta secara instan. Impian sebagai smart city, green city bukan sekadar fisik, melainkan sejalan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat serta rasa keadilan warga yang tinggal di sebuah kota. Yang terjadi cara membangun ibukota negara ini seperti membangun kota satelit seperti BSD atau PIK. Menggusur warga setempat, dan mengisinya dengan perumahan2 mewah. Hal ini sangat terlihat ketika presiden mengajak warga Singapura untuk membeli tanah di IKN. Sangat aneh, warganya sendiri digusur sementara orang luar disuruh tinggal di sana.Â
Dengan cara pandang semacam ini, bagaimana mungkin membuat label "smart city" sementara penduduk di kota tersebut masih banyak yang tertinggal dalam pendidikan. Â Atau label "Green city" sementara ruang hidup masyarakat dibabat habis. Lalu untuk siapa ibukota nusantara ? di berbagai media kita menyaksikan bagaimana masyarakat sulit memperoleh air bersih, sementara kompleks istana dan kementrian sudah memperoleh air bersih. Masyarakat juga ingin mendapatkan air yang layak dan tak harus beli.Â