Di dalam Lembaga Adat pun semuanya laki-laki, sehingga Afrida kebanyakan  bekerja sama hanya dengan laki-laki. Di bawah Kepala Suku ada jabatan Kapiten (Panglima Perang), Panyira atau pemimpin Kampung, lalu ada Let atau kepala adat di kampung-kampung. Ada Mirino atau pesuruh, dan Langsa atau juru perlengkapan di hajatan adat. "Susunan itu ada, tetapi semua laki-laki dan tidak semuanya aktif," ungkap Afrida. Posisi perempuan dalam kelembagaan adat pun lebih sebagai pelengkap. Sebagai contoh jika ada orang menikah, maka perempuan sebagai penata rias, pembawa sirih pinang. Dalam musyawarah, jika perempuan bicara seringkali tidak dianggap. "Mereka bilang "Perempuan tahu apa. Dan disuruh ke belakang saja. Tidak ada yang mengambil kebijakan. Itu terjadi tidak hanya dalam lingkup adat, tetapi juga dalam musyawarah keluarga, desa. Jika ibu-ibu bicara di depan, maka biasanya mereka disuruh diam. Jadi perempuan dibunuh karakternya," ujar Afrida .Â
Tantangan yang dialami Afrida tidak berhenti di situ. Ia menghadapi gugatan pula dari saudaranya sendiri atas posisinya sebagai Kepala Suku. Gugatan ini berawal dari bantuan PT NHM untuk melakukan program pelestarian budaya Pagu. Afrida yang awalnya menggugat PT NHM dengan pengembalian tanah adat mengubah strateginya. Ia menyadari bahwa sulit sekali meminta pengembalian hak  atas tanah adat yang telah diambil PT NHM sejak masa orde baru. Sementara itu masyarakat sendiri dirasakan kurang solid. PT NHM sendiri sudah sangat kuat, ditambah lagi sudah banyak warga yang memperoleh manfaatnya. "Bukan saya tidak mau melawan, tapi tidak bisa. Oleh karena mereka sudah kuat sejak dulu. Dan saat ini banyak warga yang memperoleh manfaat, artinya banyak yang bekerja di sana. Di Desa Sosol sendiri cukup banyak yang kerja di PT NHM. Di depan rumah, tetangga kiri kanan adalah pekerja NHM. Mereka punya keluarga dan sanak keluarga yang bekerja di sana. Tidak bisa kita mengkonsolidasi untuk melawan perusahaan, bahkan saya sendiri yang bisa dilawan oleh masyarakat. Maka aku bilang sebelum kita berhadap-hadapan dengan kapital, itu kita berhadap-hadapan dengan tetangga kiri kanan, muka belakang. Kalian bisa? Kalian mampu mengubah idealisme mereka untuk melawan NHM? Makanya aku bilang jangan!  Konsolidasi kita nggak tamat-tamat, NHM sudah pigi. Makanya mulailah saya berpikir untuk bagaimana win-win solution," kata Afrida.Â
Strategi yang dilakukan Afrida adalah melobi PT NHM untuk mendukung pelestarian budaya masyarakat Suku Pagu. Dengan dana yang diberikan maka dibangun pula sebuah ruang bersama untuk aktivitas budaya masyarakat Pagu di Desa Sosol. Afrida sendiri yang menghibahkan tanahnya untuk rumah bersama tersebut. Namun ternyata bantuan dari PT NHM menuai konflik diantara masyarakat adat Pagu sendiri. Sehingga seorang warga yang masih saudara Afrida mempertanyakan keabsahan dirinya sebagai Kepala Suku dan menyatakan dirinya sebagai Kepala Suku Pagu, yang  juga didukung oleh Bupati Halmahera Utara yang baru.Â
"Makanya, daripada kita tidak dapat sama sekali dari tanah adat yang sudah dirampas itu, kita minta tanggung jawab perusahaan untuk perlindungan budaya Pagu. Itupun anggaran yang diberikan sebanyak 2 milyar, baru ambil 1,3 milyar. Dan bukan berarti anggaran itu masuk semua ke dalam rekening, tapi dikeluarkan jika ada program. Hal ini yang menjadi persoalan sehingga ada upaya untuk kudeta. Â Tantangan kudeta ini disebabkan mereka tahu ada dana 2 milyar. Saya kan punya ide menyusun program bersama dan berusaha menjumpai pemimpin PT NHM saat itu, jadi bukannya NHM menyediakan anggaran buat masyarakat Pagu. Dana pelestarian itu untuk program dan membuat bangunan ruang bersama yang ada di ujung Kampung. Makanya sudahlah, yang ada saja dulu, yang penting kelak kesadaran orang-orang untuk datang ke ruang bersama. Itu tanah pribadi saya lho ! Tapi yang terjadi malah ketidakpuasan mereka lalu bagaimana perempuan itu disingkirkan. Makanya dari tahun 2015 itu sampai sekarang, termasuk bupati pun tidak setuju karena aku perempuan. Memang tidak di forum resmi tapi beberapa kali aku sering lihat di postingan-postingan FB, diskusi-diskusi, perempuan kok jadi pemimpin?" ungkap Afrida.Â
Gugatan atas keabsahan tersebut sampai pada bidang hukum, sehingga Afrida sempat dimintai keterangan oleh kepolisian. "Mereka bahkan bilang bahwa keabsahannya telah disetujui Sultan Ternate. Padahal keberadaan Kepala Suku Pagu tidak ada hubungannya dengan Kesultanan Ternate. Â Kesultanan itu dulu sama dengan kita saja, bahkan kita dulu diminta bantuan untuk menjadi pasukan perangnya. Lalu mengapa sekarang orang harus minta keabsahan dari mereka ?" kata Afrida.Â
Inilah yang dihadapi oleh Afrida sebagai perempuan Kepala Suku. Ia harus  membesarkan anak-anaknya, dan juga harus mengurusi berbagai konflik terkait kepemimpinannya. Kini, di tengah - tengah keluarga, anggota masyarakat adatnya,  Afrida Erna Ngato, dengan  gigih terus bekerja keras untuk  memenuhi hak dan tanggung jawabnya memberdayakan masyarakat adat, karya seni, bahasa, adat - budaya, serta berupaya  menerbitkan buku - buku cerita untuk edukasi dan menyelesaikan sebuah ensiklopedi bahasa Pagu.  Dengan segala keterbatasannya, Ida tidak henti  memperkuat kebudayaan suku Pagu. *** (Ade Tanesia, pegiat budaya)
Catatan: Tulisan ini berdasarkan wawancara langsung dengan Afrida Erna Ngato ketika saya berkunjung dan menginap di rumahnya di Desa Sosol, Malifut, Kabupaten Halmahera Utara. Riset aksi ini didukung oleh Cipta Media Ekspresi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H